Mangkatnya Singa Pembangunan Singapura
Ismatillah A Nu’ad
; Peneliti Madya
Institute for Research and Development, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 25 Maret 2015
Bapak arsitek pembangunan negeri Singapura
yang sangat fenomenal, Lee Kuan Yew, meninggal pada Senin (23/3) di usia 91
tahun akibat serangan pneumonia. Ia salah satu legenda Asia yang dikenal luas
di dunia internasional sebagai pemimpin sebuah negeri, tokoh politik, dan
begawan pembangunan. Lee berhasil membawa Singapura dari negeri antah
berantah, menuju negeri yang sangat disegani dan berpengaruh di kawasan Asia
Tenggara, bahkan Asia. Singapura menang karena unggul dalam sektor
pengembangan jasa.
Singapura menjadi negeri transit dari berbagai
bangsa besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, maupun
negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Bangsa-bangsa itu
mempercayai Singapura sebagai akses atau pintu masuk di kawasan Asia
Tenggara. Faktor Lee sangat penting karena ia telah banyak berkiprah bagi
kebijakan membuka keran deregulasi di Singapura.
Singapura saat ini boleh dibilang sebagai
negeri adidayanya di kawasan Asia Tenggara, khususnya dalam bidang kemajuan
ekonomi dan pendidikan. Banyak negara dan daerah, maupun tokoh politik yang
mengagumi Singapura sekaligus menjadikannya contoh untuk diterapkan di
kawasannya masing-masing. Sebut saja dari Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan,
hingga Presiden Rwanda Paul Kagame. Keduanya mengidolakan Singapura dan
tokohnya Lee Kuan Yew sebagai arsitek pembangunan.
Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah terinspirasi
dari Singapura, menjadikan Bantaeng yang dulu terkenal dengan semak belukar,
sekarang telah berubah menjadi kabupaten dengan “sejuta” tempat wisata indah.
Nurdin bercita-cita menjadikan Bantaeng sebagai Singapuranya Indonesia. Itu
karena sebagian besar pusat pemerintahan dan fasilitas pelayanan publik
dipindahkan di daerah pantai.
Daerah nun jauh di Afrika sana bernama Rwanda,
presidennya terinspirasi Lee dalam membangun Singapura. Rwanda yang pernah
dilanda konflik etnis berkepanjangan yang berujung genosida pada 1994 yang
diperkirakan menewaskan 1 juta jiwa manusia, telah mendeklarasikan diri
sebagai Singapuranya Afrika.
Rwanda di bawah Kagame yang terinspirasi dari
Lee benar-benar sangat transformistik berubah besar-besaran. Bayangkan, tujuh
tahun lalu di sana masih belum ada mesin ATM, supermarket, dan sangat sulit
mencari alat telekomunikasi publik. Namun, kini di Rwanda telah ada berbagai
jenis supermarket, lusinan mesin-mesin ATM dari bank-bank internasional,
pelayanan telekomunikasi publik yang murah-meriah, serta akses internet
rakyat.
Ada satu lokasi wisata di Rwanda yang sangat
terkenal, yakni Pegunungan Gorila (Mountain’s Gorilla). Tujuh tahun lalu,
pemerintah Rwanda berjuang keras supaya turis tertarik berkunjung dan
membelanjakan uangnya untuk paket wisata seharga US$ 375. Namun, kini tidak
cukup membayar paket wisata itu seharga US$ 500 karena sangat tingginya
permintaan (demand).
Pemerintah Rwanda ingin memperbaiki dan
memakmurkan negeri melalui sektor pariwisata, yang tentu ditopang dengan
sistem keamanan domestik. Pembangunan hotel terjadi di mana-mana. Pemerintah
Rwanda merangkul Korea Telecom untuk menunjang internet broadband nirkabel.
Surganya restoran, dan yang terpenting juga meriahnya dunia pendidikan,
seperti pembangunan universitas idesiakan pemerintah Rwanda. Bahasa nasional
kedua mereka berpindah dari Prancis ke bahasa Inggris. Rwanda, seperti juga
Singapura, telah bergabung dalam serikat Commonwealth
atau negara-negara persemakmuran.
Kisah dari semuanya ialah pentingnya sosok
pemimpin, seperti Lee, Kagame, maupun di Indonesia seperti Nurdin Abdullah.
Bukan cuma soal popularitas, karisma, dan intrik politik untuk meraih kuasa
dengan menggunakan berbagai jalan, melainkan pemimpin harus memiliki wawasan
visioner yang membumi, mengerti strategi pembangunan, memahami apa yang
dibutuhkan bagi negerinya, dan yang terpenting harus dilakukan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Lalu, apa pentingnya bagi negeri
kita Indonesia?
Pelajaran untuk
Indonesia
Sejak Reformasi 1998 hingga kini, negeri yang
besar bernama Indonesia masih tertatih-tatih. Hendak kemana pembangunan
bangsa besar ini mau dibawa? Jokowi memang telah mendeklarasikan akan dibawa
ke arah pengembangan sektor kemaritiman, tetapi masih berusia “jabang bayi”.
Secara menyeluruh arah kebijakan pemerintah belum terlalu kentara, apalagi
dari sektor industri, pariwisata, ekonomi, sosial dan politik. Semuanya belum
membuahkan hasil yang menggembirakan hingga saat ini.
Mestinya untuk membangun bangsa besar ini,
pemerintah harus memfokuskan pada skala prioritas, misalnya melalui sektor
kemaritiman seperti didengungkan Jokowi. Dari fokus skala prioritas itu,
niscaya jika sudah berkembang dan maju maka akan terbuka jalan untuk
sektor-sektor lain. Penetrasi pembangunan memang sangat lah diperlukan
sehingga konsentrasi pembangunan dari kebijakan pemerintah tidak
terpecah-pecah. Itulah yang dilakukan Singapura selama dipimpin Lee Kuan Yew.
Penetrasi pertama menjadikan negeri itu
sebagai negeri jasa, lalu meningkat ke perdagangan, pariwisata, dan
lain-lain. Itulah yang menjadikan Singapura hari ini sangat disegani dan
terhormat bergaul dengan bangsa-bangsa besar lain, bahkan sebagai alat
percontohan bagi negara-negara berkembang.
Seperti dikatakan Kagame, yang terpenting dari
seorang pemimpin adanya kemauan (willingness)
untuk “turun ke lapangan”, bekerja keras, “melipat lengan baju”, untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan pemimpin yang pandai melakukan
retorika, melainkan kosong makna serta tindakan nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar