Cerita
yang Baik
AS Laksana ; Sastrawan,
Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak
nasional di Indonesia
|
JAWA
POS, 22 Maret 2015
MAJALAH
Harvard Business Review (HBR)
pernah menurunkan tulisan menarik yang berjudul Storytelling that Moved People. Itu tulisan lama, Juni 2003,
berupa wawancara dengan Robert McKee, seseorang yang dalam pengantar tulisan
itu disebut sebagai ”pengajar penulisan
skenario paling terkenal dan sangat dihormati”.
McKee
adalah penulis skenario dan sutradara. Ia pun sempat mengajar di University
of Southern California setelah menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang
seni perfilman. Kemudian, ia membangun usaha sendiri untuk mengajarkan seni
bercerita kepada khalayak yang lebih luas. Peserta kuliahnya adalah para
penulis, sutradara, produser, aktor, dan para eksekutif dunia hiburan. Pada
1997 ia menerbitkan buku Story:
Substance, Structure, Style, and The Principles of Screenwriting yang segera
menjadi buku laris di pasaran.
Para
siswa McKee telah menulis, menyutradarai, dan memproduksi ratusan film,
termasuk Forrest Gump, Erin Brockovich, Gandhi, Sleepless in Seattle, Toy
Story, dan Nixon. Saat wawancara diturunkan, mereka telah mengoleksi 18
Academy Awards, 109 Emmy Awards, 19 Writers Guild Awards, dan 16 Directors
Guild of America Awards. McKee juga menjadi konsultan untuk perusahaan
seperti Disney, Pixar, dan Paramount. Bukan hanya perusahaan-perusahaan film,
Microsoft pun secara rutin mengirimkan seluruh staf kreatifnya untuk
mengikuti perkuliahan McKee.
HBR,
Anda tahu, bukanlah majalah tentang seni mendongeng atau majalah tentang
penulisan; ia majalah manajemen, didirikan Sekolah Bisnis Harvard. Wawancara
dengan McKee dilakukan karena pemikiran bahwa cerita adalah alat persuasi
yang bisa diandalkan dan sudah selayaknya dipahami para pebisnis.
”Cerita adalah perangkat
terbaik untuk merangkul orang lain dan menyentuh emosi mereka,”
kata McKee. ”Dan menuturkan cerita yang bagus adalah urusan yang sulit.
Dibutuhkan wawasan luas dan keterampilan mendongeng agar gagasan yang kita
sampaikan bisa terus melekat di dalam ingatan orang.”
Itu
pernyataan yang layak disepakati. Ada sejumlah buku yang sudah ditulis orang
tentang kekuatan cerita, tentang hal-hal positif yang bisa kita sampaikan
kepada orang lain melalui penuturan cerita, dan karena itulah saya selalu
ingin mendongeng secara rutin kepada anak-anak saya menjelang mereka tidur.
Namun, Anda tahu, tidak selalu kita bisa melakukan apa yang kita ingin
lakukan. Pada kenyataannya, saya tidak bisa rutin mendongeng.
Kadang-kadang
saya masih melakukannya, karena ingatan bahwa mendengarkan orang mendongeng
adalah hal yang mengasyikkan. Dulu ibu saya sering mendongengkan cerita
pengantar tidur. Pada masa itu, di kampung saya ada juga seorang kakek yang
suka mengumpulkan anak-anak selepas magrib untuk mendongeng. Saya selalu
terpesona oleh dongeng apa pun yang ia tuturkan.
Bertahun-tahun
kemudian, saya ingin menularkan kegembiraan mendengarkan dongeng itu kepada
anak-anak saya.
Saat
kali pertama mendongeng untuk anak saya, saya merasa senang sekali.
Rasa-rasanya saya telah melakukan pekerjaan besar yang perlu dilakukan orang
tua kepada anaknya. Anak saya juga merasa senang dan ia meminta didongengkan
lagi pada hari berikutnya, lalu hari berikutnya lagi, dan hari berikutnya
lagi. Dan pada akhirnya, ia tidak puas hanya mendengarkan satu cerita. Ketika
satu cerita berakhir dan ia belum tidur, ia meminta didongengkan satu lagi.
Dan ia tetap belum tidur, maka tambah lagi satu cerita.
Saya
kelelahan mendongengkan tiga cerita setiap malam.
Namun,
di luar soal saya kelelahan, adalah hal yang wajar jika anak saya menjadi
ketagihan. Mendengarkan cerita, Anda tahu, adalah proses dinamis yang sangat
menyenangkan. Ketika Anda bercerita, Anda membuat pendengar membayangkan diri
mereka berada dalam pelbagai situasi. Mereka akan masuk ke cerita, menjadi
tokoh-tokoh cerita, dan mengalami setiap kejadian di dalam cerita yang Anda
tuturkan. Ada banyak tantangan di dalam cerita, ada banyak situasi sulit, dan
pendengar Anda akan belajar dari cara tokoh utama menyelesaikan masalahnya.
Dan yang juga penting, mendongeng adalah aktivitas berbagi, yang akan
meningkatkan keakraban dan kegembiraan batin antara dua pihak, yakni pendongeng
dan pendengarnya.
Mengenai
hal tersebut, mari kita kembali mengingat Kisah Seribu Satu Malam. Kisah
tersebut menuturkan riwayat seorang raja yang mengembangkan perilaku
patologis karena dikhianati istrinya. Ia tidak percaya lagi ada cinta antara
lelaki dan perempuan, ia tidak percaya ada cinta antara suami dan istri,
antara raja dan permaisuri, antara sepasang kekasih. Ia mengembangkan
keyakinan negatif itu setelah mendapatkan pengalaman buruk: permaisurinya
berselingkuh dengan hamba sahaya.
Sang
permaisuri dihukum mati karena pengkhianatannya dan setelah itu raja mencari
permaisuri baru, perempuan yang bisa menemaninya dalam cinta semalam saja.
Esok paginya perempuan itu akan dihukum mati. Raja Syahriar melakukan hal
tersebut karena tidak ingin dikhianati lagi. Ia pun berpikir bahwa
satu-satunya cara untuk memastikan itu adalah membunuh permaisurinya.
Beberapa
perempuan sudah menjadi korban dan situasi kerajaan semakin mencekam.
Suatu
hari, Syahrazad, putri penasihat raja, menyampaikan maksud kepada ayahnya
agar dirinya mendapatkan giliran menjadi permaisuri. Ayahnya menolak
permintaan tersebut. Sebab, itu berarti putrinya akan dipenggal sang raja
keesokan harinya.
”Tidak ada bedanya
sekarang atau nanti, Ayah,” kata Syahrazad. ”Pada akhirnya toh akan tiba giliranku.”
Akhirnya
Syahrazad dinikahkan dengan Raja Syahriar.
Pada
malam hari ketika mereka menikmati bulan madu, Syahrazad menuturkan cerita
yang sangat menarik kepada sang raja. Saat fajar tiba dan hukuman mati kepada
permaisuri harus dijalankan, cerita itu belum rampung dituturkan. Raja merasa
penasaran dan ia ingin tahu kelanjutan cerita itu. Maka, ia menunda hukuman
mati untuk permaisurinya. Ia pikir, besok saja. Jika permaisuri dihukum mati
saat itu juga, raja tidak akan pernah tahu bagaimana cerita itu berakhir. Ia
akan menjadi orang yang penasaran seumur hidup karena tidak pernah tahu akhir
ceritanya.
Besoknya
Syahrazad melanjutkan cerita, dan rupanya ada cerita baru yang sangat
menarik. Dan seperti pada malam sebelumnya, ketika fajar tiba, cerita itu
masih menggantung dan raja penasaran akan ujung ceritanya. Begitu terus
sampai bermalam-malam. Dan raja terus menunda hukuman mati karena dibuat
penasaran.
Diam-diam,
sepanjang mengikuti cerita yang dituturkan permaisuri dan dibuat penasaran
setiap fajar tiba, raja mendapatkan banyak pengetahuan. Ia belajar banyak hal
dari cerita-cerita yang setiap malam dituturkan Permaisuri Syahrazad.
Akhirnya, dengan pemahaman baru yang didapatnya dari cerita-cerita yang
dituturkan permaisuri, dengan keintiman yang muncul setelah bermalam-malam
saling berbagi, raja mengubah perilakunya dan membatalkan hukuman mati bagi
permaisuri.
Kepada
orang-orang yang menanyakan tentang cerita yang menarik, saya sering
menjadikan Kisah Seribu Satu Malam
itu sebagai salah satu contoh. Syahrazad adalah pendongeng yang baik karena
bisa membuat pendengarnya terus penasaran tentang apa yang selanjutnya
terjadi. Ia mampu membuat pendengarnya terpukau dan kemudian mengubah
perilakunya.
Seorang
pendongeng yang baik bisa menjelaskan bagaimana rasanya berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan, menyerukan kepada protagonis
untuk mendalami masalahnya, bekerja dengan sumber daya yang langka, membuat
keputusan yang sulit, mengambil tindakan meskipun berisiko, dan akhirnya
menemukan kebenaran.
”Semua pendongeng besar
–dari masa Yunani kuno sampai Shakespeare, sampai masa sekarang– mereka telah
menuturkan konflik mendasar antara harapan subjektif tokoh utama dan realitas
yang kejam. Karena itulah, cerita selalu dekat dengan kita, secara sosial
maupun psikologis,” kata Robert McKee.
Maka,
mendongenglah untuk anak-anak Anda. Cerita adalah alat pengajaran
non-didaktik. Anda pasti sepakat bahwa pada dasarnya tidak ada manusia yang
suka digurui –pada usia berapa pun mereka. Dan cerita yang baik selalu
menjadi perangkat yang tepat untuk menyampaikan pemikiran, karena ia tidak
pernah menggurui. Ia memberikan pengalaman yang memperkaya dan ia
melakukannya tidak dengan cara menjelas-jelaskan sesuatu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar