Mengapa Sarpin (Tidak) Melanggar KUHAP?
Romli Atmasasmita ;
Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2015
Banyak pertanyaan tentang putusan hakim Sarpin
Rizaldi dalam perkara praperadilan yang diajukan BG. Namun, tidak banyak
orang bertanya mengapa seberani itukah Sarpin memutuskan bahwa permohonan
praperadilan tentang penetapan tersangka dikabulkan dan putusan adalah
putusan terakhir dan mengikat; tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat
diajukan untuk melawan putusan praperadilan Sarpin tersebut. Pertanyaan ”mengapa”
tersebut dapat dikaji dari dua aspek.
Pertama, aspek keadilan dan kemanfaatan yang berlawan dengan aspek
kepastian hukum. Kedua, aspek fungsi dan
perkembangan hukum masa depan di Indonesia. Aspek pertama, tentu ahli hukum
normatif mempertahankan aspek kepastian
hukum jauh melebihi pentingnya dari keadilan
dan kemanfaatan karena asas lex certa
menuntut hakim harus hanya menjadi ”mulut
undang-undang”.
Sedangkan aspek keadilan dan kemanfaatan justru sebaliknya, mempertahankan
bagaimana seharusnya hukum (UU) i.e KUHAP dibaca dan ditafsirkan dan
disesuaikan dengan perkembangan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, tentu
KUHAP yang merupakan UU (hukum tertulis) selalu tidak dapat mengikuti
perkembangan hukum dalam masyarakat seperti hukum hak asasi manusia.
Bagaimana
caranya agar KUHAP dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum hak asasi manusia
yang merupakan pilar negara hukum yang demokratis? Jawaban ahli hukum
normatif pasti adalah perubahan KUHAP melalui Parlemen. Namun, bagi ahli hukum pembangunan (meminjam
teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja) dan ahli hukum progresif yaitu
hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (Alm Satjipto Rahardjo), perubahan terhadap
KUHAP dapat dilakukan dengan putusan pengadilan melalui keyakinan seorang
hakim.
Pandangan ahli hukum pembangunan dan ahli
hukum progresif ini diperkuat oleh pandangan teori hukum integratif (Romli Atmasasmita) yang mewajibkan para
ahli hukum akademisi dan praktisi untuk memperhatikan nilai-nilai (values) di balik norma yang tercantum
di dalam suatu UU.
Bagi pandangan teori hukum integratif,
ketentuan tentang praperadilan di dalam KUHAP harus dibaca dan dipahami bukan
hanya perlindungan hak asasi tersangka secara limitatif, melainkan juga harus
dipahami sebagai perjuangan untuk menciptakan nilai hak asasi setiap orang
yang ditetapkan tersangka oleh tangan kekuasaan.
Pemahaman mengenai nilai HAM inilah yang
merupakan justifikasi atas penafsiran secara luas (ekstensif) terkait
ketentuan praperadilan di dalam KUHAP. Pemahaman tersebut sekaligus
memperluas wawasan mengenai perlindungan hak asasi in concreto sebagaimana telah dicantumkan dalam Bab XA UUD 1945,
UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan ketentuan ICCPR yang telah
diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.
Sejatinya, keberadaan konstitusi yang mengatur
secara tegas tentang HAM dan UU tentang HAM tersebut, mutatis mutandis merupakan sumber hukum dan sekaligus payung
hukum bagi semua peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya
terlepas apakah hak asasi dimaksud telah dicantumkan atau tidak tercantum di
dalam peraturan perundang-undangan dimaksud.
Putusan hakim Sarpin telah membuat ruang hukum
terbuka bagi setiap orang untuk memperjuangkan perlindungan hak asasi bagi
dirinya terhadap tangan-tangan kekuasaan sekalipun kewenangan telah diberikan
oleh UU.
Dalam kaitan putusan hakim Sarpin tentang
kewenangan KPK menetapkan BG sebagai tersangka, ahli hukum akademisi dan
praktisi hukum perlu melihat dan memahami keberlakuan UU RI Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUADP 2014). UU tersebut secara
formal mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang baik di bidang
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Ketentuan Pasal 17 UU ADP 2014 tersebut telah
menetapkan tiga jenis penyalahgunaan kekuasaan (baca: kewenangan) yaitu
melampaui batas kewenangan, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak
sewenang-wenang. Keberlakuan UU ADP 2014 dihubungkan dengan UU RI Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta UU
RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diperkuat oleh ketentuan
larangan gratifikasi dan suap di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor), mencerminkan ”political
will” pemerintah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan
benar (good governance/GG).
Selain itu juga mencerminkan bahwa kedudukan
UU Tipikor merupakan ”ultimum remedium”
terhadap pelanggaran yang bersifat administratif sekalipun telah
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan telah
menimbulkan kerugian pada negara. Tafsir hukum ini sejalan dengan ketentuan
Pasal 14 UU Tipikor yang mewajibkan penegak hukum untuk hanya memberlakukan
ketentuan UU Tipikor terhadap ketentuan mengenai pelanggaran administratif yang
merupakan tindak pidana korupsi.
Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana
tercantum di dalam UU ADP 2014 menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana
status hukum unsur ”penyalahgunaan wewenang karena kedudukan dan jabatannya”
di dalam ketentuan Pasal 3 UU Tipikor. Muncul pertanyaan, apakah ini bagian
dari hukum pidana atau hukum administrasi pemerintahan.
Selama keberlakuan UU Tipikor 1999/2001 belum
ada UU yang mengatur secara eksplisit mengenai pengertian istilah
”penyalahgunaan wewenang” kecuali UU ADP 2014. Dalam praktik pengertian
istilah tersebut cukup dilihat dari bunyi tupoksi sebagaimana dicantumkan di
dalam keppres pengangkatan penyelenggara negara.
Sedangkan dengan UUADP 2014, pembuktian ada
atau tidak ada penyalahgunaan wewenang merupakan kompetensi Pengadilan Tata
Usaha Negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar