Deradikalisasi
dan Islamic State
Sumiati Anastasia ; Lulusan
University of Birmingham, untuk Relasi Islam-Kristen
|
KORAN
TEMPO, 25 Maret 2015
Puluhan
warga negara Indonesia sudah berada di Suriah dan Irak untuk bergabung
dengan Islamic State of Iraq and
al-Sham (ISIS). Hal ini terkuak setelah sekitar 16 WNI asal Surabaya
memisahkan diri dari rombongan wisata mereka ke Turki dan bermaksud
menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan
ISIS. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah menyebutkan,
sekitar 500 WNI telah bergabung dengan ISIS sejak 2014, baik di Irak maupun
Suriah. BNPT juga mengingatkan, masih akan ada WNI lainnya yang hendak
bergabung dengan ISIS. Apalagi, program perekrutan para jihadis baru terus
dilakukan karena ISIS punya suplai dana melimpah.
BNPT
memandang ISIS hanya kulit. Sebab, sejak dulu, radikalisme selalu bisa
membungkus dirinya lewat oraganisasi apa pun, entah Jamaah Islamiyah atau
Al-Qaidah.
Menurut
pengamat terorisme, Nasir Abas, salah satu faktor bergabungnya WNI dengan
organisasi radikal seperti ISIS adalah adanya kebencian terhadap pemerintah,
yang dianggap tidak menjalankan syariat Islam serta banyak berbuat dosa,
misalnya korupsi.
Pada
masa lalu, pemikiran kaum radikal itu telah termanifestasi dalam berbagai
aksi teror di negeri kita. Tokoh kelompok radikal, seperti Imam Samudra
(mendiang), punya konsep cosmic war, yakni peperangan antara yang baik dan
yang jahat (Mark Juergensmeyer, Teror in the Mind of God: The Global Rise of
Religious Violence, University of California Press, 2000).
Entah
kini sudah berapa ratus jiwa melayang, dibunuh, dan dipenggal oleh ISIS.
Kekejian seperti itu, menurut ISIS, sah dilakukan karena adanya konsep cosmic
war.
Karena
itu, mereka yang menjadi bagian dari kelompok radikal, seperti ISIS,
cenderung menutup diri dan anti-arus utama. Mereka tak menaruh respek pada
ormas Islam yang besar, seperti Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah. Bahkan,
orang muslim lainnya pun mereka nilai sesat.
Konyolnya,
sebagian kalangan muda, bahkan termasuk
mahasiswa, kian terpesona oleh ISIS. Akal sehat mereka sudah berhasil
"dicuci" oleh para guru agama yang menanamkan kebencian. Mereka
tidak bisa lagi memahami bahwa membunuh, apalagi memenggal serta mengumbar
brutalitas, merupakan bentuk kebiadaban.
Padahal,
dalam perspektif peradaban, agama merupakan bagian tak terpisahkan dari
peradaban, yang membuat manusia tidak jatuh dalam kebiadaban. Apa yang dilakukan kaum radikal yang doyan
mengumbar kekerasan atau kebiadaban merupakan penyimpangan keagamaan dan
menjadi tragedi memilukan dalam sejarah peradaban umat manusia.
WNI
yang hendak bergabung menjadi warga negara ISIS tak jadi soal. Hal itu
menjadi masalah jika mereka kembali dan mencoba memasarkan ideologi kekerasan
di negeri yang majemuk. Salah satu langkah strategis yang harus diambil dalam
situasi demikian adalah melakukan deradikalisasi. Hanya dengan deradikalisasi
diri kita bisa menyelamatkan Indonesia dari ancaman radikalisme.
Ketua
rukun warga dan rukun tetangga serta warga perlu dilibatkan. Jika ada
keluarga yang tertutup dan terkesan antisosial, mungkin perlu didekati. Para
guru agama yang mencuci otak orang muda atau menyebarkan kebencian, termasuk
lewat mata pelajaran di sekolah, jelas harus diberi sanksi atau hukuman
tegas. Sebab, menurut BNPT, para guru penyebar radikalisme di Indonesia tidak
tersentuh tangan hukum. Jadi, jika peraturan akan dibuat, para guru penyebar
kebencian itu juga perlu dihukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar