Bernegara secara Angkara
Mochtar Pabottingi
; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS,
27 Maret 2015
Dalam dua bulan pertama 2015, kemelut politik
di Tanah Air berlangsung dengan menonjolnya kemiskinan visi dan integritas,
baik di dalam maupun di sekitar pusat pemerintahan.
Kemiskinan dua dimensi yang membuat negara
kita sempat limbung berminggu-minggu ini telah mengarah pada praksis
bernegara secara angkara dan jika dibiarkan bisa membahayakan kondisi
Republik. Kemiskinan dua dimensi ini terlihat pada laku segelintir pemimpin
partai yang memperlakukan Presiden Jokowi sebagai "petugas partai"
atau yang hendak memaksakan agenda kenegaraan mereka sendiri secara
menyimpang dari jalur reformasi. Begitu pula laku sebagian pimpinan lembaga
penegak hukum yang memvulgarkan proses atau praktik penegakan hukum demi
pemberantasan korupsi, termasuk laku sebagian pengacara. Keadaan menjadi kian
parah ketika Budi Gunawan (BG) dimenangkan dalam sidang praperadilan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan-sesuatu yang berdampak sangat negatif bagi
kepastian hukum. Semua ini jelas bersifat angkara dan bisa meruakkan laku
angkara dalam bernegara.
Ada dua penyebab dari semua itu. Pertama,
karena dikacaukannya rasionalitas hukum dan rasionalitas pemerintahan, yang
tentu saja menggerus iklim kepastian di kedua ranah tersebut. Kita tahu bahwa
ketidakpastian di bidang hukum sudah merupakan undangan celaka bagi
merajalelanya praktik angkara, apalagi jika itu dibarengi ketidakpastian
pemerintahan.
Inisiator dan para praktisi praperadilan kasus
BG sebaiknya menyadari bahaya ini. Pada 1780, Edmund Burke sudah menyatakan, "Bad laws are the worst sort of
tyranny." Juga petuah Kitab Latoa dari abad ke-16, salah satu warisan
tertulis leluhur kita di Tanah Bugis. Sebagian besar melampaui kebersahajaan
zamannya, kitab ini telah mengajarkan secara terperinci 29 laku yang harus
ditolak para penegak hukum demi menegakkan prinsip getteng bicara-kepastian
hukum. Lebih awal lagi, Islam mengajarkan betapa bahayanya membiarkan
penjamuran fitnah lantaran tiadanya kepastian hukum itu.
Kedua, karena semua kalangan pelaku di atas
sama-sama sengaja bertindak atau bersekongkol memanfaatkan daya paksa
monopolistik dari negara secara atau untuk tujuan menyimpang dan tak sah (tak
legitimate), baik dalam paradigma
demokrasi dan nasion maupun paradigma hukum yang semestinya.
Keadilan
substantif-dialektis
Dalam hitungan kedua paradigma itu, mereka tak
mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum, di mana patokan keadilan
substantif-dialektis mutlak sifatnya. Dengan demikian, mereka juga melecehkan
ideal-ideal historis kemerdekaan yang kita junjung tinggi, yang dalam skala
makropolitik juga bertumpu pada patokan keadilan substantif-dialektis itu.
Keadilan substantif lahir dari prinsip-prinsip hukum dan/atau yurisprudensi
dalam hitungan sinkronik. Dan, keadilan dialektis merupakan respons rasional
terhadap arus tantangan evolusi besar-nyata yang silih berganti dihadapi
setiap bangsa dalam hitungan diakronik. Kedua hitungan keadilan ini sama-sama
lahir dari kekuatan akal budi-the power
of reason, sumber kaidah-kaidah utama dalam politik dan hukum.
Pelecehan ideal-ideal kemerdekaan kita dalam
praksis bernegara itu sendiri sudah berarti penggiringan bangsa ke kubangan
kekuasaan yang bersifat angkara dan khianat. Ia bersifat khianat karena
selain mencampakkan prinsip keabsahan cara dan keabsahan tujuan dalam
berdemokrasi, ia pun bekerja menista bangsa. Sama sekali tak boleh dilupakan
bahwa per definisi setiap bangsa/nasion merupakan kolektivitas politik yang
terbentuk dari seperangkat proyek dan kesepakatan makropolitik. Mencampakkan
himpunan ideal kemerdekaan kita berarti mengingkari tujuan makropolitik
Republik kita, yaitu transformasi bangsa kita ke tingkat kehidupan
bernegara-bangsa yang luhur.
Sifat angkara dalam praksis bernegara terutama
mencekam dalam perseteruan mutakhir KPK-Polri. Kita tercekam ketika KPK
menetapkan BG sebagai tersangka. Namun, selanjutnya kita lebih tercekam lagi
dengan penetapan pimpinan KPK berturut-turut juga sebagai tersangka oleh
Polri, termasuk kehendak untuk juga menersangkakan para penyidik lembaga anti
rasuah itu dan melakukan insinuasi pada sebagiannya. Ini bisa dibaca sebagai
tidak lain dari perpanjangan cara tangkap-borgol plus senjata laras panjang
di keramaian jalan raya pagi hari terhadap pimpinan KPK Bambang Widjojanto
(BW). Seolah itu semua belum cukup, tokoh-tokoh penegak hukum pejuang
pemberantasan korupsi di luar KPK ikut disasar Polri untuk juga dijadikan
tersangka.
Seorang narasumber otoritatif yang tahu banyak
tentang aneka praktik penyalahgunaan kekuasaan secara eksesif oleh kepolisian
menyatakan, kita sudah di ambang "Negara Polisi". Bagi sebuah
bangsa yang memperjuangkan kemerdekaannya dengan pengorbanan jiwa raga dan
harta benda yang sungguh tak terkira (ratusan tahun di sepanjang masa
proto-nasion dan bertahun-tahun di sepanjang revolusi kemerdekaan) tak ada
yang lebih keji, lebih sarkastik, dan pasti lebih kita pantangkan daripada
prospek "Negara Polisi" itu!
Penilaian masyarakat luas bahwa telah terjadi
kriminalisasi terhadap personel KPK oleh Polri pada awal 2015 pastilah amat
sulit dibantah karena praktik buruk yang sama telah terjadi dua kali
sebelumnya. Presiden sendiri (setelah menerima masukan dari Tim Sembilan)
tiga kali menekankan agar "jangan ada kriminalisasi". Dadang
Trisasongko dari tim kuasa hukum BW secara tepat merumuskan kriminalisasi
sebagai praktik "rekayasa kasus". Dalam persepsi masyarakat luas,
tindakan ini pulalah yang menimpa mantan pimpinan KPK Antasari Azhar secara
luar biasa zalim. Kita bisa menjelaskan berlakunya praktik kriminalisasi
dan/atau laku angkara sebagaimana ditunjukkan aparat Polri terhadap para
pejuang pemberantasan korupsi dengan memperhadapkannya pada empat kriteria
nalar akal budi untuk menakar ada tidaknya sifat angkara: momen, motif,
proporsi, dan rasionale yang terjalin erat satu sama lain. Dalam keempat
hitungan ini, kita bisa secara gamblang menunjukkan pada ekuasi keadilan mana
KPK dan Polri berdiri.
Tilikan ke "momen" adalah salah satu
pintu masuk penting dalam upaya menyimak pelanggaran hukum. Di situlah
sebab-akibat suatu peristiwa bisa terungkap. Momen kriminalisasi dimulai
Bareskrim Polri dan secara langsung bertubi-tubi tak lama setelah ditetapkannya
BG sebagai tersangka KPK. Ini sejalan momen-momen kriminalisasi terhadap KPK
pada kedua babak "cicak vs buaya" sebelumnya. Pada ketiga momen
perseteruan itu tak ada atau sedikit sekali jeda di antara "aksi"
dan "reaksi" atau apa yang dipandang sebagai offense dan response.
Di atas "momen", "motif"
merupakan pintu masuk lebih penting lagi untuk menyimak atau menjelaskan
ujung pangkal suatu tindakan. Di sini ada semacam pertemuan antara ajaran
agama dan pemikiran filosof. Islam mencanangkan bahwa amal ditentukan niat
atau tujuan. Immanuel Kant menekankan tindakan, tujuan, dan moralitas tak
bisa dipisahkan dari motif. Filosof ulung ini menjelaskannya dengan jernih, "Im Reiche der Zwecke hat alles
entweder einen Preis oder eine Würde." (Dalam totalitas khazanah
tujuan, segala sesuatu memiliki harga atau harkat.) Kendati motif selalu
tersembunyi, setiap orang dewasa yang berpikiran jernih hampir selalu bisa
menangkapnya dan seorang penuntut umum piawai di pengadilan akan sanggup
membongkarnya dalam cross-questioning intens dan cerdas.
Penegak hukum dan
keadilan
Sehubungan kasus cicak vs buaya III, motif
kriminalisasi bisa dilacak dalam serangkaian kemungkinan, seperti kehendak
Polri membela diri/korsa. Atau kehendak melumpuhkan, dan jika perlu
menghancurkan, pihak yang dipandang sebagai "penyerang" (offender) demi menutupi sekaligus
memelihara kelangsungan praktik korupsi yang jika terbongkar bisa sangat
nista bagi lembaga. Termasuk di sini kemungkinan motif kriminalisasi terhadap
Abraham Samad (AS), Ketua KPK, yang dituduh menersangkakan BG lantaran dendam
tak berhasil menjadi wapres. Pada gilirannya, kita pun bisa mempertanyakan
motif pimpinan PDI-P yang membiarkan Plt Sekjen PDI-P Hasto Kristianto
berusaha begitu gencar hendak menjadikan AS sebagai tersangka.
Proporsi bobot ketersangkaan dari kasus
pelanggaran yang ditujukan kepada pimpinan/staf KPK sama sekali tak sebanding
dengan proporsi bobot ketersangkaan yang dikenai pada BG-suatu proporsi yang
sungguh tepat tergambarkan dalam perumpamaan cicak versus buaya itu. Terlepas
dari persoalan tepat atau tidaknya lembaga KPK menangani kasus BG, bobot
ketersangkaan menyangkut penyalahgunaan jabatan sebagai Karobinkar di Polri,
jika itu benar terjadi di bawah BG, bisa dikatakan berdampak seribuan kali
lebih merusak bagi negara-bangsa kita.
Praktik terima sogok dalam pengangkatan dan
penempatan para pejabat menengah dan tinggi kepolisian akan disambut dan
dimanfaatkan secara eksponensial oleh sosok-sosok hitam oligarki. Itu bisa
memuluskan niat atau praktik "perampokan" besar-besaran mereka atas
seluruh kekayaan dan sumber-sumber daya milik bangsa kita di segenap pelosok
Tanah Air. Laku memperjualbelikan jabatan dan penempatan di lembaga
kepolisian, sekali lagi jika betul ada, sungguh ibarat menyodorkan himpunan
hewan korban kepada himpunan buaya. Laku demikian merisikokan penggadaian
seluruh bagian Tanah Air dan kekayaan negara-bangsa, termasuk nasib generasi
masa depannya kepada kaum oligarki.
Maka, sungguh tak salah jika pada ke-29 daftar
laku yang semestinya diharamkan bagi para penegak hukum, Kitab Latoa menyebut
laku menerima sogok di urutan pertama. Di sini penegak hukum penerima sogok
disebut torianre warang parang
(orang yang dimakan harta benda). Mereka kehilangan status sebagai manusia
terhormat. Timbangan tertinggi dari ada-tidaknya laku angkara dalam praksis
bernegara dalam hal ini tak lain dari perbedaan rasionale antara tindakan KPK
menersangkakan BG dan rangkaian tindakan Polri menersangkakan personalia KPK.
Rasion d'etre pembentukan KPK
dinyatakan sangat gamblang pada konsiderans Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002: upaya pemberantasan korupsi selama ini "tidak optimal" dan
lembaga-lembaga pengurusnya "belum berfungsi secara efektif dan
efisien" sehingga perlu suatu komisi "yang independen". Semua
konsiderans ini sedikit pun belum berubah. Korupsi di negeri kita masih tetap
"kejahatan luar biasa" dan negara-bangsa kita masih berada dalam
cengkeraman keadaan darurat korupsi. Atas dasar rasionale bersifat urgen, luar biasa atau compelling dari UU itulah KPK menersangkakan BG.
Sebaliknya, selain atas nalar rutin penegakan
hukum untuk menindaklanjuti laporan masyarakat, Polri tak punyai rasionale setara untuk menersangkakan
personalia KPK, apalagi in toto.
Kalaupun untuk itu suatu rasionale diada-adakan, itu tetaplah ditarik dari
kondisi rutin-normal. Itu pun pada umumnya juga bersifat "abu-abu"
dan "kroco". Sudah kewajiban penegak hukum, termasuk Menteri Hukum
dan HAM Yasonna Laoly dan siapa pun penurutnya (yang dengan nalar biasa
begitu bernafsu hendak merevisi Peraturan Pemerintah No 99/2012), untuk
membandingkan kedua rasionale
tersebut, begitu juga momen, motif, dan proporsi, dalam menyikapi, menangani,
dan memutuskan hal-ihwal perkara korupsi. Seperti halnya kubu pembela BG,
Menteri Hukum dan HAM hanya melihat pelanggaran hak individual narapidana
korupsi. Dia menolak melihat penderitaan puluhan tahun dari jutaan manusia
Indonesia yang hak-haknya telah dirampas secara sewenang-wenang oleh para
koruptor.
Dalam kondisi darurat korupsi, sudah
sepantasnya kita mengindahkan keprihatinan Hakim Agung Artidjo Alkostar yang
ingin menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor kakap karena dia sungguh
mewakili aspirasi puluhan juta manusia Indonesia.
Pada keseluruhan drama laku angkara dalam
praksis bernegara ini, peranan kalangan pengacara tak kecil. Mereka yang
memilih berseberangan dengan KPK bukan hanya tidak pernah mengangkat raison d'etre dari tindakan KPK
terhadap BG, melainkan juga secara terus-menerus berusaha menyingkirkannya
atau memperlakukannya sebagai tiada. Mereka juga tak membaca kriteria momen,
motif, dan proporsi sebagaimana mestinya. Di atas semuanya, mereka termasuk
dalam barisan "penegak hukum" yang tak mengindahkan bangsa dan prinsip
keadilan sejati. Atas perilaku seperti inilah berlaku dakwaan Jeremy Bentham
(1748-1832), "Lawyers are the only persons in whom ignorance of
the law is not punished." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar