Parmusi dan Partai Golkar
Hajriyanto Y Thohari ;
Wakil
Ketua MPR 2009-2014
|
REPUBLIKA,
26 Maret 2015
Sejarah banyak menunjukkan betapa seringnya
terjadi peristiwa yang sebenarnya hanya merupakan repetisi belaka dari
pengalaman lama dan replika kejadian masa lalu. Bukan hanya itu, ada banyak
paralelisme yang mencolok dalam perpolitikan Indonesia dulu, kini, dan
mungkin esok.
Saya ingat betul bagaimana cerita almarhum Lukman
Harun, mantan ketua Pemuda Muhammadiyah dan sekretaris jenderal Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi) 1968-1973, tentang perpecahan yang melanda tubuh
partai kaum Muslim modernis yang sempat digadang-gadang menjadi pewaris
Masyumi itu.
Parmusi dibentuk di Jakarta (1968) dan
dipimpin oleh Djarnawi Hadikusumo, seorang tokoh Muhammadiyah dan putra Ki
Bagus Hadikusumo (ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dan salah satu perumus
UUD 1945 yang legendaris itu). Kongres I Parmusi 4-7 November 1968 di Malang
secara demokratis memilih Mr Moh Roem (ingat Perjanjian Roem-Royen?) sebagai
ketua umumnya.
Namun, karena pemerintah Orde Baru saat itu
tidak merestui (tidak mengesahkan, istilah sekarang) kepemimpinannya dengan
alasan bahwa Roem itu tokoh yang tidak dikehendaki tampil lagi dalam pentas
perpolitikan nasional, kepemimpinan Parmusi dikembalikan kepada Djarnawi
Hadikusumo dengan sekjen Lukman Harun.
J Naro, salah seorang ketua Parmusi yang dari
unsur Al-Wasliyah, secara mengejutkan pada 17 Oktober 1970 mengumumkan kepengurusan
DPP Parmusi (istilah sekarang: DPP Penyelamat Partai atau "DPP
Tandingan") dan mengklaim diri sebagai ketuanya. Apa yang terjadi
kemudian bisa diduga dengan gampang: atas nama disiplin partai Djarnawi
memecat J Naro, dan kemudian J Naro ganti memecat Djarnawi.
Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah
parpol di Indonesia, terjadilah dualisme kepemimpinan; persis seperti yang
kini terulang melanda Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.
Setelah melalui berbagai macam pertemuan konsultasi,
pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang melakukan konsolidasi dan penataan
sistem politik Orde Baru demi suksesnya pembangunan, kemudian—diminta atau
tidak—mengambil langkah campur tangan untuk membenahi dualisme kepengurusan
itu dengan mengesahkan susunan kepengurusan baru Parmusi melalui Surat
Keputusan Presiden No 77 Tahun 1970 pada Sabtu, 14 November 1970, dengan
mengangkat HMS Mintardja, salah seorang menteri negara sebagai ketua. Adapun
Djarnawi Hadikusumo dan J Naro, pimpinan dua kubu yang berselisih, tidak
masuk dalam kepemimpinan baru ini. Namun, belakangan J Naro menjadi salah
satu ketua.
Baiklah, hal itu kita tinggalkan karena sudah
menjadi bagian dari sejarah politik kepartaian Indonesia. Hal yang menarik
untuk dikemukakan di sini adalah apa yang diceritakan oleh almarhum Lukman
Harun: ketika J Naro membentuk kepengurusan tandingan itu mayoritas mutlak
pengurus Parmusi tingkat wilayah dan daerah menyatakan berdiri di belakang
DPP Parmusi di bawah kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun.
Soliditas dan solidaritas partai dirasakan
sedemikian meyakinkan dan bahkan sangat mengagumkan dirinya. Djarnawi-Lukman
Harun sangat terkesan dan terpukau oleh loyalitas dan militansi jajaran
kepengurusan partai yang sedemikian membanggakannya.
Atas dasar keyakinan itulah, Djarnawi
Hadikusumo melakukan perlawanan politik secara maksimal. Namun, apa yang
kemudian terjadi di wilayah dan daerah? Alih-alih ikut berjuang melawan
sampai titik darah penghabisan, begitu angin politik kekuasaan menunjukkan
tanda-tanda keberpihakan pada kepengurusan baru yang disahkan pemerintah itu,
pelan tapi pasti dan sedikit demi sedikit dukungan pimpinan wilayah dan
daerah kepada DPP Parmusi Djarnawi mulai mengendur, mengendur, dan mengendur
untuk kemudian "balik kanan" meloncat mendukung DPP yang mendapat
pengesahan pemerintah.
Djarnawi dan Lukman Harun akhirnya tinggal
sendirian laksana nyanyi sunyi seorang bisu. Apakah keduanya menyerah kalah?
Tidak begitu jelas catatan yang tersedia dalam sejarah. Hal uang pasti, fakta politik
menunjukkan langkah pengesahan kepengurusan yang diambil pemerintah dipandang
sebagai penyelesaian yang "efektif" untuk mengatasi dualisme
kepengurusan parpol sekaligus konsolidasi politik bagi dirinya.
Pemerintah selalu turun tangan setelah kedua
belah pihak yang bertikai (dibuat) gagal menyelesaikan perpecahan internalnya
sendiri secara mandiri sehingga terbukalah celah pihak eksternal untuk
bermain.
Lukman Harun mengatakan—ini poin penting dalam
tulisan ini—"Di negeri dengan kultur politik semacam ini janganlah
pernah melawan kebijakan politik pemerintah secara frontal. Kalian akan
kalah!"
Pemerintah itu mempunyai banyak instrumen
kekuasaan untuk memenangkan sebuah pergumulan politik. Itulah mengapa
pemerintahan sering disebut dengan "penguasa" karena memang
berkuasa. Meski tidak mahakuasa seperti Tuhan, tetap saja yang namanya
pemerintah itu penguasa yang mempunyai alat-alat kekuasaan untuk memenangkan
kepentingannya. Itulah watak kekuasaan di negeri ini, tidak dulu, tidak
sekarang.
Kini, nyatalah bagi kita apa yang terjadi
dalam tubuh PPP dan Partai Golkar sekarang ini merupakan repetisi pengalaman
lama dan replika masa lalu belaka. Apa yang dulu menimpa Parmusi (1970) kini
terulang lagi: menimpa Partai Golkar (2015).
Dulu ada SK Presiden No 77 Tahun 1970 tentang
Pengesahan Pengurus Parmusi tertanggal 14 November 1970 dan kini ada SK
Menteri Hukum dan HAM No M.HH-01.AH.II.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan
Komposisi Personalia Partai Golkar tertanggal 23 Maret 2015. Mungkin tidak
sama, tetapi ada paralelisme yang mencolok dalam dua kasus, dua parpol, di
"dua era" itu.
Akhirnya, ini yang lebih menarik lagi, apa yang menimpa Parmusi terjadi pada masa sebelum
Reformasi, dan apa yang menimpa Partai Golkar terjadi pada era Reformasi yang
demokratis. Lantas, mungkin ada yang bertanya, apakah yang membedakan
pemerintahan yang otoriter dan yang demokratis itu? Apres nous le deluge. Artinya, kira-kira, embuh ora weruh! Aku ora melu-melu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar