Membangun Sektor Pelayaran
Carmelita Hartoto ;
Ketua
Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA); Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia Bidang Logistik/Bendahara
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2015
Kita patut mengapresiasi Pemerintah Republik
Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo— Wakil Presiden Jusuf Kalla
yang memberikan perhatian kepada sektor maritim melalui program-program dalam
rangka Tol Laut maupun untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia.
Terlepas dari ada pro dan kontra, program
tersebut memberikan harapan bagi sektor-sektor yang terkait kemaritiman,
termasuk sektor pelayaran untuk lebih berkembang dan berdaya saing tinggi.
Konsep tersebut akan memperkuat pencapaian selama 10 tahun terakhir sejak
Indonesia mempertegas kembali pelaksanaan haknya untuk menerapkan asas
cabotage bagi angkutan dalam negerinya.
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar
di dunia, sudah waktunya bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan kejayaan
maritim nasional. ”Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan
peradaban kita,” demikian kalimat yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat
pidato pertama kali sebagai presiden Republik Indonesia.
Memang masih perlu kajian sejarah kapan Indonesia
pernah mencapai kejayaan sebagai bangsa maritim sehingga kita tergerak dan
berkeinginan untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Tetapi, di bidang
transportasi laut, kita pernah memiliki catatan sejarah yang manis di mana
pada 1960-an hingga 1980-an, pelayaran niaga nasional menguasai kegiatan
angkutan laut dalam negeri dan konon menguasai lebih dari 70% muatan angkutan
laut ekspor-impor.
Karena itu, memberikan perhatian yang lebih
besar kepada sektor kemaritiman, khususnya di bidang angkutan laut, merupakan
hal yang sangat fundamental menilik Indonesia sebagai bangsa maritim yang
memiliki potensi ekonomi strategis yang sangat besar untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Modal Penting
Kita mencatat bahwa memasuki medio tahun
1980-an, sektor pelayaran nasional mulai mengalami kemunduran. Puncaknya pada
2005 saat Indonesia benar-benar menjadi penonton di negerinya sendiri.
Indikator kemunduran itu sebanyak 46% angkutan laut domestik dan 96% angkutan
ekspor-impor Indonesia dikuasai perusahaan dan kapal-kapal luar negeri.
Entah berapa kerugian ekonomi yang harus
ditanggung bangsa ini selama dua dasawarsa tersebut sebelum akhirnya
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran
Nasional terbit. Yang jelas, selama pelayaran terpuruk, biaya ekonomi dan
logistik menjadi sangat mahal, bahkan imbasnya masih dirasakan masyarakat
Indonesia hingga sekarang. Mahalnya biaya logistik yang saat ini mencapai
23,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) sehingga menjadi salah satu yang
tertinggi di kawasan ASEAN serta indeks logistic performance index (LPI) yang
buruk dibandingkan 2007 merupakan sisa dari masalah kondisi angkutan laut
yang terpuruk sejak 1980-an tersebut.
Hanya, saat ini Indonesia telah memiliki modal
untuk mengembalikan kejayaan maritim nasional, khususnya di bidang angkutan
laut. Modal utamanya adalah success
story asas cabotage yang
berhasil dilaksanakan sejak 2005. Konsistensi Indonesia dalam menerapkan asas
cabotage selama ini mampu menarik
investasi untuk pembelian kapal hingga lebih dari USD18 miliar.
Tidak heran jika sekarang, pelayaran niaga
nasional sudah mendekati sasaran utama untuk menjadi tuan rumah di negerinya
sendiri dengan kemampuan mengangkut seluruh kargo domestik seperti yang
pernah terjadi pada era 1960-an hingga 1980-an meski harus diakui, kapal
niaga nasional belum bisa banyak berbicara pada kegiatan angkutan
ekspor-impor Indonesia. Kapal-kapal nasional juga sudah banyak ragam dan
tipenya.
Terdapat ratusan kapal-kapal untuk kebutuhan
angkutan domestik seperti kapal jenis general cargo, kapal curah kering,
kapal curah cair, kapal penumpang dan roro, maupun kapal-kapal peti kemas
yang berkapasitas 1.500 TEUs. Populasi dan kapasitas kapal untuk angkutan
antarpelabuhan dan pulau ini akan terus meningkat sejalan pertumbuhan muatan
dan ketersediaan infrastruktur penunjangnya.
Di sisi lain, pelayaran nasional juga sudah
membeli kapal-kapal yang memerlukan investasi sangat mahal serta berteknologi
mutakhir seperti kapal jenis platform
service vessel, anchor handling tug and supply di atas 12.000 horse power, very large crude carrier, very
large gas carrier, kapal-kapal untuk kegiatan pengeboran minyak dan gas
di laut, kapal penunjang kegiatan konstruksi lepas pantai maupun kapal untuk
kegiatan survei minyak dan gas bumi.
Kemajuan ini seharusnya sudah dirasakan oleh
masyarakat Indonesia melalui tarif angkutan laut yang semakin kompetitif,
jaringan pelayaran yang semakin luas, dan disparitas harga bahan pokok yang
dapat ditekan. Hingga kini tarif angkutan laut masih terkesan mahal banyak
faktor pemicunya seperti tarif kepelabuhanan, biaya bongkar muat, waktu
tunggu kapal, pajak-pajak yang tidak lazim di dunia internasional hingga
kesenjangan muatan antarpelabuhan.
Langkah Cerdas
Apa yang sudah dicapai pelayaran saat ini bisa
dikatakan sebagai satu langkah penting dalam mewujudkan visi Indonesia
sebagai bangsa maritim dalam perspektif angkutan laut. Langkah berikutnya
bagaimana pelayaran nasional dapat berbicara banyak di kancah internasional
yakni memperbesar peran pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia.
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) 2015—2019, Kabinet Kerja di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menetapkan target tinggi di bidang pelayaran
seperti populasi kapal niaga nasional meningkat menjadi 21.111 unit pada 2019
dan jumlah perusahaan pelayaran mencapai 4.060 unit.
Jika merujuk pada data terakhir perkembangan
populasi kapal nasional hingga Juli 2014, selama lima tahun ke depan akan ada
tambahan kapal nasional sebanyak 7.075 unit dan perusahaan baru di bidang
pelayaran sebanyak 980 unit perusahaan. Kondisi ini cukup menggembirakan,
tetapi juga mengkhawatirkan mengingat saat ini saja setidaknya 30% armada
niaga nasional menganggur karena kesulitan muatan.
Salah satu solusi agar RPJM di bidang
perkapalan tercapai, bagaimana pemerintah dapat mendorong meningkatkan pangsa
pasar angkutan kapal niaga nasional pada kegiatan angkutan ekspor-impor
Indonesia mengingat tidak kurang dari 91% kegiatan ekspor-impor komoditas
Indonesia masih dikuasai kapalkapal luar negeri. Sejak 2010 organisasi
pelayaran nasional INSA telah mendorong program angkutan ekspor-impor
Indonesia menggunakan kapal nasional.
Program ini diusulkan sebagai bagian dari
strategi lanjutan pemberdayaan industri pelayaran nasional. Kementerian
Perhubungan telah memberikan dukungannya untuk mewujudkannya, tetapi program
ini melibatkan kementerian lain. Pada 2013 Kementerian Perdagangan telah
merespons program tersebut dengan merencanakan untuk mengubah term of trade ekspor dari free on board (FOB) menjadi coast, insurance, and freight (CIF)
hingga sejak awal 2014 lahir dan diberlakukanlah kebijakan ekspor dari
Indonesia wajib menggunakan sistem pencatatan term CIF.
Tetapi, pencapaian tersebut belum mampu
mendorong pemilik barang atau eksportir dan importir untuk beralih dari
menggunakan kapal-kapal asing menjadi kapal-kapal berbendera Merah Putih.
Akibat itu, hingga kini potensi ekonomi, devisa, dan penerimaan negara dari
ongkos angkut mengalir deras ke luar negeri, padahal nilainya berkisar Rp80
triliun hingga Rp120 triliun per tahun.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa kemajuan
industri pelayaran yang dicapai akan memberikan multiplier effect yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara, baik terhadap aspek ekonomi, kedaulatan, sosial budaya, politik
maupun pertahanan dan keamanan. Dengan sendirinya Indonesia telah kembali
mencapai kejayaan di bidang maritim, khususnya di bidang angkutan laut.
Karena itu, kita berharap kepada Kabinet Kerja
yang memiliki program andalan Tol Laut dan Poros Maritim dapat memelopori
langkah cerdas dengan mempercepat penggunaan kapal berbendera Merah Putih
pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia. Langkah ini penting melihat
besarnya potensi ekonomi, penerimaan negara dan devisa yang selama
bertahuntahun lamanya dibiarkan menguap ke luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar