Orang-Orang yang Lebih Mudah Bangun Cerobong
Dahlan Iskan
; Mantan CEO
Jawa Pos
|
JAWA
POS, 30 Maret 2015
Terserah. Itulah salah satu kata yang
terbanyak saya ucapkan ketika ditanya anak buah, teman, atau keluarga.
Biasanya saya memang hanya mengajukan usul atau ide dalam satu–dua kata. Saya
sependapat dengan peribahasa ini.
”Satu kata cukup untuk orang bijaksana.
Sebanyak apa pun kata tidak akan cukup untuk memenuhi piring.” Itu diciptakan
oleh Benjamin Franklin, salah satu pendiri Amerika Serikat.
Tapi, kadang satu kata memang idak cukup. Maka,
datanglah pertanyaan-pertanyaan susulan kepada saya. Biasanya saya menjawab,
”Terserah.” Saya percaya bahwa orang di sekitar saya, termasuk anak buah
saya, adalah orang-orang yang pandai. Bahkan mungkin lebih pandai.
Bahwa mereka mengajukan pertanyaan, saya yakin
itu karena kebiasaan saja. Kebiasaan banyak dinasihati. Atau kebiasaan minta
petunjuk. Atau kebiasaan memiliki atasan yang kalau tidak dimintai petunjuk
merasa diabaikan anak buah.
”Terserah,” jawab saya ketika anak buah
mengajukan pilihan cara mengerjakan atau memutuskan. Tapi, kalau dia masih
juga minta petunjuk, saya akan bilang bahwa saya ini bukan ”pabrik petunjuk”.
Yang selalu memproduksi petunjuk. Kecuali mereka benar-benar tidak tahu,
barulah saya bicara. Itu pun bukan petunjuk. Hanya usul. Bahwa usul saya itu
dianggap baik, silakan. Kalaupun tidak, silakan pakai cara lain. Saya tidak
marah kalau ”petunjuk” saya tidak dijalankan. Asal yang dia lakukan lebih
baik.
Istri saya sering komplain. ”Kok terserah
terus?” katanya.
Saya setuju dengan Benjamin Franklin.
Kata-kata saja tidak akan bisa membuat seseorang kenyang. Kerjalah yang bisa
mengatasinya. Tapi, banyak atasan yang ketika anak buahnya minta petunjuk
mengira anak buah itu benar-benar minta petunjuk. Padahal, anak buah itu
hanya ingin menghargai atasan. Atau sedikit menjilat. Lalu, sang atasan
memaksakan diri untuk memberikan petunjuk. Dia merasa tidak pantas kalau
tidak memberikan petunjuk. Atau merasa wibawanya turun. Atau merasa dikira
kurang pandai. Atau merasa kok seperti bukan atasan.
Saya sendiri, ketika jadi bawahan, kurang
senang minta petunjuk. Suatu saat saya diminta ”membereskan” kantor Tempo di
Surabaya. Waktu itu saya belum lama ditugaskan untuk memimpin Jawa Pos.
Sebagai mantan pimpinan Tempo di Jatim, saya tahu apa yang harus saya
lakukan. Beberapa orang saya minta meninggalkan Tempo. Heboh. ”Lho, kok
sejauh itu?” ujar pimpinan Tempo di Jakarta. ”Kan beres,” kata saya. Goenawan
Mohamad, pimpinan tertinggi Tempo, akhirnya melegakan saya. ”Dahlan orangnya
memang begitu. Biar saja,” katanya.
Tahun 2000, saya ditugasi Gubernur Jatim Imam
Utomo untuk menjadi Dirut perusahaan daerah PT Panca Wira Usaha (PWU). Saya
sungkan. Saya mau. Tapi tidak mau digaji. Dan tidak mau mendapat fasilitas
apa pun. Sebab, saya tidak mau meninggalkan Jawa Pos.
Salah satu perusahaan daerah itu adalah pabrik
karet Ngagel. Entah sudah berapa tahun rugi. Pabriknya reyot, lantainya tanah
berair, dan sarang laba-laba ada di mana-mana. Saya lihat, di situ ada
seorang anak muda yang pandai dan pekerja keras. Namanya Budi Harahap. Saya
tunjuk dia jadi Dirut.
Beberapa atasannya yang lebih tua terbalik jadi
anak buahnya. Heboh. Karyawan demo. Gubernur kirim surat teguran. ”Perusahaan
milik pemerintah kok sampai didemo. Tidak boleh terjadi lagi,” kira-kira
begitu. Lantas, saya jawab, ”Pak Gubernur, demo itu biasa. Mungkin masih akan
terjadi lagi.”
Sejak itu, pabrik karet Ngagel membaik. Lalu,
Budi minta dibangunkan pabrik baru untuk memproduksi steel rubber conveyor. Itu akan menjadi satu-satunya. Semua steel rubber conveyor diimpor dari
Jerman, Prancis, atau Tiongkok. Saya setuju. Tapi, perusahaan kan tidak punya
uang. Padahal, perlu investasi Rp 40 miliar. Memang bisa pinjam bank. Tapi,
perusahaan belum dipercaya bank. Utang macet masa lalunya masih banyak di
beberapa bank.
Bank juga tidak mau menerima jaminan milik
pemerintah. Akhirnya, saya jaminkan pribadi saya, tentu dengan seluruh
kekayaan saya pribadi, untuk pinjaman itu. Pabrik pun berdiri di
Karangpilang. Sekarang maju sekali. Sangat menguntungkan.
Pabrik kulit yang sudah tidak berproduksi,
hampir runtuh, dan jadi sumber polusi di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, juga
harus dirombak. Tapi, juga tidak ada dana. Deposito pribadi pun saya jaminkan
untuk memperoleh pinjaman bank. Jadilah Jatim Expo itu.
Di Jawa Pos, saya memiliki puluhan orang yang
untuk mengerjakan banyak hal tidak perlu minta petunjuk. Bukan saja ”pabrik
petunjuk”-nya memang jarang berproduksi, juga karena mereka memang tipe orang
”satu kata cukup untuk seorang yang bijaksana”. Mereka juga bukan orang-orang yang
menerima takdir begitu saja. Mereka seperti pepatah Benjamin Franklin,
”Hati-hati dengan pengeluaran, biarpun kecil. Karena kebocoran kecil bisa
menenggelamkan kapal.” Mereka adalah para pekerja keras, mau menderita, dan
tidak kesusu ingin menikmati. Seperti kata Benjamin Franklin, ”Barang siapa
sarapan berlebihan, dia akan makan siang dengan kemiskinan dan makan malam
dengan penderitaan.” Sebab, seperti pepatah Benjamin berikutnya, ”Lebih mudah
membangun dua cerobong asap daripada menjaga salah satu cerobong untuk bisa
terus mengepul.”
Saya tidak tahu mengapa Benjamin yang tidak
pernah jadi presiden Amerika Serikat itu justru menjadi penanda mata uang
dolar AS terbesar, USD 100. Dan tidak pernah diganti sejak 1929. Semua orang
Amerika yang saya tanya tentang itu tidak tahu. Saya cari di internet, juga
tidak ketemu.
George Washington, pendiri dan presiden
pertama AS, justru hanya menjadi penanda uang 1 dolar. Yang jelas, penanda
mata uang harus diputuskan oleh parlemen.
Jangan-jangan karena Benjamin Franklin adalah
seorang filsuf (di samping seorang wartawan, penulis, dan penemu beberapa
teori dalam kelistrikan) yang begitu mendorong orang untuk menjadi kaya
melalui kerja keras serta menghargai uang. Dia juga anti kepada orang malas
dan orang mengeluh.
Seseorang mengeluh atas tingginya pajak
pemerintah. Benjamin bilang, ”Jangan terus mengeluh, nanti Anda tidak bisa
membayar pajak. Bekerja keraslah, Anda akan punya uang, kehormatan, dan bisa
membayar pajak.” Tapi, banyak orang tidak mau bekerja keras karena tidak tahu
berharganya uang.
”Ingin tahu betapa berharganya uang?” tulis
Benjamin dalam bukunya pada 1756 tentang cara menjadi kaya. ”Cobalah pinjam
uang,” jawabnya.
Meski dia pendiri AS terkemuka, tapi tidak
pernah ditanya oleh Thomas Jefferson ketika ketua tim penulis draf deklarasi
kemerdekaan itu merumuskan deklarasi. Konon, Jefferson, yang akhirnya jadi
presiden ketiga AS dan gambarnya menjadi penanda mata uang 20 dolar, khawatir
akan terlalu banyak kalimat filsafat yang diusulkan dalam draf
deklarasi.
Rupanya dia juga seorang humoris yang getir.
Karya legendarisnya yang berjudul Cara
Menjadi Kaya itu ditutup dengan dua kalimat yang pahit. ”Semua yang
membaca cara-cara menjadi kaya ini mengaku sepenuhnya mengerti, menyadari,
dan ingin melakukannya. Tapi, besoknya mereka mengerjakan sebaliknya, seperti
juga ketika mereka baru pulang dari mendengar khotbah.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar