Konflik Yaman : Multi Aspek dan Multi Dampak
Toni Ervianto
; Alumnus Fisip
Universitas Jember; Alumnus Pasca Sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI),
Universitas Indonesia
|
DETIKNEWS,
27 Maret 2015
Dahulu kala,
Yaman yang terdiri dari Yaman Utara dan Yaman Selatan adalah negeri yang
damai, bahkan Yaman dikenal dengan negeri Arabia Felix (Arab yang
berbahagia). Namun sejak tahun 1994, sebutan tersebut tidak lekat di Yaman
lagi, karena Yaman kini tengah dalam pusaran 'sejuta konflik' di berbagai
sisi negeri.
Pada tahun
1994, konflik perang saudara menerpa Yaman, antara pemerintah Yaman dengan
pengikut partai sosialis di wilayah selatan Yaman. Konflik ini dipicu
keinginan untuk melepaskan diri dan membentuk kembali negara Yaman Selatan.
Perang yang dikenal dengan sebutan “Perang Musim Panas 94” ini berakhir
setelah Pemerintah Yaman berhasil menguasai keadaan.
Setelah Yaman
bagian selatan reda, Yaman kembali digoyang pemberontakan kelompok Al-Houthi
di wilayah utara, di Provinsi Sa'adah, yang berbatasan langsung dengan Arab
Saudi. Kelompok Al Houthi ini sebenarnya ada sejak tahun 1994, namun pada
tahun 2004 mulai melakukan perlawanan total.
Nama Al
Houthi dinisbatkan pada pemimpin mereka, Hussein Badreddin Al-Houthi yang
tewas dibunuh tentara Yaman tahun 2004. Awalnya kelompok ini menamakan diri
"As-Shabab Al-Mukminin" kelompok oposisi yang menentang invasi AS
di Irak serta campur tangan AS di Yaman. Setelah pemimpin gerakan ini Hussein
Badreddin Al Houthi terbunuh, saudaranya bernama Abdul Malik Houthi
menggantikan posisinya. Ia mempopulerkan nama Al Houthi sebagai nama
gerakannya. Gerilyawan Al Houthi mayoritas Muslim Zaidiyah (salah satu aliran
dalam Syiah), maka dianggap ancaman serius bagi Yaman dan Arab Saudi.
Untuk
mengatasi gerilyawan Al Houthi, Arab Saudi sudi menyuntikkan dana ke Yaman
setiap tahun US$ 2 miliar. Dengan target menjamin keamanan wilayah perbatasan
Arab Saudi - Yaman. Arab Saudi khawatir pemberontakan itu merembet ke
wilayahnya. Yaman dan Arab Saudi juga menuding ada peran Iran di balik
pemberontakan Al Houthi, bahwa senjata Al Houthi itu disuplai Iran.
Tudingan dan
dugaan ini kemungkinan ada benarnya, karena ada pengakuan dari Rajeh Badi,
salah seorang utusan Al Houthi ke Iran pada awal Maret 2015. Badi menyatakan,
kelompok Syiah Al-Houthi yang saat ini secara de facto memegang kekuasaan di
Yaman mengaku mendapatkan jaminan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Iran.
Badi menegaskan ada komitmen Iran akan membantu perekonomian Yaman dengan
membangun pembangkit listrik dan bahan bakarnya untuk kebutuhan setahun,
serta dukungan di bidang militer. Parahnya, Pemerintah Yaman mempersenjatai
suku-suku membentuk milisi untuk menghadapi kelompok Al Houthi.
Di sisi lain,
Arab Saudi dan Yaman adalah partner bangsa Arab yang keduanya memiliki
kedekatan dengan Amerika Serikat. Selama Yaman memerangi Al Houthi, AS diduga
kuat terlibat membantu, dengan bukti jet-jet tempur yang lalu lalang adalah
milik AS. Menguatnya bantuan Amerika Serikat ke Yaman tersebut menarik
perhatian Al Qaeda, karena Al Qaeda selalu mengincar AS. Jihadis Al Qaeda
segera berdatangan ke Yaman Selatan, menyebabkan Yaman Selatan yang dulu
dipengaruhi komunis, kini menjadi basis kelompok Salafi Jihadi Al Qaeda.
Padahal, Al Qaeda kurang menyadari bahwa
kelompoknya juga 'makan uang bantuan AS secara tidak langsung'. Hal ini
setidaknya terinformasi dari pertengahan Maret 2015, The New York Times
memberitakan, sekitar US$ 1 juta dana rahasia Central Intelligence Agency (CIA)
yang diberikan kepada Pemerintah Afghanistan semasa Pemerintahan Hamid Karzai
tahun 2010 mengalir ke tangan Al-Qaeda.
Pemerintah
Hamid Karzai menggunakan dana tersebut untuk membayar tebusan bagi diplomat
Afghanistan, Abdul Khaliq Farahi, yang disandera Al-Qaeda. Dana rahasia CIA
itu diperuntukkan untuk membeli pengaruh para panglima perang, legislator dan
lain-lain, serta biaya untuk perjalanan diplomatik rahasia dan perumahan bagi
para pejabat senior Afghanistan.
Arab Spring
Serangan Al
Qaeda diarahkan ke instansi milik AS di Yaman. Yaman Selatan pun bergejolak.
Yaman bersumpah memerangi Al Qaeda karena mulai mengacak-ngacak wilayahnya.
Dana dari AS pun untuk menanggulangi Al Qaeda di Yaman mengalir tajam, dari
sebelumnya US$ 70 juta naik menjadi US$ 150 juta pada 2011 dalam bentuk
hibah.
Presiden Ali
Abdullah Saleh memang dipusingkan mengatasi gejolak di dua front yakni
Wilayah Utara (Syiah Houthi), Selatan (Al Qaeda). Maka untuk mengatasi Syiah
Houthi, Ali Abdullah Saleh mendapat bantuan Arab Saudi. Sedangkan untuk
menumpas Al Qaeda, Arab Saudi berpartner dengan AS.
Meski
digoyang dengan dua kekuatan berbeda, yakni Syiah Houthi serta Salafi Jihadi
Al Qaeda, Ali Abdullah Saleh masih kokoh memimpin Yaman. Hingga akhirnya petaka
bagi kekuasaan Ali Abdullah Saleh datang di saat masa 30 tahun memimpin
Yaman. Ali Abdullah Saleh akhirnya tumbang, bukan karena pemberontakan
senjata oleh Al Qaeda atau Al Houthi tapi oleh Revolusi Rakyat.
Revolusi
Rakyat Arab atau Arab Spring, yang menggema di beberapa negara Arab menuntut
lengsernya para diktator di negeri Arab, termasuk Yaman. Demonstrasi 1 juta
massa memaksa Ali Abdullah Saleh lengser dari kursi Presiden.
Demonstrasi
dipicu ketika Ali Abdullah Saleh berusaha mengusulkan amandemen konstitusi
yang membuatnya agar tetap langgeng berkuasa. Terlebih Rezim Ali Abdullah
Saleh tidak mampu menyejahterakan rakyat Yaman. Kemiskinan yang meningkat di
kalangan rakyat produktif, kurangnya kebebasan berpolitik, korupsi tinggi,
angka pengangguran mencapai 40%.
Di bawah Ali
Abdullah Saleh, rakyat juga diresahkan oleh masalah keamanan, seperti
pemberontakan Al Qaeda di Selatan dan Al Houthi di Utara. Rakyat kompak
mendesak Ali Abdullah Saleh turun dari jabatan, demonstrasi digelar seantero
Yaman. Ali Abdullah Saleh, mencoba meredam demonstran dengan menawarkan tidak
akan maju lagi jadi presiden dan akan turun di 2013. Demonstran menolak
tawaran Ali Abdullah Saleh, dan memintanya agar turun tahta sesegera mungkin.
"Yaumul
Ghadab" atau "Hari Kemarahan" diselenggarakan para demonstran
untuk menggulingkan Ali Abdullah Saleh dari kursi Presiden. Presiden Ali
Abdullah Saleh telah kehilangan legitimasinya, rakyat sudah tidak percaya
lagi padanya. Sementara itu Arab Saudi juga meminta dia untuk mundur sebelum
Yaman semakin memburuk.
Ali Abdullah
Saleh tidak hanya kehilangan dukungan dari rakyatnya, sekutunya di luar
negeri memintanya untuk lengser. Ali Abdullah Saleh mencoba mengulur-ulur
waktu, beberapa kali rencana negara-negara Teluk untuk memfasilitasi transisi
kepemimpinan tidak terealisasi.
Sampai
akhirnya Ali Abdullah Saleh menjadi korban pengeboman pada awal Juni 2011.
Nyawa Ali Abdullah Saleh tertolong, ia dilarikan ke Arab Saudi untuk
menjalani pengobatan. Perginya Ali Abdullah Saleh ke Saudi untuk pengobatan
disambut suka cita rakyat Yaman dan menolak Ali untuk kembali lagi ke Yaman.
Setahun kemudian, Ali Abdullah Saleh dibawah tekanan Arab Saudi resmi
menyerahkan jabatan Presiden ke Wapres Yaman, Abdul Mansyur Hadi.
Di tengah
hiruk pikuk Arab Spring di Yaman, Al Houthi dengan leluasa mengendalikan
Yaman di wilayah utara, sedang Al Qaeda di wilayah selatan. Al Qaeda terus
membangun kekuatan, bahkan pada 2009 terjadi merger dua kelompok Jihadis
Saudi dan Jihadis Yaman dengan nama AQAP. AQAP kini dipimpin oleh Nasser al
Wuhaysi, mantan sekretaris pribadi Osama, belakangan ia sering muncul
memberikan ancaman pada AS dan Yaman. AS merespons mengirimkan drone untuk
mengebom kamp-kamp pelatihan AQAP di Yaman.
Syiah vs Sunni
Bagaimanapun juga konflik Yaman memiliki
multi aspek seperti 'pelibatan' Arab Saudi, Amerika Serikat dan Al Qaeda,
serta konflik ini juga diwarnai unsur konflik sektarian antara kelompok Syiah
Houthi dengan masyarakat Yaman yang mayoritas Sunni.
Houthi sebenarnya
adalah suatu kelompok intelektual dan memiliki tentara yang memberontak
secara internal (domestik) di Yaman. Kelompok ini awalnya muncul di sebelah
utara Yaman, tepatnya di Muhafadhah (Provinsi) Sha'dah. Houthi memiliki
pemikiran yang sama dengan Syiah Hizbullah di Libanon. Kelompok Houthi ini
saling bahu-mambahu dengan Syiah 'Hizbullah' untuk menghancurkan masyarakat
Sunni yang berakidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Antara Syiah
Hizbullah dan Houthi memiliki aqidah yang sama yaitu aqidah Syiah Itsna'ariyyah
atau disebut Syiah Rafidhah atau dikenal dengan nama lain yaitu "Syabab
Almu'min" dan "Ansharullah". Pemikiran yang dibawa oleh
kelompok ini adalah pemikiran Syiah Rafidhah yang sangat berbahaya, yaitu
tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq sebagai khalifah pertama
kerena keyakinan mereka yang berhak duduk sebagai khalifah setelah Nabi
Muhammad SAW wafat adalah Ali bin Abi Thalib.
Mereka juga
mengkafirkan sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, bahkan
Aisyah istri Nabi Muhammad, dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad lainnya.
Pemikiran mereka yang sangat berbahaya memerangi masyarakat Sunni Ahlussunnah
wal Jamaah dan menghalalkan darah mereka. Peperangan inilah yang sedang
terjadi di Yaman dan itu pula menjadi salah satu akar masalahnya.
Yaman: Masih Mencekam
Hasil
pemantauan penulis terhadap situasi di Yaman dari pemberitaan media massa
online dalam dan luar negeri sampai 20 Maret 2015 mendapatkan kesimpulan
besar bahwa situasinya masih mencekam dan dampak dari konflik Yaman
diperkirakan akan menimbulkan pendadakan strategis yang cukup menimbulkan
efek bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Pendukung
"Gerakan Selatan Yaman" meminta partai dan tokoh politik Yaman,
termasuk Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi untuk meninggalkan Provinsi Aden
pada 1 Maret 2015, karena khawatir daerah selatan Yaman akan menjadi wilayah
konflik. Sementara di Kota Sana'a, ratusan pendukung Al Houthi menyatakan
dukungannya terhadap deklarasi konstitusional oleh Al Houthi yang menyerukan
semua pihak untuk berpartisipasi dalam pembentukan komite rakyat di Yaman.
Selain itu,
mereka juga mengecam intervensi AS dan Arab Saudi terhadap urusan internal
Yaman, serta menolak rencana mantan Presiden Abd Rabbuh Mansour Hadi yang
akan merelokasi Ibukota Yaman dari Sana'a ke Kota Aden.
Kelompok Al
Qaeda Yaman (AQAP) melancarkan serangan terhadap 1 stadion yang digunakan
oleh anggota pemberontak Al Houthi sebagai kamp pelatihan di Kota Al-Bayda
tanggal 3 Maret 2015, mengakibatkan 10 anggota Houthi tewas. Beberapa jam
setelah serangan tersebut, AQAP kembali melancarkan serangan bom bunuh diri
terhadap satu pertemuan kelompok Houthi di satu sekolah di Azzahir,
mengakibatkan 8 orang tewas.
Di saat
bersamaan, satu bom pinggir jalan meledak ketika kendaraan patroli Houthi
melintas di jalan raya dekat sekolah tersebut, mengakibatkan 9 anggota Houthi
tewas. Pada hari yang sama, kelompok Al Qaeda melakukan serangan bom kepada
pendukung kelompok Ansarullah di Kota Redda, Provinsi. Al-Baidha,
mengakibatkan 12 anggota Ansarullah tewas. Sementara di depan gedung
pemerintahan Provinsi Hadramut, Al Qaeda juga melancarkan serangan bom, yang
menewaskan 3 tentara Yaman dan seorang warga sipil.
Setelah
gagalnya perundingan untuk mengatasi konflik yang terjadi dengan kelompok
Houthi Syi’ah dan dimediasi PPB, Presiden Abedrabbo Mansour Hadi mengusulkan
agar tempat pembicaraan perundingan para pemimpin suku di Aden diadakan di
Ibukota Riyadh, Saudi Arabia yang juga disetujui Dewan Kerja Sama Teluk.
Menurut
Pemerintah Arab Saudi, krisis Yaman telah memicu kekhawatiran dunia, karena
ketegangan antara Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi dengan kelompok Al Houthi
telah dimanfaatkan kelompok Al Qaeda untuk menjalankan agendanya. Untuk itu,
Pemerintah Arab Saudi menegaskan bahwa keamanan Yaman adalah bagian tanggung
jawab negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk. Sejauh ini, Al Houthi terus
menyatakan resistensinya terhadap keputusan Arab Saudi yang menolak untuk
berpartisipasi dalam dialog nasional Yaman.
Menteri
Pertahanan Yaman, Mayjen Mahmoud Al-Subaihi melarikan diri dari Kota Sana'a
ke Kota Aden untuk bergabung dengan Presiden Yaman yang diakui dunia
internasional, Abdul Rabbo Mansour Hadi. Al-Subaihi melarikan diri setelah
kelompok Al Houthi yang menguasai Sana'a menyerbu rumahnya. Sejauh ini, Kota
Pelabuhan Aden telah dijadikan oleh Abdul Rabbo Mansour Hadi sebagai basis
kekuatannya untuk melawan kelompok Al Houthi. Bahkan sejumlah negara Teluk
(termasuk Arab Saudi) telah memindahkan kedutaan besarnya dari Sana'a ke Kota
Aden sebagai bentuk dukungannya terhadap Pemerintahan Abdul Rabbo Mansour
Hadi.
Sementara
itu, kelompok militan Syiah Yaman, Al-Houthi membebaskan PM Yaman, Khaled
Bahah, setelah hampir 2 bulan dijadikan tahanan rumah, termasuk seluruh
menteri di Kabinet PM Khaled Bahah. Menurut sejumlah pihak di Yaman,
pembebasan PM Bahah tersebut tidak terlepas dari tekanan kelompok bersenjata
dan politik di Yaman terhadap Al Houthi. Pembebasan PM Khaled Bahah itu juga
menunjukkan niat baik Al Houthi untuk memudahkan pembicaraan tentang transisi
politik di Yaman.
Ansar al-Sharia, kelompok militan Yaman yang
berafiliasi dengan Al-Qaeda di Yaman Utara mengaku bertanggung jawab atas
penembakan yang menyebabkan seorang anggota senior gerakan Al Houthi, Abdul
Karim al-Khiwani di Kota Sanaa pada 18 Maret 2015 tewas. Sementara di Kota
Aden,Yaman Selatan terjadi bentrokan senjata setelah Komandan Pasukan Khusus
di Aden (loyalis Al Houthi), Abdel Hafez al-Saqqaf menginstruksikan
pengerahan pasukan ke di jalan-jalan umum di Kota Aden (termasuk dekat
bandara), yang mendapat perlawanan dari Komite Perlawanan Rakyat (loyalis
Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi).
Multi Dampak
Di era
sekarang ini, apapun konflik yang terjadi di suatu negara apalagi di
negara-negara yang masuk 'world hot spot' seperti negara-negara di Timur
Tengah, maka selalu berdampak sangat banyak (multi dampak). Dampak pertama
adalah konflik Yaman juga menjadi ajang 'proxy war' bagi Amerika Serikat
dengan tujuan untuk menyeleksi dan menilai sebenarnya negara-negara mana saja
yang menjadi 'sahabat sejati' mereka.
Termasuk
secara tidak langsung AS ingin mengetahui apa efek dari Arab Spring untuk
kepentingan nasional mereka (terutama energi di masa depan).
Di manapun
ada konflik di belahan dunia ini yang ada keterlibatan AS, malah tidak dapat
dihentikan dan semakin mencekam, karena di mana ada AS maka di situ akan ada
kelompok teroris global, Al Qaeda.
Dampak kedua
adalah menaiknya harga minyak mentah dunia, terutama dengan adanya
kekhawatiran konflik Yaman akan mempengaruhi arus distribusi atau pengiriman
minyak mentah dari kawasan Timur Tengah ke berbagai negara. Naiknya harga
minyak mentah dunia juga akan menyebabkan dinaikkannya harga BBM di Indonesia
pada April 2015 mendatang.
Bahkan
kenaikan harga BBM tersebut juga akan dipengaruhi melemahnya nilai tukar
dollar AS pasca dikeluarkannya kebijakan The Fed, serta masih terpuruknya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kenaikan harga minyak mentah dunia
akan semakin menggila jika konflik Yaman menyeret dua negara episentrum di kawasan
ini yang berbeda sekte antara Arab Saudi (Sunni) dengan Iran (Syiah)
bertarung secara "head to head".
Dampak ketiga
sebagai "side effect" atau "multiplier effect" dari
konflik Yaman yang patut dicermati dan diantisipasi di Indonesia adalah akan
banyaknya orang-orang Indonesia yang akan "berjihad" tidak hanya ke
Suriah, namun juga ke Yaman. Di samping itu, dikhawatirkan imbas konflik
sektarian di Yaman juga terjadi di Indonesia, mengingat resistensi kelompok
Sunni dan Salafi di Indonesia terhadap kelompok Syiah yang dicurigai mereka
semakin membesar dan membahayakan sudah semakin menguat, termasuk di
Indonesia ada beberapa kelompok yang dinilai 'beraliran sesat', juga
berpotensi menimbulkan konflik sektarian di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar