Sengkarut
Konflik Parpol
Refly Harun ; Ahli Hukum
Tatanegara
|
DETIKNEWS,
24 Maret 2015
Partai politik di negeri ini seperti istana
pasir. Sedikit angin menerpa, partai sudah pecah. Tak peduli partai muda atau
partai paling tua, semua terbelah.
Partai Demokrasi Indonesia – kini Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan -- pernah pecah. Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) juga pecah. Partai Golongan Karya (Golkar) pun ikut pecah. Hukum kerap
tak mampu merestorasi mesin partai yang sudah terbelah.
PPP dan Golkar kini tertatih-tatih menanti
penyelesaian konflik. Sebagian nasib mereka ditentukan campur tangan
pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Menkumham punya stempel negara yang bisa mengesahkan salah satu kubu yang
bertikai. Tidak untungnya, sang menteri berasal dari partai seberang, yang
sangat mungkin punya agenda berbeda.
Mahkamah Partai
Pembentuk UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) paham
betul bagaimana pentingnya menyelesaikan sengketa parpol, terutama sengketa
kepengurusan. Itulah sebabnya diintroduksi mahkamah parpol untuk
menyelesaikan segala rupa sengketa parpol secara internal, termasuk sengketa
kepengurusan.
Mekanisme penyelesaian mahkamah parpol
menggeser mekanisme sebelumnya yang diatur dalam UU 2/2008. Mekanisme
terdahulu menyatakan bahwa penyelesaian sengketa parpol dilakukan dengan cara
musyawarah dan mufakat. Bila tidak tercapai, tersedia dua pilihan
penyelesaian, melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
Jalan pengadilan ditempuh dengan mengajukan
perkara kepada pengadilan negeri, yang harus memutus dalam jangka waktu 60
hari. Bila tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri, hanya tersedia
upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA harus menyelesaikan dalam tenggat
waktu 30 hari. Alhasil, dalam rentang 90 hari (3 bulan) perkara sudah akan
selesai.
Jalan di luar pengadilan dapat ditempuh dengan
tiga cara, yaitu rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Rekonsiliasi adalah
cara penyelesaian yang mengandalkan kesadaran para pihak yang berselisih
untuk merekatkan kembali perbedaan-perbedaan yang timbul sehingga menyatu
kembali. Jalan ini tidak mudah karena semata-mata mengandalkan kesadaran
pihak yang berperkara. Itulah sebabnya dikenalkan juga jalan mediasi.
Penyelesaian dengan cara mediasi mengandalkan
peran seorang penengah (mediator). Mediator sekaligus menjadi seorang
negosiator, yang menegosiasikan jalan pemecahan kepada kedua belah pihak.
Keputusan akhir tetap berada pada masing-masing pihak yang bertikai. Tanpa
penerimaan kedua belah pihak terhadap jalan penyelesaian yang ditawarkan, tak
akan ada islah.
Menyadari kelemahan tersebut, UU 2/2008
mengenalkan pula pola arbitrase. Dalam pola ini, kesepakatan para pihak
berada di awal, yaitu ketika bersepakat menunjuk seorang arbiter (pengadil).
Setelah ditunjuk atas kesepakatan kedua belah pihak yang bertikai, arbiter
akan bertindak sebagai hakim untuk memproses dan memutuskan kasus. Apa pun
putusan arbiter seyogianya ditaati karena sang arbiter telah ditunjuk
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Faktanya, di bawah rezim UU 2/2008, konflik
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berlarut-larut hingga hampir menggagalkan
kepesertaan partai tersebut dalam Pemilu 2009. Hal ini karena konflik terbuka
antara kubu Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid terjadi menjelang Pemilu 2009.
Hingga pendaftaran dan pengundian nomor urut partai, belum ada putusan
pengadilan atau kesepakatan dari dua kubu yang berselisih.
Hanya ‘kebaikan’ Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang menyebabkan PKB bisa ikut Pemilu 2009 meski mendaftar dengan
kepengurusan terbelah. Saat itu, sesuai dengan ketentuan undang-undang,
sebelum ada keputusan atas konflik kepengurusan, yang diakui adalah yang
tercatat di Kemenkumham. Yang tercatat di Kemenkumham kebetulan Muhaimin
Iskandar dan Yenny Wahid. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan Yenny sebagai
Sekretaris Jenderal.
Ujung dari kemelut PKB tersebut, sebagaimana
kita ketahui bersama, adalah kemenangan kubu Muhaimin melalui jalan
pengadilan. Muncul juga suara tak sedap saat itu bahwa kemenangan kubu
Muhaimin karena intervensi istana. Kebetulan kubu Muhaimin mendukung
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Konflik PKB yang berlarut-larut itulah yang
menggerakkan perubahan parsial UU 2/2008 menjadi UU 2/2011 dengan
mengintroduksi keberadaan mahkamah partai. Mahkamah partai diharapkan menjadi
jalur cepat untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan parpol, yang sudah
menjadi bahaya laten bagi partai apa pun. Tak peduli partai besar, menengah,
ataupun partai yang baru berdiri.
Jalan mahkamah berbeda dengan jalan
rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase yang lebih mengandalkan kesepakatan
pihak-pihak yang bertikai. Jalan mahkamah adalah jalan ‘pemaksaan’. Suka atau
tidak, pihak yang berselisih harus melalui jalan mahkamah. Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat atas konflik Golkar, yang menitahkan jalan mahkamah
terlebih dulu dalam penyelesaian sengketa internal, sudah sangat benar.
Mahkamah parpol dibayangkan sebagai jalan akhir sehingga putusannya dikatakan
'final dan mengikat'.
Nyatanya, saat dua konflik terjadi, dalam
internal PPP dan Golkar, mahkamah parpol tak mampu menyelesaikan misi
sucinya. Sebagian karena campur tangan kekuasaan, yang menyebabkan konflik
harus menempuh jalan panjang berliku untuk sampai pada penyelesaian akhir.
Sebagian lagi karena problem mahkamah partai itu sendiri.
Tanpa Mayoritas
Dalam sengketa Golkar antara kubu Aburizal
Bakrie dan kubu Agung Laksono, putusan mahkamah partai mencuatkan
interpretasi berbeda justru dari para anggota mahkamah sendiri. Profesor
Muladi, sang ketua mahkamah partai, menyatakan tidak ada putusan yang
memenangkan salah satu kubu. Bersama Muladi, ikut pula mantan hakim
konstitusi, HAS Natabaya. Dua anggota mahkamah partai lainnya, Andi Matalatta
dan Djasrin Marin, bersikukuh bahwa putusan mahkamah partai memenangkan kubu
Agung Laksono.
Saya mencoba membaca putusan Mahkamah Partai
Golkar. Sungguh, putusan tidak jelas, tidak lazim. Tidak ada pendapat
mayoritas dalam putusan tersebut. Empat hakim terbelah dua. Dua memenangkan
kubu Agung Laksono (Andi Matalatta dan Djasrin Marin). Dua orang lagi (Muladi
dan HAS Natabaya) tidak memenangkan kubu Agung Laksono, tetapi tidak pula
kubu Aburizal Bakrie.
Pada titik ini, interpretasi atas putusan pun
bisa terbelah. Mereka yang mendukung Aburizal Bakrie akan dengan cepat
mengatakan tak ada putusan yang dibuat mahkamah partai. Dengan demikian,
penyelesaian konflik akan disandarkan pada proses di pengadilan negeri
(tingkat pertama) dan MA (tingkat kasasi). Untuk itu kubu Aburizal telah
mengajukan gugatan ke pengadilan pascaputusan mahkamah partai.
Bagi yang pro terhadap Agung Laksono, akan
dengan cepat pula menyatakan bahwa putusan mahkamah partai telah memenangkan
Agung Laksono. Setidaknya, skor pertandingan menjadi dua untuk Agung Laksono,
nol untuk Aburizal, dan dua tidak untuk keduanya (abstain). Pendapat ini
diperkuat dengan argumen sahih bahwa mahkamah partai harus sampai pada
putusan, seberat apa pun itu. Tidak mungkin sebuah mahkamah tidak memutuskan.
Argumentasi bahwa mahkamah parpol harus dapat
memutuskan tersebut memang dapat dibenarkan. Lazimnya dalam putusan sebuah
mahkamah, perkara bisa dinyatakan tidak dapat diterima (karena syarat-syarat
permohonan tidak terpenuhi), ditolak (karena dalil pemohon tidak terbukti),
atau dikabulkan (karena dalil pemohon dibenarkan). Soalnya, mana yang mau
dijadikan putusan, karena tidak ada suara mayoritas.
Tidak heran bila pendukung Aburizal dan Agung
Laksono terus ribut soal ‘cara benar’ memahami putusan mahkamah partai.
Keributan bertambah-tambah karena Menkumham Yasonna Laoly sudah memberikan
lampu hijau kepada kubu Agung Laksono.
Pesan moral dari semua ini adalah, percekcokan,
sengketa, konflik, atau apa pun namanya yang melanda suatu parpol sebaiknya
diselesaikan oleh parpol itu sendiri. Dibutuhkan jiwa besar untuk mau
mengalah demi kemenangan bersama. Bila tidak, jangan salahkan pihak lain yang
berkepentingan mengintervensi penyelesaian konflik internal tersebut. Politik
sering bukan soal benar dan salah, tetapi menang dan kalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar