Selasa, 24 Maret 2015

Lintas Kurikulum dalam MKBS

Lintas Kurikulum dalam MKBS

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 23 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

SAYA mengapresiasi inisiatif dan kreativitas yang dilakukan teman-teman Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, yang dengan berani melakukan terobosan penting dalam melihat persoalan kegaduhan dalam pendidikan agama. Ketika pendidikan agama sering dikritik sebagai sebuah formalitas pengajaran yang tak memiliki signifikansi berarti dalam perilaku warga sekolah, Balai Litbang Jakarta justru melihat persoalan ini secara jernih dengan melakukan riset pengaruh pendidikan agama di sekolah dan berusaha menemukan rekomendasi empiris terhadapnya.

Salah satu rekomendasi tersebut ialah dibutuhkannya pandangan para warga sekolah yang melihat persoalan moral dan kekerasan dalam pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru agama, melainkan juga menjadi kewajiban seluruh guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan para pengawas pendidikan. Karena itulah Balai Litbang Agama Jakarta menyelenggarakan workshop manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS), yakni pesertanya terdiri dari sekolah dan madrasah yang sebelumnya me rupakan sasaran dari penelitian yang mereka lakukan.

Dalam proses workshop, ada satu pendekatan yang diperkenalkan oleh para fasilitator kepada semua peserta, yaitu memanfaatkan pendekatan lintas kurikulum dalam rangka membangun kesadaran kolektif warga sekolah terhadap pentingnya membangun budaya damai dalam konteks keragaman budaya. Pendekatan ini juga bermaksud menumbuhkan kesadaran untuk memahami prinsip saling ketergantungan antara satu bidang studi dan lainnya, sehingga warga sekolah memiliki pandangan yang terbuka terhadap jenis keilmuan lainnya.

Efektivitas pendekatan lintas kurikulum terbukti sangat baik seperti ditunjukkan oleh hasil riset Centre for the Use of Research and Evidence in Education (CUREE) di Inggris, terutama tentang dampak pengembangan strategi lintas kurikulum di sekolah, yaitu: (1) Proses belajar menjadi lebih efektif karena selalu menggunakan pendekatan context based; (2) materi dan pokok bahasan selalu dihubungkan dengan pengalaman keseharian siswa, termasuk di antaranya keterkaitan hubungan antara siswa-guru-orangtua yang mungkin selama ini tidak pernah atau jarang dilakukan oleh guru; dan (3) siswa menjadi lebih termotivasi dan mampu menjadi mediator untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa berdasarkan pemahamannya terhadap sebuah konsep.

Strategi ini juga tidak terlalu tergantung dengan ruang dan waktu, karena pembelajaran dapat dilakukan dengan begitu banyak model instructional strategies yang lebih sesuai dengan kebutuhan pemahaman siswa. Dalam workshop MBKS yang diinisiasi Balai Litbang terlihat jelas antusiasme peserta ketika memahami pendekatan ini dengan contoh-contoh yang aplikatif dan menyenangkan. Menurut para peserta, pendekatan ini belum pernah mereka dapatkan dalam pelatihan-pelatihan sebelumnya, yakni mereka dapat menemukan topik baru yang sesuai dengan bidang studi, tetapi berkaitan langsung dengan kebutuhan siswa. Hal ini menyebabkan inovasi pengembangan kurikulum menjadi lebih terbuka dan kreatif, terutama untuk mengembangkan pendekatan context-based dalam pembelajaran.

Pendekatan lintas kurikulum juga penting dalam menumbuhkan kesadaran kolektif warga sekolah karena biasanya strategi dan metode belajar yang dipilih lebih banyak menggunakan pendekatan soft-skills. Bagi para guru agama, PPKN, serta guru BK, pendekatan lintas kurikulum akan membantu mereka dalam menumbuhkan kesadaran warga sekolah terhadap wawasan inklusivistik dan tujuan universal pembelajaran agama agar anak didik memiliki karakter dan emosi yang stabil dalam menghadapi rumit dan besarnya tantangan kehidupan global ini.

Dalam pendekatan lintas kurikulum berbasis soft-skills yang diperluas, diharapkan para guru akan memiliki pemahaman yang komprehensif dan mudah dicerna siswa ketika menyampaikan pesan-pesan agama. Dengan basis soft skills yang jelas, diharapkan para guru akan lebih terbuka dan kritis dalam mengajarkan masalah-masalah muamalah, syariat, dan tarikh dengan metodologi yang sahih dan disampaikan secara kontekstual, tidak anakronistis dan semaksimal mungkin mengangkat fakta sejarah yang sering terabaikan. 
Guru agama berkesempatan untuk duduk bersama guru lainnya dalam mencari dan merangkai persoalan agama dalam perspektif mata ajar lain sehingga wawasan mereka menjadi lebih terbuka.

Sangat penting membekali para guru agama dengan wawasan inklusivistik untuk mendukung pengembangan sikap inklusif, baik dalam konteks menghargai perbedaan juga dalam menanggapi isu-isu sensitif di sekitar persoalan maraknya radikalisme dan terorisme. Dengan paradigma yang benar tentang wawasan inklusivistik ini, diharapkan para guru dapat dengan mudah mendesain pembelajaran agama secara kreatif dan sesuai dengan perkembangan isu kontemporer yang menghinggapi kehidupan anak didik kita. 

Wawasan inklusivistik juga diharapkan akan membawa makna baru tentang pendidikan kita yang telah direduksi dan didistorsi menjadi hanya semata-mata `pengajaran' yang memiliki keterbatasan dimensi sehingga menghambat tumbuhnya kesadaran pluralisme di ruang-ruang belajar sekolah kita, terutama ketika para anak didik sedang mempelajari makna besar agama yang dianutnya.

Selain itu basis soft skills sebagai penguat budaya sekolah juga menjadi relevan dengan upaya penanaman dan pembiasaan diri (habit) seluruh sivitas akademika sekolah tentang pentingnya kelas dan sekolah yang damai. Stephen R Covey dalam The Seven Habits menjelaskan bahwa kebiasaan (bermanfaat dan tidak bermanfaat) merupakan gabungan dari tiga unsur, yaitu knowledge, skill, dan desire. Pengetahuan (knowledge) ialah paradigma teoritis, apa yang harus dilakukan dan mengapa. Keterampilan (skill) ialah bagaimana melakukannya, dan keinginan (desire) ialah motivasi, keinginan untuk melakukannya. Untuk menjadikan sesuatu sebagai kebiasaan di dalam hidup kita, kita harus mempunyai ketiganya. Karena itu, faktor pembiasaan dalam sebuah budaya sekolah merupakan bentuk hidden curriculum yang sebaiknya diskenariokan dalam skema lintas kurikulum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar