Etika dan Etiket dalam Argumentasi
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 29 Maret 2015
Di
KompasTV, Ahok yang temperamental itu, saking emosinya, mengeluarkan
kata-kata yang tidak sopan, jelasnya “ta*k” dan “bangsa*”.
Presenter
sudah memperingatkan bahwa ini adalah acara live, tetapi Ahok sudah mata
gelap dan lepas kendali (namanya juga manusia, bisa salah) sehingga akhirnya
KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mengeluarkan “kartu kuning” (pinjam istilah
sepak bola) buat KompasTV. Wajar banget, Ahok pun sudah menyadari
kesalahannya dan meminta maaf.
Tapi,
jangan lupa, beberapa waktu sebelumnya, dalam sidang pengesahan APBD DKI yang
dead lock itu, dalam keadaan sama-sama emosi, seorang anggota DPRD juga
mengeluarkan kata-kata “anji**” dan “Ci*a” yang ditunjukkan kepada Ahok.
Tidak dibreidel oleh KPI karena sempat ditutup dengan bunyi “tit..tit..”
sebelum ditayangkan (siaran tunda). Katakata rasis adalah yang nomor satu
tidak sopannya. Jauh di atas kata-kata kebun binatang. Tapi di lingkungan
kebun binatang pun ada kelas-kelasnya.
“Anji**”
lebih tinggi kelasnya dari pada “bangsa*” yang arti sesungguhnya adalah
tumbila atau kutu busuk yang sering sembunyi di kursi-kursi rotan bioskop
Megaria dan Menteng di zaman saya masih pacaran, yang membikin paha para
penonton gatal-gatal dan merahmerah (kalau mau nonton harus berbekal kertas
koran untuk melapisi kursi rotan).
Di
era Cinema XXI sekarang ini, dunia perbangsatan sudah lama punah karena
kursi-kursi sudah terbuat dari kulit dan udara dalam ruangan sejuk, sedangkan
kursi dibersihkan setiap hari. Tapi kata “anji**” pun di telinga sebagian
orang tergolong biasa-biasa saja. Jenderal Hugeng (alm) yang dikenal sebagai
jenderal polisi yang paling jujur dan paling santun––dan seorang vokalis
pula––mengakui dalam buku memoarnya bahwa sebagai orang Pekalongan, ia
menyapa teman sekampungnya kalau sudah lama tidak bertemu dengan kata-kata
“asu” yang artinya adalah “anji**” juga.
Di
Surabaya, antar-arek-arek biasa mereka saling menyapa dengan ucapan yang
paling akrab buat mereka, yaitu “jancu*”, yang artinya adalah hubungan intim,
jauh lebih kasar daripada menyebutkan isi toilet doang, Jadi sumpah-serapah
itu, walaupun bisa bikin telinga orang merah-kuning-hijau seperti lampu lalu
lintas, tidak berlaku umum. Hanya berlaku di kalangan tertentu.
Di
tempat lain, suatu sumpah serapah bisa dianggap biasa saja. Jadi tidak
universal. Sama tidak universalnya dengan cara makan. Di istana Kerajaan
Tiongkok, jamuan makan disiapkan dengan mangkuk dan sumpit.
Para
bangsawan, dengan baju-baju kehormatannya, memunguti nasi, bakmi, atau mata
ikan dari sup kepala ikan dengan sumpitnya, dan menyeruput kuah supnya
langsung dari mangkuk seperti orang minum kopi sambil berbunyi keras-keras
... sruuut...sruut...!! Nah, kalau ada orang Prancis di situ, langsung isi
perutnya mau keluar semua.
Sebaliknya
orang Prancis biasa makan dengan seperangkat alat makan yang berlapis- lapis
dan harus digunakan berurutan sesuai dengan aturan, yang bisa makan waktu 3
jam sekali makan. Kalau ada orang Tionghoa di situ, bisa jadi si Tionghoa
sudah ketiduran sebelum jamuan makan selesai. Sopan santun yang tidak
universal ini dalam ilmu filsafat disebut etiket. Setiap tempat, waktu,
kelompok, suku, budaya bisa punya etiket sendiri.
Tapi
yang jauh lebih penting adalah etika, yaitu nilai-nilai yang lebih dalam,
lebih luhur, dan berlaku universal, seperti keharusan menghormati orang tua,
larangan untuk membunuh orang tak berdosa, menjunjung tinggi keadilan, dsb,
termasuk tentu saja antikorupsi. Nilai universal antikorupsi inilah
sebenarnya yang sedang dibela Ahok dalam perdebatan tentang APBD DKI.
Dalam
sebuah wawancara dengan wartawan TV yang mencegatnya setelah dia keluar dari
suatu pertemuan, Ahok pernah bercerita tentang anggota DPRD yang punya
Lamborgini. Buat Ahok, tidak masuk akal seorang anggota, walaupun dia wakil
ketua DPRD Jakarta, untuk bisa mempunyai mobil Lamborgini. Argumentasi Ahok
kira-kira seperti ini: (1) mobil Lamborgini adalah mobil yang sangat mahal,
(2) gaji seorang anggota DPRD DKI tidak cukup banyak buat membeli Lamborgini;
jadi (3) seorang anggota DPRD DKI tidak akan mungkin punya Lamborgini.
Nah,
ketika ternyata ada anggota DPRD DKI yang mempunyai Lamborgini, Ahok
menyimpulkan, pasti ada yang salah di sini. Maka mau tidak mau logika
selanjutnya langsung nyambungke korupsi. Logika yang saling sambung-
menyambung inilah yang disebut argumentasi. Argumentasi adalah gabungan beberapa
“premis”, yaitu pernyataan-pernyataan yang sudah teruji kebenarannya, yang
saling mendukung dan menghasilkan kesimpulan yang sama benarnya, yang akan
menjadi premis baru.
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya dibangun atas dasar sambung-menyambung rangkaian
premis itu. Karena itulah dalil-dalil ilmu pengetahuan sulit digugurkan.
Karena itulah argumentasi Ahok, khususnya tentang dana Rp12 T yang dicoba
disisipkan di APBD, sulit sekali untuk bisa dipatahkan.
Semuanya
tersusun dalam argumentasi (dalam bahasa filsafat: silogisme) yang memenuhi
hukum-hukum logika yang memang (menurut pengamatan saya pribadi) merupakan
salah satu kekuatan Ahok.
Di
sisi lain, kekuatan logika ini memang rentan untuk digugurkan, antara lain
melalui pendekatan di luar logika, termasuk pendekatan kekuasaan, pengerahan
massa, perkoncoan, gratifikasi, pelintiran pernyataan, doktrin, kepercayaan,
gratifikasi, takhayul, dan masih banyak lagi. Tapi yang paling sulit adalah
bahwa logika itu bisa dikecoh dengan logika juga. Misalnya, perhatikan
baik-baik argumentasi atau silogisme ini: (1) anjing bernapas, (2) Ahok
bernapas, jadi (3) Ahok adalah anjing.
Waduh
... bagaimana ini? Itulah yang dalam ilmu logika disebut sesat pikir. Pikiran
kita tersesat karena melanggar salah satu hukum silogisme. Untuk mengujinya
gampang saja. Ganti saja kata “Ahok” dengan “Sarlito”. Kalau kesimpulan Anda
adalah Sarlito itu anjing, Anda sedang membaca tulisan seekor anjing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar