Zaman Batu
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
28 Maret 2015
Situbondo-Jakarta berjarak 947,5 kilometer. Di
Situbondo, Jawa Timur, Nenek Asyani yang didakwa mencuri dua balok kayu jati
seharga Rp 4,3 juta menangis dan ketakutan. Dia merasakan tajamnya pedang
hukum. Di Jakarta, banyak pejabat berharta miliaran hidup tenang. Pedang
hukum sangat tumpul. Di Jakarta pula, politisi berantem berebut kuasa. Di
Amerika Serikat, seorang netizen, Johnny Vegas, menyindir keras, "Saya malu karena para politisi kami
telah menjual kami untuk setiap kepentingannya dengan uang." Vegas
menohok pernyataan Senator Partai Republik, John McCain, dalam acara Face the Nation di CBS, Minggu (22/2).
Karena negaranya dan Eropa tidak mau mempersenjatai Ukraina melawan Rusia,
calon Presiden AS 2008 itu bilang, "Saya
malu kepada negara saya, saya malu kepada presiden saya, dan saya malu kepada
diri sendiri."
Komentar McCain pun dicibir netizen. Sebab,
politisi kerap merasa paling benar, suka menuding, tak konsisten, komitmen
rendah, kurang jujur. Mereka lebih suka memakai topeng: menghidupkan kepalsuan
(artificiality), sebaliknya
mematikan kebajikan (virtue).
Amerika Serikat memang bukan negeri kita, tetapi watak politisi di mana pun
tak jauh berbeda. Gambaran watak politisi mungkin tepat direpresentasikan
Kanselir Jerman Konrad HJ Adenauer (1949-1963) yang blak-blakan bilang, "Peduli amat dengan omongan saya yang
kemarin-kemarin."
Politisi kita juga sering bertingkah. Senayan,
markas politisi kita, tak jua berhenti bergejolak. Soal calon Kapolri saja
terus "digoreng". Nama Komisaris Jenderal Badrodin Haiti
dikembalikan ke Presiden Joko Widodo. Urusan Kapolri saja membuat kegaduhan
luar biasa dalam dua bulan ini sejak kasus Komjen Budi Gunawan. Politisi
gagal move on setelah berseteru
seru pada Pemilu Presiden 2014. Partai politik, rumah para politisi itu,
belum mampu menjadi pilar demokrasi. Parpol justru menjadi biang kekisruhan
dan terjadinya sekat-sekat politik.
Partai Golkar yang terkuat selama rezim Orde
Baru bahkan tak mampu menyemai demokrasi di internal partai. Bahkan, muncul
rencana hak angket di DPR terkait kasus Golkar. PPP juga terbelah. Mereka tak
belajar sebagai korban yang dikerdilkan selama bertahun-tahun pada era Orde
Baru. Dari arena PAN pasca kongres di Bali, akhir Februari lalu, terdengar
sejumlah politisi kubu Hatta Rajasa akan mundur atau terdepak. Politisi
ternyata tak mampu menyelesaikan masalah di dalam rumah mereka sendiri.
Menyerahkan urusan politik ke mimbar hukum hanyalah memperjelas
ketidakmampuan politisi melakoni "seni memengaruhi". Bagaimana mau
menyelesaikan persoalan bangsa jika persoalan internal partai saja tidak
mampu diatasi?
Di Jakarta, politisi DPRD ramai-ramai
mengusung hak angket melawan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
terkait APBD DKI Jakarta 2015. Ahok memotong anggaran Rp 12,1 triliun yang
dinilainya siluman. Dia tak ingin APBD menjadi bancakan pihak-pihak tertentu.
Terakhir, para relawan Jokowi ditunjuk menjadi komisaris di BUMN-BUMN. Jika
kondisi politisi dan parpol kayak begitu, kok, ada wacana mau mendanai parpol
Rp 1 triliun. Bisa-bisa orang berbondong-bondong mendirikan parpol yang
mungkin segera menjelma menjadi "perusahaan politik". Di banyak
negara, parpol memang didanai negara. Namun, mereka benar-benar bekerja untuk
rakyat. Membiayai parpol di negeri ini dalam kondisi sekarang, rasanya
enggak, deh!
Panggung politik memang selalu tak terduga,
penuh ironi, juga anomali. Politisi sulit dipegang karena terlalu licin.
Menurut Gerhard Falk, sosiolog dan sejarawan Universitas Buffalo, New York,
dalam tradisi kuno, politisi adalah mereka yang bersandar pada satu tangan
sambil berbaring di kursi dan makan dengan tangan yang lain. "Politisi bersandar kepada kita yang
bekerja untuk hidup, sementara mereka makan, minum, pelesiran, pesta, parade,
dan berteriak terus-menerus. Politisi juga mengklaim bahwa mereka 'melayani'.
Itu benar. Mereka melayani diri mereka sendiri," tulis Falk.
Menyimak Falk, maka politisi sungguh
menyebalkan. Bagaimana menjelaskan ironi hukuman Nenek Asyani yang dituduh
mencuri kayu jati seharga Rp 4,3 juta sementara koruptor yang mengeruk uang
rakyat miliaran rupiah akan diberi remisi? Bagaimana memahami kepastian hukum
ketika dualisme putusan praperadilan antara putusan hakim Sarpin Rizaldi di
Jakarta dan hakim Kristanto Sahat di Purwokerto? Bagaimana kita dapat
memahami kewibawaan negara terkait hukuman mati terpidana narkoba yang justru
dibiarkan terus menjadi komoditas? Bagaimana kita percaya ekonomi aman
sementara rupiah terjerembap? Beginilah ironi dan anomali negeri kita.
Jangan-jangan sekarang ini zaman kala bendu,
ketika manusia makin memangsa, elite politik makin licik, pejabat makin
jahat, sedangkan rakyat makin melarat, dan rasionalitas tiba-tiba terempas.
Banyak politisi tak merasa malu untuk korupsi, tidak malu untuk tidak jujur,
tidak malu untuk berkhianat. Konsultan politik pendiri First Person Politics,
David Rosen (2013), menyatakan, dalam psikologi politik, teridentifikasi enam
tipe kepribadian di dunia politik, yaitu narsisis, obsesif kompulsif,
machiavellian (tak tahu malu, tak jujur), otoriter, paranoid, dan totaliter.
Kewarasan berpolitik tampaknya semakin
menjauh. Baru tersadar sekarang ini kita kembali ke "zaman batu".
Di mana-mana, mungkin dari Sabang sampai Merauke, orang berburu batu akik
yang juga bernilai ekonomi. Banyak orang, termasuk politisi, sibuk menggosok
batu akik dan bisa jadi lupa pada nasib rakyat. Demam batu akik semacam
eskapisme dari keruwetan kehidupan nyata. Apakah Presiden juga suka batu
akik? Kali ini saya tak berani bertanya langsung kepada Presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar