Olimpiade
Pajak 2015
Christianto Wibisono ; Pendiri Pusat
Data Bisnis Indonesia
|
KOMPAS,
24 Maret 2015
Pusat
Data Bisnis Indonesia baru menyelesaikan pengkajian Olimpiade Pajak 2015
dengan data alokasi pajak perseroan 492 anggota Bursa Efek Indonesia plus
tiga entitas: Pertamina, Bank Indonesia, dan PT Freeport Indonesia.
Menurut
data Laporan Tahunan 2013, hanya 380 perusahaan yang mencatat laba dan
melunasi pajak perseroan dengan total setoran Rp 114 triliun. Lainnya, 111
perusahaan melaporkan kerugian yang berkisar dari Rp 5,8 juta hingga Rp 2,25
triliun, dengan total setoran Rp 8,7 triliun dari penerimaan Rp 331 triliun.
Pertamina menjadi juara pembayar pajak terbesar, Rp 21,4 triliun-atau 18,75
persen dari seluruh pajak yang dibayar oleh 380 emiten plus Pertamina, BI,
dan Freeport-dari penerimaan Rp 773 triliun. BI menyisihkan Rp 4,8 triliun
untuk pajak dari pendapatan Rp 71 triliun.
Selanjutnya
Freeport mencatat total government benefit tahun 2011 sekitar 2,4 miliar
dollar AS dengan Pajak Penghasilan (PPh) Badan 1,6 miliar dollar AS pada saat
tingkat produksi dan penjualan sesuai target, kadar mineral bagus, dan harga
pasar mineral juga tinggi.
Pajak turun
Saat
ini, penghasilan perusahaan dan pajak-pajaknya turun lumayan drastis karena adanya
aksi mogok, kecelakaan kerja, restriksi impor, dan peningkatan signifikan
biaya tambang bawah tanah untuk mempertahankan tingkat produksi hingga
berakhirnya tambang terbuka 2017. Untuk 2013, Freeport berada di peringkat
ke-7 setelah Pertamina, Telkom, BRI, Mandiri, Astra, dan BI.
Hanya
22 entitas yang membayar pajak di atas Rp 1 triliun, delapan dari unsur
negara, yaitu Pertamina, Telkom, BRI, Mandiri, BI, Perusahaan Gas Negara,
BNI, dan PT Semen Indonesia. Disusul delapan perusahaan multinasional, yaitu
Jardine (pemilik Astra), Freeport, Philip Morris (HM Sampoerna), Unilever
Indonesia, United Tractors, Heidelberg (Indocement), CIMB Niaga, dan Danamon.
Kemudian enam swasta nasional, yaitu Bank BCA, Adaro Energy, Medco Energy,
Energi Mega Persada, Gudang Garam, dan Indofood.
Mengenai
kepemilikan legal, hal itu memang bisa menimbulkan "kontroversi"
sebab badan hukum yang memiliki saham substansial BCA berdomisili di
offshore, luar Indonesia. Tetapi, de facto pemiliknya adalah orang terkaya
Indonesia; kakak beradik pemilik pabrik rokok Djarum; satu-satunya pabrik
rokok yang belum go public. Menurut Forbes 2015, Michael Bambang Hartono dan
Rudy Budi Hartono adalah orang terkaya Indonesia.
Dalam
kajian tentang Olimpiade Pajak Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) 2015 ini,
PDBI mengusulkan kepada pemerintah untuk menghidupkan tradisi positif Orde
Baru yang pada 1988-1998 selama 11 kali memberikan penghargaan kepada 75,
150, dan 200 pembayar pajak terbesar. Mengherankan bahwa di era Reformasi
justru tidak ada transparansi. Padahal, Bambang Trihatmojo dan Tommy Soeharto
tidak sungkan masuk sebagai nomor 8 dan nomor 10 dalam daftar pembayar pajak
terbesar tahun 1996 yang diumumkan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad
didampingi Direktur Jenderal Pajak Fuad Bawazier pada 13 Februari 1998.
Pengumuman
pertama dilakukan tahun 1988 secara tertutup hanya oleh Dirjen Pajak Salamun
AT untuk 75 nama. Yang kedua untuk 150 orang dan 150 badan pada 1989 oleh
Menkeu JB Sumarlin di hotel bintang lima. Yang terakhir diumumkan Kompas,
Sabtu, 14 Februari 1998. Hari Valentine 1998 itu akan jadi pengumuman
pembayar pajak terakhir. Sebab, Indonesia dilanda krisis moneter Asia Timur
secara telak; rupiah hancur terpuruk ke level Rp 17.000 per dollar AS pada 17
Januari 1998.
Target pajak
Undang-Undang
APBN Perubahan 2015 menetapkan target penerimaan pajak di luar Bea Cukai
sebesar Rp 1.295.642,8 miliar atau sekitar Rp 1.296 triliun. Proyeksi IMF,
perekonomian Indonesia 2015 akan tumbuh 5,8 persen, lebih baik daripada AS
yang 3 persen, Eropa 1,5 persen, Jepang 1,1 persen, OECD 2,4 persen,
perekonomian Emerging Markets 5,2 persen, ASEAN 5,6 persen, dan ekonomi
global 4,0 persen.
BPS,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kemenkeu merujuk
pengeluaran konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,2 persen, konsumsi lembaga
nonprofit rumah tangga 7 persen, konsumsi pemerintah 4,2 persen, Pembentukan
Modal Tetap Bruto 8,1 persen, ekspor 2,1 persen, dan impor 1,5 persen. Target
penerimaan pajak Rp 1.296 triliun cukup realistis karena PPh Minyak dan Gas
Bumi Rp 50.918,9 miliar dengan target non-PPh Migas Rp 1.244,7 triliun.
Target
melalui pelayanan kehumasan Rp 854,5 triliun dan extra effort Rp 390,2
triliun (dari pengawasan Rp 367,7 triliun dan penegakan hukum Rp 22,5
triliun). Target pemeriksaan Rp 73,5 triliun, ekstensifikasi dan
intensifikasi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi Non-Karyawan Rp 40 triliun dan
target ekstensifikasi dan intensifikasi WP Badan Rp 254,2 triliun. Langkah
lain: penguatan sumber daya manusia, teknologi informasi, penambahan kantor,
penambahan personel, dan penyanderaan.
Optimisme
Dirjen Pajak itu dibayangi kemelut nilai tukar rupiah yang terpuruk menembus
level psikologis Rp 13.000 per dollar AS sehingga menimbulkan kepanikan pada
tingkat kabinet dan Presiden Jokowi. Dengan target pajak yang demikian
tinggi, Presiden Jokowi harus belajar dari Presiden Soeharto untuk
mengumumkan transparansi pembayaran pajak.
Mengherankan
jika jumlah perusahaan dengan laba di atas Rp 1 triliun hanya ada 22 di
Indonesia. Perusahaan seperti Caltex, BP, Total, dan Djarum berpeluang masuk
25-30 besar entitas WP dengan laba di atas Rp 1 triliun.
Semoga
Olimpiade Pajak PDBI dapat merangsang pemerintah dan masyarakat untuk kembali
menghargai meritokrasi, membuat konglomerat setara risi dan malu jika
peringkatnya berada di bawah kolega. Karena itu, semua berlomba naik kelas ke
peringkat teratas atau bertahan di 10-20 besar.
Kita
harus menghormati semangat meritokrasi. Anda berbisnis, Anda membayar pajak.
Tidak perlu minder jadi pengusaha. Yang salah ialah jika Anda menyalahgunakan
kekuasaan, berdwifungsi penguasa merangkap pengusaha. Itulah sumber
ketertutupan. Semoga terobosan Olimpiade Pajak PDBI ini turut menuntaskan
Revolusi Mental dan target perpajakan yang obyektif, adil, dan jujur tanpa
paksaan dan penyanderaan. Kini yang malah menambah kepanikan adalah pelarian
modal dan hancurnya kurs rupiah karena selama 70 tahun rakyat hanya digunting
uangnya dan disandera hak asasinya.
Negara
telah gagal memelihara modal sosial nasional terpenting, yaitu kepercayaan
publik pada pemerintahnya. Ini karena terlalu sering dikebiri daya belinya,
dipotong nilai mata uangnya, oleh enam presiden yang seolah tak berdaya.
Jika
kepercayaan rakyat pulih, pastilah aset jerih payah mereka 70 tahun akan diantrekan
untuk membeli Trust Nasional Seabad Indonesia untuk membangun infrastruktur
jangka panjang 30 tahun hingga 2045. Jika demikian halnya, Indonesia akan
menjadi negara-bangsa keempat di dunia dalam kualitas, bukan hanya kuantitas.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar