Membendung
Radikalisme di Dunia Maya
Agus Surya Bakti ; Deputi Bidang
Pencegahan,
Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT
|
KORAN
SINDO, 25 Maret 2015
Terorisme
merupakan kejahatan transnasional yang tidak kenal batas negara. Hubungan
kuat antara jaringan teroris di dalam dan di luar negeri menempatkan
terorisme sebagai persoalan kompleks yang membutuhkan penanganan komprehensif
dan integratif antarlini.
Empat
tahun belakangan, pemerintah telah berupaya cukup maksimal dalam memutus mata
rantai jaringan tersebut. Sejauh ini upaya tersebut sudah mampu melokalisasi
kekuatan dalam negeri dengan jaringan internasional. Meski demikian,
perubahan lingkungan strategis baik skala nasional maupun internasional serta
kemajuan teknologi dan informasi yang begitu kencang membuat pola dinamika
terorisme pun berubah.
Pola
transnasional terorisme justru semakin menemukan momentumnya ketika teknologi
informasi seperti internet menjadi alat komunikasi populer di tengah
masyarakat. Tak ayal, ancaman terorisme menjadi meningkat drastis karena
teknologi dan informasi menyebabkan batasbatas negara menjadi semakin kabur.
Sebuah kejadian di negara tertentu dapat dengan mudah diakses pada belahan
bumi yang lain.
Ayman
al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan
kepada pimpinan Al-Qaeda di Irak (AQI), Abu Musab al-Zarqawi: ”Kita sedang
dalam peperangan dan separuh lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita
sedang dalam peperangan media demi merebut hati dan pikiran umat kita”. Jelas
sekali, peperangan media telah lama ditabuh oleh kelompok teroris sebagai
medan dan sekaligus strategi baru.
Pada
1988 Osama bahkan telah membentuk Departemen Media di dalam struktur
organisasinya. Kini kehadiran media internet telah membuat medan perang itu
semakin rumit. Media internet dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai
kontranarasi dari media mainstream.
Jika
media mainstream meliput kekerasan terorisme, media teroris menarasikannya
sebagai tugas suci dan legitimasi tindakan dengan harapan mendapatkan simpati
publik. Internet dengan demikian dijadikan jalan pintasuntukmenyampaikanpesan
langsung ke audiens tanpa melalui media mainstream.
Selain
website, media sosial juga telah menjadi alat cukup efektif bagi kelompok
radikal terorisme sebagai instrumen propaganda, pembangunan jaringan, dan
rekrutmen keanggotaan yang bersifat lintas batas negara. Kelompok ISIS
menjadi satu model gerakan terorisme yang secara cerdas dan fasih menggunakan
kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media sosial sebagai alat
propaganda dan rekrutmen keanggotaannya.
Melalui
media sosial seseorang dapat menjadi radikal dengan tidak harus keluar rumah.
Kelompok teroris telah menyediakan berbagai situs dan media sosial yang
memandu seseorang secara online.
Pengalaman
dari berbagai negara termasuk tiga remaja dari Inggris yang kabur untuk
bergabung dengan ISIS menjadi salah satu bukti betapa efektif proses
radikalisasi yang terjadi di dunia maya. Seseorang bisa menjadi radikal dan
memutuskan untuk mengambil tindakan bergabung dengan kelompok teroris akibat
infiltrasi terorisme di dunia maya.
Arus Radikalisme Baru
Radikalisasi
bukan suatu proses yang instan dan sederhana. Proses itu sangat kompleks dari
proses pengenalan, identifikasi diri, indoktrinasi, radikalisasi, hingga
tindakan teror. Dulu keseluruhan proses itu bisa dikatakan sebagai mata
rantai dari proses radikalisasi ke arah tindakan terorisme melalui jaringan
dan sel tertutup.
Dulu
instrumen radikalisme dapat diidentifikasi melalui berbagai tempat seperti
rumah ibadah, pendidikan, atau tempat rentan lain yang mudah dijangkau. Saat
ini kehadiran media sosial seakan membuka ruang tertutup itu menjadi terbuka.
Semua kalangan bisa dengan mudah mengakses situs radikal, bertatap muka
secara online, hingga memungkinkan proses radikalisasi berlangsung di dunia
maya.
Karena
itulah, media sosial sebagai instrumen kelompok teroris tidak hanya
menghadirkan propaganda baru terorisme, tetapi lebih jauh dari itu ada pola
dan bentuk radikalisme baru yang perlu diwaspadai.
Pertama,
radikalisme di lingkungan remaja. Pilihan media sosial sebagai media
propaganda dan rekrutmen oleh kelompok teroris bukan sekadar karena alasan
praktis dan mudah, tetapi mereka sadar bahwa secara demografis para penghuni
arena media sosial tersebut adalah kelompok remaja.
Beberapa
contoh dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS ke Suriah adalah
kalangan remaja dengan kisaran 18-25 tahun yang sebagian karena terpengaruh
melalui media sosial.
Kedua,
radikalisasi pada kalangan terdidik. Profesor Rommel Banlaoi ketika meneliti
anggota kelompok terorisme di Filipina menegaskan bahwa anak muda yang
terpengaruh dan masuk dalam jaringan terorisme kebanyakan mereka yang putus
sekolah, buta huruf, miskin, dan pengangguran.
Walaupun
teori ini sepenuhnya tidak bisa dipatahkan, kehadiran propaganda melalui
media sosial menandai suatu pola baru radikalisasi di kalangan terdidik dan
kelas menengah yang tidak semata terimingi oleh sejumlah uang.
Ketiga,
radikalisasi di ruang terbuka. Media online dan media sosial merupakan ruang
publik baru yang terbuka dan bebas. Jika dahulu proses rekrutmen dan
indoktrinasi terjadi di ruang tertutup melalui berbagai perantara orang
terdekat, saat ini proses rekrutmen menjadi sangat terbuka.
Pertemanan
online antarnegara bahkan dapat mengajak seseorang untuk bergabung dalam
jaringan teroris. Radikalisasi tidak lagi membutuhkan tempat dan ruang
rahasia dan tertutup. Proses seseorang menjadi radikal dapat terjadi di ruang
belajar, kamar tidur, ruang sekolah, dan ruang santai lain yang memungkinkan
seorang mengakses situs dan media sosial kelompok radikal.
Keterpengaruhan
melalui media online memang tidak bisa dijadikan variabel tunggal yang
menentukan sikap radikal seseorang. Metode konvensional propaganda dan
perekrutan jaringan terorisme harus tetap diwaspadai.
Namun,
propaganda terorisme melalui media online tidak bisa dianggap remeh. Melalui
media online perubahan pola propaganda terorisme berlangsung lebih masif dan
terbuka. Arus radikalisme baru ini tentu saja menjadi tantangan baru bagi
pemerintah dan masyarakat secara umum.
Mencegah Bersama
Kehadiran
fenomena radikalisme di dunia maya seakan membangunkan kesadaran kita bahwa
ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif
digunakan oleh kelompok teroris. Harus disadari, dibandingkan dengan
negara-negara Barat, Indonesia sedikit lebih terlambat dalam menyadari
ancaman terorisme di media online .
Amerika
pasca-Tragedi September Kelabu telah menyadari kehadiran ancaman cyber
terrorism. Mereka melalui semacam konsorsium beberapa perguruan tinggi dengan
pemerintah bahkan membentuk komite yang khusus menangani terorisme melalui
teknologi dan informasi.
Tampaknya,
bukan hal yang terlambat bila kita saat ini memberikan porsi besar terhadap
arus radikalisme di dunia maya ini. Dalam beberapa tahun terakhir, dalam
membendung paham radikal di tengah masyarakat, pemerintah dengan melibatkan
semua komponen meliputi tokoh ulama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda, tokoh
masyarakat, dan lain-lain telah bergerilya bersama dalam mengampanyekan
wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat di semua sektor.
Program
pencegahan itu banyak diakui telah mampu membendung derasnya arus radikalisme
yang kencang beredar di tengah masyarakat khususnya pasca reformasi.
Indikator keberhasilan yang bisa dilihat bahwa masyarakat telah menjadikan
terorisme sebagai musuh bersama dan ancaman bagi keutuhan bangsa.
Semangat
yang sama dan kekuatan bersama yang telah terbangun selama ini harus tetap
solid dalam bingkai strategi baru dalam menghadapi ancaman terorisme di dunia
maya. Apa yang bisa dilakukan? Pada level struktural, pemerintah harus segera
memikirkan formulasi kebijakan dan regulasi yang lebih tepat dan efektif
dalam menangani penyebaran propaganda radikalisme dan terorisme.
Tumpulnya
regulasi menjadi angin segar bagi kelompok teroris yang dengan bebas
menyebarkan paham dan ajaran radikal di dunia maya. Pada level kultural,
masyarakat dari berbagai latar belakang keahlian dan organisasi harus
memberikan kontribusi dan proaktif dalam membendung arus radikalisme baru
tersebut.
Sebenarnya
sudah banyak situs dan akun media sosial yang telah lama menjadi pembanding
sekaligus pembendung paham radikal di dunia maya. Hanya, upaya saat ini masih
parsial dan harus dikonsolidisikan untuk membentuk suatu kekuatan bersama.
Kami
berharap seluruh kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil di dunia maya mampu
membentuk gerakan sinergis dalam mencegah dan membendung radikalisme dan
terorisme di dunia maya. Mari bersama mencegah terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar