Kamis, 26 Maret 2015

Ketegasan Lee Kuan Yew

Ketegasan Lee Kuan Yew

Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Singapura sedang dalam masa berkabung karena bapak pembangunan mereka Lee KuanYew telah berpulang. Media nasional di Indonesia spontan dibanjiri ucapan belasungkawa. Yang menarik, simpulan publik adalah bahwa Lee Kuan Yew layak dipuja karena prestasinya. Dalam analisis kali ini saya menyoroti dua sisi ketegasan Lee Kuan Yew yang kerap dibicarakan orang.

Bayangkan apabila Anda harus membangun sebuah negara yang tidak memiliki sumber daya alam dengan bermodalkan hanya sebuah pelabuhan yang menikmati keuntungan dari lalu lintas perdagangan negara-negara sekelilingnya. Itulah tantangan yang harus dihadapi Lee Kuan Yew muda ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari Persatuan Malaysia akibat konflik rasialis yang tidak dapat didamaikan.

Lee yang memimpikan persatuan antara wilayah Malaysia dan Singapura harus meneteskan air matanya di depan kamera televisi ketika menyatakan tidak ada lagi harapan untuk bersama pada tahun 1965. Lee Kuan Yew adalah seorang realis dan pragmatis. Memasukkan dia ke dalam kotakkotak analisis ideologis sosialis atau kapitalis, kiri atau kanan, liberal atau konservatif akan menemui hambatan atau kejanggalan dalam simpulannya.

Pada masa berdirinya Singapura, ia sangat dekat dengan gerakan komunis dan sosialis. Ia memahami bahwa pada masa itu hanya gerakan sosialis yang mampu melakukan perlawanan secara terorganisasi untuk melawan pemerintahan kolonial Inggris. Perlawanan tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga perlawanan ide dan gagasan tentang pentingnya persatuan bangsa Melayu dan kebebasan untuk memerintah diri sendiri.

Pada masa itu, hanya kelompok kiri yang mampu menyediakan infrastruktur politik yang cukup untuk dapat menggerakkan rakyat. Alasan itu yang menyebabkan Partai Aksi Rakyat dipenuhi kelompok sayap kiri pada awalnya. Namun, seiring dengan waktu, Lee merasa bahwa kelompok sayap kiri tidak dapat mengakomodasi gagasannya untuk membangun Singapura yang bebas dari ideologi mana pun.

Singapura yang bebas dari ideologi adalah syarat yang menurutnya dapat membuat negara tersebut selamat dari kepungan negara-negara lain yang relatif lebih besar dalam ukuran ekonomi, penduduk, atau militer seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam, Kamboja, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Lee kemudian membersihkan unsur-unsur sayap kiri dalam partai dan pemerintahan. Alasannya bukan karena ia memiliki fanatisme berlebih terhadap ideologi kapitalisme, tetapi semata-mata lebih karena ia menginginkan sebuah kestabilan politik jangka panjang.

Pembersihan juga dilakukan terhadap oposisi yang secara frontal melakukan perlawanan. Ia mengatakan lebih menyukai oposisi dari dalam yang tidak melakukan perlawanan untuk menjatuhkan, tetapi membangun. Lee menyadari bahwa menerapkan kebijakan yang keras tanpa memasukkan prosedur demokrasi dalam sistem politiknya akan membuat ketidakpuasan rakyat memuncak.

Hal itu lagi-lagi tidak akan produktif untuk pembangunan yang tengah dijalankannya. Ia pun tetap menyelenggarakan pemilihan umum dan Partai Aksi Pekerja hingga saat ini terus mendominasi kursi parlemen dibandingkan dengan tujuh partai lain. Keputusannya untuk fokus ke pembangunan dan mengesampingkan kegiatan politik tentu mendapat kritik dari negara-negara lain.

Namun hingga saat ini tidak ada tindakan serius berupa sanksi ekonomi atau embargo seperti yang terjadi kepada Kuba, Iran, Korea Utara, dan negara lain. Ketegasannya itu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan, ketertiban, dan keteraturan di dalam masyarakat.

Negara lain tidak dapat mengusik ”kedaulatan” Singapura karena memahami bahwa ketegasan itu dilakukan untuk menciptakan kestabilan yang pada akhirnya menguntungkan negara-negara lain yang berinvestasi di Singapura. Sepeninggal Lee Kuan Yew dua hari lalu, Singapura akan menghadapi tantangan yang berbeda dengan ketika Lee masih memimpin negeri itu.

Beberapa kebijakannya bahkan sekarang berbalik mengejarnya seperti bumerang. Contoh adalah pembatasan kelahiran anak untuk mengerem tingkat kelahiran yang tinggi pada tahun 1970-an. Kebijakan itu memang berhasil menekan tingkat kelahiran, tetapi mulai membebani perekonomian ketika memasuki tahun 2000 karena telah membuat Singapura defisit tenaga kerja lokal baik yang terampil atau tidak terampil.

Defisit itu kemudian dipenuhi dengan banjirnya tenaga kerja asing di Singapura. Komposisi mereka saat ini mencapai 40% dari total penduduk. Tingkat pertumbuhan penduduk yang berwarga negara Singapura kurang dari 1% setiap tahunnya, sementara pertumbuhan penduduk yang bukan warga negara adalah sekitar 1,7% dan sempat mencapai 11% pada 2009.

Komposisi yang relatif besar itu pun menimbulkan gesekan- gesekan rasialis yang laten. Terakhir bulan Desember 2013 terjadi kerusuhan di Little India yang menyebabkan 27 orang luka-luka. Tenaga kerja asing juga membuat harga-harga perumahan semakin meroket dan tidak terjangkau oleh warga negara Singapura sendiri.

Mereka yang memiliki properti berlebih kemudian menyewakannya kepada para tenaga kerja asing. Pembatasan kelahiran adalah salah satu contoh di Singapura di mana kebijakan pada masa lalu saat ini tidak lagi kontekstual dan justru semakin merugikan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

Sejak tahun 2000-an, Pemerintah Singapura mulai menyadari hal tersebut sehingga menawarkan insentif uang dan potongan pajak bagi perempuan berpendidikan yang mau memiliki anak ketiga, keempat, bahkan kelima. Ternyata bukan hal sederhana mendorong orang muda yang berpendidikan untuk punya banyak anak.

Jika dalam jangka panjang kebijakan tersebut dianggap menguntungkan negara, Pemerintah Singapura perlu menyadarkan warganya untuk melaksanakan perubahan tersebut. Itu hanya satu contoh. Tentu masih banyak kebijakan lain yang sudah tidak relevan pada saat sekarang.

Apa yang dapat kita pejalari dari Lee Kuan Yew dan Singapura bukanlah betapa keras sistem hukum dan politik pemerintahan yang dibangun, tetapi bagaimana cara mereka melihat masalah dan menghasilkan jalan keluar dari masalah tersebut. Lee menyadari bahwa untuk membawa Singapura mencapai tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan yang tinggi diperlukan beberapa kebijakan yang tidak populis.

Kebijakan itu tidak lahir dari ideologi tertentu, tetapi dari membaca dengan cermat sekelilingnya. Lee Kuan Yew adalah seseorang yang keras, berpendidikan, kaku dan tegas, tetapi ketika bicara soal ”kedaulatan” Singapura, ia rela datang dan menaburkan bunga di makam Usman dan Harun, dua pahlawan Indonesia yang dijatuhi hukuman mati karena aksi pengeboman di Singapura.

Ia tidak hanya menghadapi kritik di dalam negeri, tetapi juga harus melawan kata hati/nuraninya demi memulai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Indonesia. Pengorbanan ini terbukti berhasil apabila kita lihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan yang terjadi antara Singapura dan Indonesia.

Kita pun harus mulai belajar mengandalkan rasionalitas dan akal sehat dalam memimpin dan bersaing dengan negaranegara lain daripada sekadar emosi. Pemimpin harus mengukur segala baik-buruk keputusannya dari berbagai macam sudut pandang, tetapi memutuskan dengan kepala yang dingin. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar