Ketegasan
Lee Kuan Yew
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 25 Maret 2015
Singapura
sedang dalam masa berkabung karena bapak pembangunan mereka Lee KuanYew telah
berpulang. Media nasional di Indonesia spontan dibanjiri ucapan belasungkawa.
Yang menarik, simpulan publik adalah bahwa Lee Kuan Yew layak dipuja karena
prestasinya. Dalam analisis kali ini saya menyoroti dua sisi ketegasan Lee
Kuan Yew yang kerap dibicarakan orang.
Bayangkan
apabila Anda harus membangun sebuah negara yang tidak memiliki sumber daya
alam dengan bermodalkan hanya sebuah pelabuhan yang menikmati keuntungan dari
lalu lintas perdagangan negara-negara sekelilingnya. Itulah tantangan yang
harus dihadapi Lee Kuan Yew muda ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari
Persatuan Malaysia akibat konflik rasialis yang tidak dapat didamaikan.
Lee
yang memimpikan persatuan antara wilayah Malaysia dan Singapura harus
meneteskan air matanya di depan kamera televisi ketika menyatakan tidak ada
lagi harapan untuk bersama pada tahun 1965. Lee Kuan Yew adalah seorang
realis dan pragmatis. Memasukkan dia ke dalam kotakkotak analisis ideologis
sosialis atau kapitalis, kiri atau kanan, liberal atau konservatif akan
menemui hambatan atau kejanggalan dalam simpulannya.
Pada
masa berdirinya Singapura, ia sangat dekat dengan gerakan komunis dan
sosialis. Ia memahami bahwa pada masa itu hanya gerakan sosialis yang mampu
melakukan perlawanan secara terorganisasi untuk melawan pemerintahan kolonial
Inggris. Perlawanan tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga perlawanan
ide dan gagasan tentang pentingnya persatuan bangsa Melayu dan kebebasan
untuk memerintah diri sendiri.
Pada
masa itu, hanya kelompok kiri yang mampu menyediakan infrastruktur politik
yang cukup untuk dapat menggerakkan rakyat. Alasan itu yang menyebabkan
Partai Aksi Rakyat dipenuhi kelompok sayap kiri pada awalnya. Namun, seiring
dengan waktu, Lee merasa bahwa kelompok sayap kiri tidak dapat mengakomodasi
gagasannya untuk membangun Singapura yang bebas dari ideologi mana pun.
Singapura
yang bebas dari ideologi adalah syarat yang menurutnya dapat membuat negara
tersebut selamat dari kepungan negara-negara lain yang relatif lebih besar
dalam ukuran ekonomi, penduduk, atau militer seperti Malaysia, Indonesia,
Filipina, Vietnam, Kamboja, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Lee
kemudian membersihkan unsur-unsur sayap kiri dalam partai dan pemerintahan.
Alasannya bukan karena ia memiliki fanatisme berlebih terhadap ideologi
kapitalisme, tetapi semata-mata lebih karena ia menginginkan sebuah
kestabilan politik jangka panjang.
Pembersihan
juga dilakukan terhadap oposisi yang secara frontal melakukan perlawanan. Ia
mengatakan lebih menyukai oposisi dari dalam yang tidak melakukan perlawanan
untuk menjatuhkan, tetapi membangun. Lee menyadari bahwa menerapkan kebijakan
yang keras tanpa memasukkan prosedur demokrasi dalam sistem politiknya akan
membuat ketidakpuasan rakyat memuncak.
Hal
itu lagi-lagi tidak akan produktif untuk pembangunan yang tengah
dijalankannya. Ia pun tetap menyelenggarakan pemilihan umum dan Partai Aksi
Pekerja hingga saat ini terus mendominasi kursi parlemen dibandingkan dengan
tujuh partai lain. Keputusannya untuk fokus ke pembangunan dan
mengesampingkan kegiatan politik tentu mendapat kritik dari negara-negara
lain.
Namun
hingga saat ini tidak ada tindakan serius berupa sanksi ekonomi atau embargo
seperti yang terjadi kepada Kuba, Iran, Korea Utara, dan negara lain.
Ketegasannya itu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan, ketertiban, dan
keteraturan di dalam masyarakat.
Negara
lain tidak dapat mengusik ”kedaulatan” Singapura karena memahami bahwa
ketegasan itu dilakukan untuk menciptakan kestabilan yang pada akhirnya
menguntungkan negara-negara lain yang berinvestasi di Singapura. Sepeninggal
Lee Kuan Yew dua hari lalu, Singapura akan menghadapi tantangan yang berbeda
dengan ketika Lee masih memimpin negeri itu.
Beberapa
kebijakannya bahkan sekarang berbalik mengejarnya seperti bumerang. Contoh
adalah pembatasan kelahiran anak untuk mengerem tingkat kelahiran yang tinggi
pada tahun 1970-an. Kebijakan itu memang berhasil menekan tingkat kelahiran,
tetapi mulai membebani perekonomian ketika memasuki tahun 2000 karena telah
membuat Singapura defisit tenaga kerja lokal baik yang terampil atau tidak
terampil.
Defisit
itu kemudian dipenuhi dengan banjirnya tenaga kerja asing di Singapura.
Komposisi mereka saat ini mencapai 40% dari total penduduk. Tingkat
pertumbuhan penduduk yang berwarga negara Singapura kurang dari 1% setiap
tahunnya, sementara pertumbuhan penduduk yang bukan warga negara adalah
sekitar 1,7% dan sempat mencapai 11% pada 2009.
Komposisi
yang relatif besar itu pun menimbulkan gesekan- gesekan rasialis yang laten.
Terakhir bulan Desember 2013 terjadi kerusuhan di Little India yang
menyebabkan 27 orang luka-luka. Tenaga kerja asing juga membuat harga-harga
perumahan semakin meroket dan tidak terjangkau oleh warga negara Singapura
sendiri.
Mereka
yang memiliki properti berlebih kemudian menyewakannya kepada para tenaga
kerja asing. Pembatasan kelahiran adalah salah satu contoh di Singapura di
mana kebijakan pada masa lalu saat ini tidak lagi kontekstual dan justru
semakin merugikan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Sejak
tahun 2000-an, Pemerintah Singapura mulai menyadari hal tersebut sehingga
menawarkan insentif uang dan potongan pajak bagi perempuan berpendidikan yang
mau memiliki anak ketiga, keempat, bahkan kelima. Ternyata bukan hal
sederhana mendorong orang muda yang berpendidikan untuk punya banyak anak.
Jika
dalam jangka panjang kebijakan tersebut dianggap menguntungkan negara,
Pemerintah Singapura perlu menyadarkan warganya untuk melaksanakan perubahan
tersebut. Itu hanya satu contoh. Tentu masih banyak kebijakan lain yang sudah
tidak relevan pada saat sekarang.
Apa
yang dapat kita pejalari dari Lee Kuan Yew dan Singapura bukanlah betapa
keras sistem hukum dan politik pemerintahan yang dibangun, tetapi bagaimana
cara mereka melihat masalah dan menghasilkan jalan keluar dari masalah
tersebut. Lee menyadari bahwa untuk membawa Singapura mencapai tingkat
kesejahteraan dan pertumbuhan yang tinggi diperlukan beberapa kebijakan yang
tidak populis.
Kebijakan
itu tidak lahir dari ideologi tertentu, tetapi dari membaca dengan cermat
sekelilingnya. Lee Kuan Yew adalah seseorang yang keras, berpendidikan, kaku
dan tegas, tetapi ketika bicara soal ”kedaulatan” Singapura, ia rela datang
dan menaburkan bunga di makam Usman dan Harun, dua pahlawan Indonesia yang
dijatuhi hukuman mati karena aksi pengeboman di Singapura.
Ia
tidak hanya menghadapi kritik di dalam negeri, tetapi juga harus melawan kata
hati/nuraninya demi memulai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Indonesia.
Pengorbanan ini terbukti berhasil apabila kita lihat dari tingkat pertumbuhan
ekonomi dan neraca perdagangan yang terjadi antara Singapura dan Indonesia.
Kita
pun harus mulai belajar mengandalkan rasionalitas dan akal sehat dalam
memimpin dan bersaing dengan negaranegara lain daripada sekadar emosi.
Pemimpin harus mengukur segala baik-buruk keputusannya dari berbagai macam sudut
pandang, tetapi memutuskan dengan kepala yang dingin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar