Darurat Korupsi, Koruptor Diberi Remisi
Yenti Garnasih
; Doktor Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU) pertama di Indonesia, dosen di Fakultas Hukum
Universitas Trisakti
|
DETIKNEWS,
26 Maret 2015
Remisi pada
dasarnya memang hak setiap narapidana tanpa kecuali. Tapi juga perlu dipahami
bahwa hak tersebut tidak serta-merta bisa didapatkan. Ada sederet persyaratan
yang harus dipenuhi, seperti berkelakuan baik dan yang bersangkutan menyesali
perbuatannya.
Di Indonesia
dikenal berbagai macam remisi yang bisa diberikan kepada setiap narapidana,
yaitu remisi umum (setiap Hari Kemerdekaan), remisi khusus (hari raya
keagamaan yang dianutnya), dan remisi tambahan (memiliki prestasi atau jasa).
Dengan banyaknya jenis remisi ini, seorang narapidana bisa hanya akan
menjalani masa pemidanaan sekitar setengah dari vonis hakim.
Pemberian
remisi kepada narapidana korupsi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1999, pada 2010 tercatat 341 orang mendapatkan remisi kemerdekaan dan
pada 2011 sebanyak 600 orang. Jumlahnya 15 hari hingga 4 bulan.
Dari fakta
inilah antara lain terbit perubahan kedua atas PP Nomor 32/1999 menjadi PP
Nomor 99/2012. Peraturan pemerintah ini antara lain mensyaratkan si
narapidana bersedia menjadi justice collaborator yang harus dinyatakan secara
tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum. Atau telah membayar
lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Pemberian
remisi kepada narapidana yang memenuhi syarat tentu sangat bergantung pada
penilaian petugas lembaga pemasyarakatan. Artinya, pengawasan terhadap
obyektivitas petugas lapas juga harus jadi evaluasi. Tanpa bermaksud menuduh,
pernah terjadi adanya sel mewah, telepon seluler yang masuk lapas, izin
berobat keluar dari lapas, dan lain-lain.
Dari
fakta-fakta tersebut, tidak mengherankan kalau menuai kontra dari sebagian
besar masyarakat. Apalagi, bersamaan dengan wacana ini, muncul fakta beberapa
pelaku pencurian yang jauh lebih ringan malah diperlakukan dengan sangat
keras, seperti perkara Nenek Asyani. Pada hakikatnya, korupsi juga pencurian,
sama dengan kasus nenek tersebut, tapi ternyata hal ini tidak menjadikan
pemikiran untuk pemberian keringanan.
Kalau wacana
revisi peraturan pemerintah seperti dilontarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Yasonna Laoly beberapa waktu lalu untuk tujuan tidak diskriminatif
(karena semua narapidana berhak mendapat remisi) dan kemudian alasan itu
diperkuat dengan tujuan bahwa pemidanaan menjadi hanya pembinaan, apakah
tepat? Bila memang hanya untuk tujuan pembinaan, akan berakibat semakin
merajalelanya korupsi di Indonesia karena betapa enaknya hanya dimasukkan
lapas dan dibina.
Pemidanaan,
yang juga merampas hak kemerdekaan, seharusnya dilakukan untuk mencapai
tujuan maksimal dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi. Artinya,
jangan sia-siakan upaya negara yang telah 'dengan terpaksa' merampas hak
manusia tersebut tapi ternyata tidak menjerakan sebagai tujuan yang sangat
penting selain pembinaan.
Bagaimanapun,
dengan adanya perubahan dari sistem penjara ke sistem lembaga pemasyarakatan,
bukan berarti tujuan penjeraan tidak ada sama sekali, meskipun benar bahwa
pembalasan yang menjadikan ciri sistem pemenjaraan tidak ada hasilnya. Tapi,
kalau hanya pembinaan, justru akan menjadi pemanjaan terhadap pelaku. Hal ini
bisa mengabaikan fungsi perlindungan terhadap korban perbuatan korupsi, yaitu
masyarakat yang dirugikan. Karena ulah koruptor, mereka jadi miskin, mereka
bodoh karena tidak ada fasilitas pendidikan, muncul persaingan usaha tidak
sehat, demokrasi tercederai, dan pembangunan di segala bidang akan gagal.
Sebagai
penutup, untuk memberikan sumbang pemikiran atas wacana revisi peraturan
pemerintah tentang pemberian remisi kepada koruptor, perlu dipikirkan bahwa
bagi Indonesia, yang saat ini angka korupsinya sangat tinggi, penghapusan hak
remisi bukan hal yang salah, karena tergantung kebutuhan negara tersebut.
Yang penting, semangatnya untuk apa? Apakah mengakui adanya kedaruratan dan
kemudian harus meniadakan atau sebaliknya justru melonggarkan.
Permasalahan
yang juga penting adalah sarana hukumnya harus tepat untuk memperkuat
pemberian remisi tersebut. Tujuan pemidanaan, meskipun sudah pada era
pemasyarakatan, bukan berarti hanya pembinaan (reformation), tapi masih ada
kombinasi lain yang harus jadi muatan, yaitu rasa keterasingan (restrain) dan
penjeraan (deterrence), baik untuk membuat kapok maupun mencegah orang lain
melakukan korupsi.
Dalam sistem
pemasyarakatan, hanya tujuan pembalasan/penderitaan fisik (retribution) yang
hilang, tapi penjeraan (penestapaan perasaan) tetap harus ada. Bila tidak,
tentu tidak menjerakan, karena hanya pindah tempat dan tidak boleh keluar
serta mendapat pembinaan. Tentu ini tidak sebanding dengan perbuatannya,
meski tidak bermaksud pada tujuan pembalasan yang telah ditinggalkan sejak
akhir abad ke-19. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar