Seumur
Jagung
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 26 Maret 2015
Surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi tentang larangan rapat di hotel untuk pegawai
negeri tak seumur jagung, baik jagung bertangkai ganda maupun tunggal.
Diberlakukan sejak Desember tahun lalu, edaran Menteri Yuddy Chrisnandi ini
berisi sanksi penundaan kenaikan pangkat. Tapi edaran itu sekarang
dievaluasi, kata kasarnya: dicabut.
Berdalih penghematan, dan menyebutkan sudah disetujui Presiden Joko Widodo, larangan rapat di hotel ini sempat menaikkan citra Menteri Yuddy sebagai penggagas penghematan keuangan negara. Maklum, dalam APBN maupun APBD kerap tercantum anggaran rapat yang begitu besar. Orang bisa terkaget-kaget kenapa anggaran rapat lebih besar dari, misalnya, perbaikan gedung sekolah dan merehabilitasi pasar tradisional. Nah, Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo pun menyambut gagasan Menteri Yuddy yang brilian itu, anggaran jadi lebih banyak dinikmati wong cilik. Apa yang terjadi dalam praktek? Tidak semudah memanggang jagung dan itu pun jauh panggang dari api. Pemerintah Daerah Jawa Timur sudah mempraktekkan. Rapat Badan Koordinasi Daerah (BKD) yang rutin dilakukan untuk sosialisasi program pembangunan di Jawa Timur yang selama ini dilakukan di hotel, dicoba digelar di gedung pemerintah. Tapi peserta yang datang dari berbagai kabupaten menginap di hotel, karena rapat paling cepat dua hari. Ternyata biayanya lebih boros. Perlu sewa meja dan kursi, sewa sound system, pesan makanan dan minuman, belum lagi membayar tenaga kebersihan, pengantar makanan, dan seterusnya. Juga peserta perlu disediakan transportasi dari hotel ke gedung pemerintah. Walhasil biayanya lebih boros ketimbang rapat di hotel. Hotel tak lagi menarik biaya ruang rapat karena peserta menginap di sana, makanan dan minuman sudah dalam bentuk paket pula. Tak ada kerepotan, tinggal berdebat. Pemerintah Daerah Bali, contoh lain, banyak punya ruang rapat. Tapi kalau rapat yang “lebih serius”, mereka lari ke restoran atau hotel yang menyediakan ruang rapat. Bukan saja lebih murah karena tak ada biaya mengirim makanan—toh pesan makan juga di restoran—rapat bisa lebih efektif, karena tak diganggu “suasana kantor”. Dua contoh ini mungkin tak terbayangkan oleh Menteri Yuddy. Atau menteri membayangkan rapat-rapat itu cukup di aula yang besar dengan menyingkirkan meja pingpong, lalu peserta rapat duduk berdesakan di kursi plastik. Minuman cukup air kemasan segelas dan makannya nasi bungkus. Kesimpulan bisa ditunda kalau peserta rapat banyak yang ke toilet karena letaknya jauh.
Berhemat itu bermula dari niat. Kalau niatnya
boros, apalagi mengharapkan komisi dari tempat yang disewa, ya, bisa runyam.
Kalau niatnya berhemat, mungkin akan mencari terobosan dengan memanfaatkan
teknologi, misalnya, seperti yang disarankan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
pakai teknologi. Peserta rapat dari Pacitan atau Banyuwangi tak harus datang
ke Surabaya. Begitu pula agenda rapat yang harus dipersiapkan dengan baik.
Mengevaluasi surat edaran Menteri Yuddy dengan
alasan hotel-hotel bangkrut dan memberhentikan karyawannya—seperti kasus di
Tanjung Pinang—juga kurang tepat. Hotel dibangun bukan untuk ruang rapat
pegawai negeri. Kalau ini jadi alasan, akan sulit membuat kebijakan, karena setiap
kebijakan pasti ada yang dirugikan dan diuntungkan. Yang pasti, ini pelajaran
berharga untuk pembuat kebijakan, jangan grasa-grusu, dan pelajari
dampaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar