Filep, Papua, dan Wajah Korban
Redem Kono ; Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara,
Jakarta;
Ketua Divisi Akademi Pelita Jakarta
|
KOMPAS,
30 Maret 2015
Pada Selasa, 3 Maret 2015, seorang teman akrab
menunjukkan sebuah buku berjudul Seakan
Kitorang Setengah Binatang atau disingkat SKSB, dengan tambahan subjudul,
Rasialisme Indonesia di Tanah Papua.
Buku ini berisi rangkuman wawancara atas Filep
Karma, seorang tahanan politik di Papua karena sikap kritisnya terhadap
Pemerintah Indonesia setelah wilayah Papua resmi menjadi bagian dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) pada 1969.
Jika berbicara tentang perjuangan masyarakat
Papua merebut kemerdekaan, posisi Filep Karma (selanjutnya disingkat Filep)
menjadi sangat menarik. Berbeda dengan sejumlah gerakan separatis, seperti
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok militan lain yang memilih jalan
kekerasan dan popor senapan, Filep memilih berjuang dengan cara yang damai
dan demokratis.
Siapa itu Filep? Filep lahir pada 1959 dari
sebuah keluarga terpandang di Papua. Andreas Karma, ayahnya, adalah seorang
bupati populer di Papua pada zamannya (bupati Wamena pada 1970-an dan bupati
Serui pada 1980-an). Ia belajar ilmu politik di Universitas Negeri Sebelas
Maret-Solo (UNS), kemudian menjadi seorang pegawai negeri sejak 1987. Pada
1997, Filep memperoleh beasiswa untuk kuliah di Asian Institute of Management, Manila.
Pada 1998, sepulang dari Manila, Filep
termasuk salah satu penyeru kemerdekaan Papua dan berpartisipasi dalam
pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak. Ia kemudian dijatuhi hukuman 6,5
tahun penjara, tetapi dibebaskan karena tahapan banding pada November 1999.
Namun, pada 2004, Filep kembali mendapat vonis hukuman selama 15 tahun
penjara karena kembali mengibarkan bendera Bintang Kejora di Abepura, 1
Desember 2004.
Menentang kemapanan
Kini, Filep menjalani masa tahanan di Abepura,
Papua. Sejumlah organisasi internasional, seperti Amnesty International (AI)
dan Human Rights Watch (HRW) mendesak supaya Filep dibebaskan tanpa syarat.
Akan tetapi, permohonan tersebut ditolak oleh Menteri Koordinator Politik dan
Hukum Djoko Suyanto pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kata Suyanto,
upaya pembebasan Filep ditolak ”untuk menjaga keamanan di kepulauan
Indonesia”.
Pada umumnya sikap kritis Filep terhadap
Indonesia didasarkan pada dua keprihatinannya. Pertama, rasialisme terhadap
masyarakat Papua. Filep yang pernah mengecap pendidikan di dalam dan luar
negeri tersebut menemukan bahwa penduduk Papua sering ditelaah dari kaca mata
rasis. ”Kalau dipanggil Papua, di dalamnya ada penghinaan kulit hitam berdaki
(hitam badaki), paling kotor (pangkotor), berbau busuk tak sedap (babau),
tidak tahu mandi (tra tau mandi), telanjang, telinga berlubang (telinga
balobang),” demikian kata Filep (SKSB, 2014: 28). Menurut Filep, rasialisme
tersebut bahkan telah menembus dunia kerja, politik, interaksi sosial, dan
lain-lain.
Kedua, fenomen korporatokrasi (kerja sama
antara penguasa dan pengusaha) yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua.
Meminjam Edward Said, tanah Papua adalah ”geografi imajinernya” wilayah barat
Indonesia dan korporasi-korporasi internasional. Pemerintah dan korporasi-
korporasi bisnis saling berkelindan untuk mengeksploitasi kekayaan alam
Papua. Mereka cenderung mengesampingkan pengembangan sumber daya manusia
orang Papua. Alhasil, masyarakat Papua tersingkir di kampung halamannya
sendiri.
Dua faktor miris ini membangkitkan perlawanan
Filep. Namun, ia menolak untuk melawan atau memberontak dengan cara
kekerasan. ”Jadi, kita lebih mengutamakan keinginan dengan cara damai. Dengan
kasih, tanpa niat untuk melakukan pembalasan, untuk melakukan kekerasan atau
tindakan brutal lainnya” (SKSB, 2014: 38). Oleh karena itu, ia menganjurkan
prosedur demokratis. Penyampaian aspirasi secara demokratis dan diskursif
harus menjadi pilihan utama, ketimbang pemaksaan hukum ”mata ganti mata, gigi
ganti gigi”.
Jalan demokrasi yang dipilih membebaskan Filep
dari sentimen nasionalisme sempit. ”Saya lebih mengutamakan masalah
kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan” (SKSB, 2014: 30). Di mata Filep,
kriteria etnisitas dan primordial bukanlah penentu utama pembebasan
masyarakat Papua dari kemiskinan. Identitas kepapuaan ditentukan oleh
perjuangan dan saling berbagi kasih, persaudaraan, dan penghargaan terhadap
kemanusiaan. Perjuangan untuk kesetaraan dan kemanusiaan dapat dilakukan
dengan menghormati kesetaraan dan kemanusiaan. Kualifikasi warga Papua
mengacu komitmen toleransi atas fakta multikulturalitas dan semangat
demokrasi.
Karena itu, Filep tidak lupa melakukan
otokritik terhadap bangsanya sendiri. Rakyat Papua masih terpasung dalam
sentimen kedaerahan dan egoisme para pejabatnya sendiri. Hal ini sangat
rentan terhadap politik adu domba, yang menyebabkan masyarakat Papua saling
membunuh di antara mereka sendiri. Oleh karena itu, Filep mengusulkan
demokratisasi Papua, supaya masyarakat Papua dapat memahami apa hak-haknya.
Untuk mencapai jalan ini, masyarakat perlu diberikan pendidikan politik,
supaya dapat mengenal riwayat ketidakadilan dan represi yang ada di
tengah-tengah mereka.
Perspektif korban
Publikasi SKSB coba menghadirkan Papua dari
perspektif korban. Acap kali Papua cenderung didefinisikan dari sudut pandang
Indonesia-Barat ataupun internasional sebagai alam dengan kekayaan melimpah.
Kenyataannya, masyarakat Papua masih dililit kemiskinan di tengah kekayaan
alam, tak ubahnya seperti tikus mati kelaparan di lumbung padi. Kapitalisme
dan kepentingan politik menghambat impian rakyat Papua atas keadilan dan
kesetaraan.
Papua membutuhkan pembacaan sejarah dari
perspektif korban. Tentang pembacaan sejarah ini, penulis mengingat awasan
Walter Benyamin. Menurut Benyamin, sejarah sering kali ditulis oleh pihak
yang kuat dan yang menang (ataupun penguasa). Akibatnya, rekaman sejarah yang
obyektif sering kali dipelintir atas nama kepentingan primordial, kepentingan
politis, ataupun kepentingan ekonomi. Sejarah merefleksikan kejayaan para
pemenang, dan mengeliminasi suara-suara korban dari gelimang peradaban.
Kesaksian jujur Filep Karma dari kacamata
korban, hemat penulis, dapat memiliki sisi positif, yakni menunjuk pada
perlunya momen rekonsiliasi. Dalam cengkeraman stigmatisasi, rasialisme,
kekerasan, dan kemelaratan, kerinduan masyarakat Papua tentang rekonsiliasi
perlu membutuhkan perhatian yang serius. Rekonsiliasi bertujuan mengadili
para pelaku kekerasan dan ketidakadilan terhadap masyarakat Papua, serta
membuka jalan-jalan solutif pembangunan masyarakat Papua yang berdaya di
tanah mereka sendiri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, rasialisme, dan
kapitalisasi masyarakat Papua atas nama kepentingan ekonomi dan politis harus
ditinggalkan.
Penegakan kemanusiaan merupakan agenda penting
yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi untuk menyembuhkan luka historis
masyarakat Papua. Dalam salah satu bagian dari SKSB (hlm 16), Filep
memberikan satu contoh pengalaman luka: di wilayah Biak Barat, terdapat
seorang anak bernama ”Kodim”. Pasalnya, anak itu dilahirkan oleh seorang
gadis yang diperkosa ketika Papua berada dalam operasi militer. ”Kodim” yang
tidak memilih dilahirkan demikian harus dihukum masyarakat dengan stigma
negatif; menjadi kambing hitam dari kebencian masyarakat Papua.
Kita perlu belajar dari para korban,
mementaskan ikhtiar untuk mendengarkan teriakan dari para korban. Domain
sejarah mesti tetap diperiksa agar tidak menyembunyikan sisi ketidakadilan,
manipulasi epistemis, dan represi para pemegang status quo. Di hadapan para
korban, manusia dapat menyadari dirinya sebagai pelaku dan korban sekaligus
sehingga berusaha menghilangkan pengalaman negatif atau penderitaan orang
lain. Teriakan para korban menjadi imperatif etis yang mengundang
keberpihakan dan solidaritas profetik. Masyarakat Papua perlu didengarkan
sebagai manusia bermartabat, bukan sekadar prioritas pembangunan material
atau infrastruktur.
Sudah saatnya pemerintah negeri ini menoleh
dan mendengar kan teriakan para korban. Pemerintah dapat memberikan jaminan
kepastian dan pengadilan hukum yang adil terhadap para pelaku kekerasan.
Rekonsiliasi dapat menjadi langkah awal penciptaan dunia baru bagi para
korban; suatu dunia baru yang adil, solider, dan karitatif di tengah pusaran
peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar