Saya Percaya Denny Indrayana
Refly Harun ; Pakar Hukum Tata Negara;
Warga negara penyokong gerakan "Saya Percaya Denny
Indrayana"
|
DETIKNEWS,
30 Maret 2015
Saat yang
tidak mengenakkan itu datang juga. Denny Indrayana ditersangkakan oleh
penyidik Bareskrim Mabes Polri. Kasusnya korupsi pula, suatu perbuatan yang
selalu ditentang Denny selama ini.
Pro dan
kontra pasti mencuat atas penersangkaan Denny tersebut. Mereka yang
menginginkan Denny jatuh – sedikitnya enam pihak sebagaimana telah saya
sebutkan sebelumnya dalam tulisan “Kontroversi Denny, Pro-Kontra Indrayana”
(detik, 17/3/2015)– akan tertawa lebar. Masyarakat atau pembaca kolom ini
yang tidak suka Denny juga akan tertawa.
Namun, di
tengah kepungan kedukaan dan sinisme tersebut, saya sungguh terharu ketika
banyak orang mengeskpresikan dukungan terhadap Guru Besar Fakultas Hukum UGM
tersebut. "Saya percaya Denny Indrayana", demikian guratan dukungan
tersebut diekspresikan, dipotret dengan gaya selfie atau dipotretkan orang
lain, lalu ditebar ke media-media sosial. Lembaga antikorupsi ICW (Indonesian Corruption Watch), Guru
Besar Hukum Tatanegara Universitas Andalas Saldi Isra, dan tokoh pers Bambang
Harymurti adalah sebagian mereka yang turut dalam ekspresi tersebut.
"Saya
percaya Denny Indrayana" tidak sekadar ekspresi dukungan. Ia sebenarnya
semacam simbol perlawanan. Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan aparat
hukum dan kekuatan-kekuatan yang menggunakan aparat hukum tersebut untuk
membidik dan menumbangkan siapa saja yang dianggap mengganggu atau
menghalangi kemapanan. Utamanya para koruptor atau calon-calon koruptor.
Bambang
Widjojanto (BW), Abraham Samad (AS), dan Denny Indrayana ditersangkakan
dengan kasus 'ecek-ecek'. Negara dan rakyat tidak akan hancur bila kasus
'ecek-ecek' tersebut tidak diproses kendati ada laporan dari masyarakat,
entah laporan itu dengan kesadaran sendiri atau memang sengaja direkayasa.
Sebaliknya,
negara dan rakyat justru akan rugi besar bila orang-orang yang sudah berbuat
baik bagi negeri itu dihentikan, dianggurkan, bahkan malah dibuat sibuk untuk
hal-hal yang tak perlu semacam melayani panggilan dan pemeriksaan atas kasus
yang sungguh tak berarti. Lebih rugi lagi, karena ketiadaan atau kelumpuhan
mereka, para koruptor merasa bebas untuk berbuat. Para calon koruptor mulai
mengincar proyek-proyek dalam APBN 2015 yang bernilai dua ribu triliun.
Negara dan rakyat sangat rugi justru ketika membiarkan begal uang rakyat sesungguhnya
dibebaskan, sementara penghadang begal justru dikandangkan.
Garis
demarkasi untuk menilai integritas seorang BW, AS, dan Denny adalah apakah
selama menjabat mereka memanfaatkan jabatannya untuk mementingkan kepentingan
pribadi yang sudah tidak rasional lagi, seperti memupuk kekayaan sehingga
membuat rekening mereka jadi sangat gendut. Kalau hanya sekadar gaya, laku,
cara, bagi saya, hal-hal tersebut tak esensial. Tak ada orang yang sempurna. No body perfect. Kita tidak sedang
mencari nabi di lembaga-lembaga negeri, termasuk lembaga antikorupsi.
Berkali-kali
saya meyakinkan Denny bahwa ia tak terima sepeser pun dari proyek payment gateway yang membuat ia jadi
tersangka. Denny menyatakan tidak. Bagi saya itu sudah cukup. Karenanya saya
ikut pula dalam barisan "Saya percaya Denny Indrayana". Secara
terbalik saya ingin mengatakan pula, "saya tidak percaya mereka yang mau
menjatuhkan Denny Indrayana".
Tentu ada
yang akan menantang, bagaimana kalau nanti terbukti Denny menerima uang suap
atau sogok? Kalau itu terjadi, saya akan mencabut semua dukungan yang pernah
saya berikan kepada Denny. Saya juga akan mengimbau kepada siapa saja yang
telah memajang dirinya dengan tulisan "Saya percaya Denny
Indrayana" untuk menyatakan di depan publik menarik kembali segala
dukungan tersebut. Dengan catatan, proses terhadap Denny dilakukan dengan
benar tanpa rekayasa.
Kasus Denny
Payment gateway yang menjerat Denny adalah sistem
pembayaran online yang dikembangkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham) dalam pembuatan paspor. Pembuat paspor tidak perlu mengantre
lagi untuk melakukan pembayaran. Mereka cukup membayar melalui sistem online.
Bisa dengan kartu ATM, bisa juga dengan kartu kredit.
Terhadap jasa
online tersebut, ada biaya jasa sebesar lima ribu rupiah untuk setiap
pembuatan paspor yang langsung dipungut vendor penyedia jasa payment gateway
tersebut. Itu opsional. Mereka yang tidak mau membayar uang jasa lima ribu
rupiah, bisa langsung ke loket di Imigrasi.
Coba
bandingkan dengan 'biaya tambahan' bila kita membuat surat izin mengemudi
(SIM), yang bisa sampai puluhan bahkan ratusan ribu rupiah.
Uang jasa
lima ribu rupiah itulah yang saat ini sedang diinvestigasi. Dari sisi hukum administrasi, dianggap ada pelanggaran
karena ada peraturan menteri keuangan yang melarang biaya tambahan untuk
penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Namun,
menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sama sekali tidak ada kerugian negara
karena biaya pembuatan paspor masuk ke kas negara, yang jumlahnya Rp 32,4
miliar. Ada upaya
untuk membelokkan fakta dengan mengatakan bahwa ada potensi kerugian negara
sebesar Rp 32,4 miliar. Padahal, uang senilai tersebut adalah uang pembuatan
paspor yang sudah disetor ke kas negara selama tiga bulan digunakannya sistem
payment gateway.
Adapun uang
jasa yang dikumpulkan atas jasa pembuatan paspor tersebut, yang lima ribu
rupiah per paspor, hanya kurang lebih Rp 605 juta. Dua vendor sendiri konon sudah
mengeluarkan biaya lebih besar dari itu untuk membuat sistem payment gateway. Alih-alih untung, dua
vendor itu malah buntung ketika proyek dihentikan.
Kasus ini
sangat sederhana. Tinggal dibuktikan apakah Denny menerima suap atau tidak
atas biaya jasa sebesar lima ribu rupiah tersebut, yang sudah terkumpul
sebesar lebih dari Rp 600 juta ketika layanan payment gateway tersebut dihentikan karena dianggap melanggar
hukum administrasi. Atau Denny menerima suap untuk memenangkan vendor
penyedia jasa.
Bila tidak
ada suap ke Denny, maka jelas kasus ini sengaja dicari-cari. Untuk saat ini
yang dibidik baru kesalahan administrasi tersebut. Belum ada isu soal Denny
menerima uang.
Dalam konteks
ini saya perlu menggarisbawahi pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie beberapa
waktu lalu. Polisi seharusnya membidik orang jahat, bukan orang salah.
Apalagi, kalau kesalahannya dicari-cari. Kalau mencari-cari kesalahan, hampir
semua pejabat, bahkan semua warga negara, pernah melakukan kesalahan hukum
administrasi, bahkan tindak pidana ringan. Siapa yang tak pernah membayar
polisi di jalan kalau ditilang? Siapa yang tidak membayar biaya tambahan
dalam pembuatan SIM?
Tentu
akan banyak yang mengatakan, kalau merasa tidak bersalah, buktikan saja di
pengadilan. Tidak perlu
beropini di media karena tak ada manfaatnya. Pernyataan tersebut tampaknya
benar. Namun, dua hal perlu digarisbawahi.
Pertama,
perlukah aparat hukum yang dibayar dengan uang rakyat, mulai dari polisi,
jaksa, hingga hakim, membuang tenaga dan pikiran untuk membidik orang yang
sama sekali tidak jahat. Kedua, apakah adil menyita waktu, tenaga, dan
pikiran orang yang tidak ada indikasi korupsi, bahkan sudah berbuat baik
untuk negeri ini agar terbebas dari korupsi.
Sebagai pembayar
pajak, saya sangat tidak rela bila aparat negara ini menghabiskan waktu untuk
hal-hal tidak penting, yang tidak berpengaruh pada peri kehidupan bangsa ini.
Lebih baik polisi dan aparat penegak hukum lain berkonsentrasi pada
penjahat-penjahat yang jelas-jelas merugikan dan menggaruk uang negara dalam
jumlah besar hingga triliunan rupiah. Atau pejabat publik yang
'gendut-gendutan' rekening karena menampung uang suap.
Keadilan
memang sering terlambat datang karena jalan macet atau banyak hadangan.
Namun, akhirnya ia akan datang juga. Tugas kita tinggal memperjuangkan dan
meyakini itu. Meminjam Denny lagi, keep
on fighting for the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar