Pemerataan
Kebahagiaan
Ivan Hadar ; Direktur
Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
|
KORAN
SINDO, 24 Maret 2015
Berkurangnya
angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2014 dibandingkan 2013, menurut BPS
(2015) memang telah meningkatkan Indeks Kebahagiaan Indonesia dibanding tahun
2013. Hal ini terlihat dari data BPS (5/2/2015) yang mencatat indeks
kebahagiaan Indonesia tahun 2014 sebesar 68,28 pada skala 0-100, atau
meningkat 3,17 poin dibanding tahun sebelumnya yang ”hanya” 65,11.
Indeks
Kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan
terhadap 10 aspek kehidupan esensial yang memiliki besaran kontribusi
berbeda-beda terhadap indeks kebahagiaan, yakni pekerjaan, pendapatan rumah
tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga,
hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, keadaan lingkungan, dan kondisi
keamanan.
Hal
ini terjadi karena perbedaan penilaian mengenai derajat pentingnya setiap
aspek kehidupan terhadap tingkat kebahagiaan secara keseluruhan. Terdapat
tiga aspek kehidupan yang memiliki kontribusi paling tinggi, yaitu pendapatan
rumah tangga (14,64%), kondisi rumah dan aset (13,22%), serta pekerjaan
(13,12%). Tingkat kepuasan tertinggi pada tahun 2014, berkaitan dengan
keharmonisan keluarga, sebesar 78,89%.
Sementara
tingkat kepuasan paling rendah terjadi pada aspek pendidikan yang hanya
mencapai 58,28%. Di dunia, peringkat Indonesia terbilang cukup tinggi. Dalam
laporan yang disusun oleh Gallup Inc (2015), Indonesia berada pada peringkat
12 dalam daftar 20 negara paling bahagia di dunia. Negeri ini terkenal
sebagai negara dengan penduduk yang ramah dan murah senyum.
Di
pedesaan yang terbilang miskin atau di kampung kota yang kumuh pun, para
turis dipastikan menemukan anak-anak dan orang dewasa yang menyapa mereka
dengan senyum dan tawa ramah. Lebih dari itu, dalam tayangan liputan televisi
terkait terbakarnya lebih dari 200 rumah di kawasan (kumuh) Tanah Abang,
beberapa korban yang diwawancara terlihat masih tersenyum ketika
menggambarkan betapa ”rakus” dan cepatnya api melahap rumah dan harta benda
mereka.
Sulit
membayangkan, sang korban tersenyum ketika hal serupa terjadi di
negara-negara kaya, padahal bisa dipastikan bahwa mereka akan memperoleh
ganti rugi setimpal, bukan sekadar pergantian barang yang terbakar. Berbasis
pengamatan seperti itu, apakah kita layak menyimpulkan bahwa tingkat
kebahagiaan seseorang atau sebuah bangsa, memang tidak sepenuhnya ditentukan
oleh kondisi kesejahteraan?
Di
satu sisi, survei dari Gallup Incmenunjukkan uang tidak dapat membeli
kebahagiaan. Itulah yang terlihat ketika warga Singapura, sebagainegara
denganGDP per kapita tertinggi kelima di seantero bumi, menempati urutan
pertama di dunia sebagai yang paling tidak gembira dan positif dalam
menjalani kehidupan. Namun, di sisi lain tentu saja kita juga mengamati bahwa
kemiskinan sangat bisa menggerogoti kebahagiaan. Sebaliknya, kesejahteraan
sangat mungkin meningkatkan kebahagiaan.
Dalam
Indeks Kebahagiaan 2014 (BPS, 2015) dari tiga puluh empat provinsi di
Indonesia, Provinsi Kepulauan Riau memiliki urutan indeks kebahagiaan
tertinggi dengan angka 72,42. Hal yang mencengangkan, penduduk di Papua
dengan sumber daya alam (SDA) relatif kaya di negeri ini, justru dianggap
paling tidak bahagia dengan angka jauh di bawah Riau, yaitu 60,97.
Sebuah
kenyataan yang sebenarnya mengenaskan. Betapa tidak. Papua yang didendangkan
Franky Sahilatua sebagai ”surga kecil yang jatuh ke bumi”, ternyata memegang
rekor terburuk terkait persentase kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) dan Indeks Kebahagiaan. Menanggapi hal tersebut, pimpinan Dewan Adat
Papua Fadhal al Hamid mengatakan, yang dibutuhkan warga Papua sebenarnya
bukansekadarukuran ekonomi dan statistik, melainkan juga hal yang lain.
Menurutnya,
dalam proses pembangunan, banyak kasus yang menunjukkan bahwa orang Papua
belum dipandang sebagai warga negara yang sa ma dengan warga Indonesia
lainnya. Walaupunadabanyak perhatian, tetapi kasus-kasus pelanggaran HAM atau
kekerasan negara terhadap rakyat, juga perampasan hak-hak masyarakat atas
hutan, tanah, tambang dan lain-lain, selalu mengakibatkan
perasaantidakdihargai oleh negara. (BBC, 6/2/2015) Kenyataannya, kondisi riil
Tanah Papua saat ini dipenuhi oleh berbagai hal yang kontradiktif.
Di
satu sisi, Tanah Papua memiliki tiga modal dasar yang bisa menjadi faktor
utama pembawa kesejahteraan, yaitu SDA yang berlimpah, kawasan ekosistem yang
luas dan kaya serta jumlah penduduk yang relatif sedikit, sekitar empat juta
jiwa. Modal dasar tersebut semakin diperkuat dengan adanya transfer dana dari
pusat berupa pembagian hasil eksplorasi SDA dan dana otonomi khusus (otsus)
yang, sejak diberlakukannya otsus 12 tahun lalu, berjumlah sekitar Rp40
triliun.
Namun,
di sisi lain, potensi modal dasar yang demikian besar tidak membawa hasil
yang sebanding. Persentase kemiskinan di Tanah Papua, misalnya, masih di atas
20%, jauh di atas rata-rata nasional. Dari kondisi tersebut, yang menjadi
keprihatinan luas adalah kenyataan bahwa mayoritas orang asli Papua (OAP)
sebagai pemilik awal ”surga kecil” ini, masih berkutat dalam kemiskinan dan
”keterbelakangan”.
Usia
harapan hidup, lama pendidikan, dan kondisi kesehatan penduduk asli,
misalnya, jauh lebih rendah dibandingkan pendatang. Terkait ketidakadilan,
Tanah Papua bukan pengecualian. Secara konkret kebijakan pembangunan
(ekonomi) di seluruh Indonesia sejak lebih dari empat dekade, tidak berpihak
pada kelompok miskin, kurang atau bahkan tidak peka terhadap (nilai) budaya
dan zona ekosistem yang mempengaruhi budaya, mata pencaharian, dan pola hidup
penduduk (adat) di sekitarnya.
Selama
ini, pertumbuhan perekonomian negeri ini lebih bertumpu pada ekspor bahan
baku SDA, sektor keuangan, dan usaha padat modal yang kurang memberikan
kontribusi terhadap perluasan lapangan pekerjaan. Konkretnya, pertumbuhan
ekonomi ternyata tidak membawa dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan
mayoritas orang miskin yang bekerja di sektor pertanian kecil yang selama ini
terbengkalai.
Menggunakan
tolok ukur yang lebih manusiawi berupa penghasilan minimum USD2/ hari,
makamerekayangdianggap sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan
miskin, diperkirakan berjumlah di atas 60%, atau sekitar 150 juta total
penduduk Indonesia. Dengan menggunakan tolok ukur minimum dari BPS, dengan
kategori orang miskin ialah dia yang berpenghasilan di bawah Rp300ribu/kepala/
bulan, patut diragukan bahwa tingkat kepuasan atau kebahagiaan mayoritas
masyarakat bisa dianggap cukup.
Ironisnya,
pada saat yang sama kekayaan atau kue ekonomi makin terkonsentrasi di tangan
segelintir orang superkaya. Tahun 2014, harta 40 orang terkaya di negeri ini
mencapai Rp850 triliun atau setara dengan 10% PDB kita.
Rasio
Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, juga meningkat pesat
dalam beberapa tahun terakhir: dari 0,32 (2004) menjadi 0,43 (2014). Bagi
pemerintah, sangat mendesak untuk melakukan kebijakan yang berpihak pada
orang miskin agar terjadi pemerataan kesejahteraan, sebagai bagian dari
pemerataan kebahagiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar