“Cantrang”
dan Kearifan Kita
Toto Subandriyo ; Kepala Dinas
Kelautan Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Tegal
|
KOMPAS,
26 Maret 2015
Setelah demo besar-besaran yang dilakukan para
nelayan dari sejumlah daerah di depan Istana Negara, Jakarta—akhir Februari
lalu—tidak membawa hasil berarti, mereka kembali melakukan demo di daerah
masing-masing. Awal Maret lalu, para nelayan di Kabupaten Batang, Jawa
Tengah, melakukan demo dengan memblokade jalan di jalur pantai utara Jawa dan
berlangsung rusuh.
Seperti banyak diberitakan media massa, hingga
saat ini masih terjadi pro dan kontra di kalangan nelayan menanggapi
dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor
2/Permen-KP/2015. Permen yang lebih dikenal nelayan dengan sebutan Permen
Cantrang itu berisi larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela
(trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan negara
RI.
Cantrang merupakan salah satu nama alat
penangkapan ikan yang banyak digunakan nelayan. Alat ini termasuk dalam jenis
pukat tarik berkapal (boat or vessel
seines). Selain cantrang, alat penangkapan ikan yang termasuk jenis ini
antara lain dogol (danish seines),
payang, dan lampara dasar.
Mereka yang pro terhadap peraturan tersebut
berpendapat bahwa penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik
oleh para nelayan di wilayah pengelolaan perikanan negara RI telah
mengakibatkan penurunan sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan
sumber daya ikan. Untuk mencegah semua itu, perlu dilakukan pelarangan
penggunaan alat penangkapan ikan dari jenis-jenis tersebut.
Adapun nelayan yang kontra berpendapat bahwa
pelarangan alat penangkapan ikan dari jenis cantrang merupakan petaka bagi
mereka. Hal itu disebabkan sebagian besar nelayan di wilayah pesisir pantai
utara (pantura) Jawa mengandalkan cantrang untuk mempertahankan hidup mereka.
Pelarangan cantrang sebagai alat tangkap ikan akan membuat dapur mereka tidak
mengebul.
Harus dicegah
Banyak referensi menyebutkan bahwa aktivitas
penangkapan ikan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya alam
pesisir dan lautan juga memicu peningkatanwarga miskin di wilayah tersebut.
Untuk itu, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, aktivitas manusia
yang berpotensi merusak kelestarian sumber daya ekosistem terumbu karang—baik
langsung maupun tak langsung—harus dicegah.
Pada 1995, Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO) telah mengeluarkan konvensi Code
of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Saat ini, Indonesia termasuk
salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Di dalam
konvensi itu terdapat sembilan karakteristik alat penangkapan ikan ramah
lingkungan.
Sembilan karakteristik tersebut adalah (1)
mempunyai selektivitas tinggi terhadap sasaran; (2) tidak merusak habitat;
(3) menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi; (4) tidak membahayakan
nelayan; (5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6) hasil tangkapan
sampingan (by-catch) rendah; (7)
dampak terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity)
rendah; (8) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; dan (9) tidak
membahayakan nelayan.
Memang, sehari setelah dilantik oleh Presiden
Joko Widodo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti langsung
menyatakan perang terhadap praktik illegal,
unreported and unregulated (IUU) fishing. Secara harfiah IUU fishing
diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang
tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada
suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.
Bertahap
Hanya beberapa hari setelah menjabat, banyak
regulasi telah dikeluarkan oleh Susi Pudjiastuti. Tidak sedikit di antara
regulasi tersebut kemudian menuai kontroversi dari para pemangku kepentingan.
Bukan hanya Permen Cantrang yang mendapat
penolakan luas dari para nelayan. Sebelumnya, Permen Nomor 57 Tahun 2014
tentang Pelarangan Alih Muatan di Tengah Laut (transhipment) juga menuai protes dari para pengusaha. Permen
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla
spp), dan Rajungan (Portunus
pelagicus spp) juga diprotes oleh para nelayan hingga kini.
Menyikapi pendapat pro dan kontra terhadap
peraturan dan regulasi ini, semua pihak dituntut untuk bertindak secara arif
dan bijaksana. Bagaimanapun, perilaku destruktif nelayan dalam menangkap ikan
sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang membelit sebagian besar entitas
nelayan. Untuk itu, implementasi dari peraturan ini harus dilakukan secara bertahap
dan terencana dengan baik.
Solusi dari permasalahan ini juga harus
dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh substansi dan akar permasalahan,
yaitu kemiskinan. Upaya pengentasan nelayan dari kemiskinan antara lain
dilakukan melalui diversifikasi usaha dengan memberikan pelatihan usaha
ekonomi produktif di luar usaha pokok menangkap ikan.
Pemberian stimulans modal sangat dibutuhkan
untuk memulai usaha tersebut, termasuk bantuan modal untuk penggantian alat
tangkap yang ramah lingkungan. Akses kredit mikro bagi perempuan nelayan juga
diyakini dapat membantu mengentaskan keluarga nelayan dari kubangan
kemiskinan.
Kajian yang pernah dilakukan oleh Bank Dunia,
beberapa tahun lalu, terhadap pemberian kredit perbankan kepada kaum
perempuan sampai pada kesimpulan bahwa kaum perempuan merupakankreditur yang
sangat bagus. Keberhasilan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan
Kecil (P4K) untuk kegiatan ekonomi produktif seperti pernah diinisiasi
Departemen Pertanian hingga akhir 1980-an perlu dicontoh dan dihidupkan
kembali.
Karena masalah ini menyangkut isi perut jutaan
nelayan beserta keluarganya, pemberlakuan Permen Cantrang harus
dipertimbangkan secara matang. Selain dibutuhkan biaya cukup besar,
penggantian alat tangkap juga membutuhkan waktu dan keahlian yang memadai. Di
sinilah kearifan kita sedang diuji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar