Polemik Hak Angket DPR
Gun Gun Heryanto
; Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
|
REPUBLIKA,
26 Maret 2015
Para politisi DPR, terutama Koalisi Merah
Putih (KMP), kini kembali menggulirkan bola panas pada masa persidangan
ketiga. Mereka menginisiasi hak angket yang ditunjukkan untuk pemerintah,
dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang telah mengeluarkan
keputusan mengakui kepengurusan Partai Golkar Agung Laksono.
Inisiatif ini kemudian dibingkai dalam guliran
isu intervensi pemerintah pada urusan internal partai politik dan dirangkai
dengan kejadian sebelumnya, yakni sikap pemerintah saat mengakui kepengurusan
Romahurmiziy di PPP. Inisiatif untuk menggulirkan hak angket melahirkan
pro-kontra soal argumentasi yang menjadi sandarannya.
Putusan Menteri Hukum dan HAM merujuk pada
keputusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) yang ditafsiri memenangkan munas versi
kubu Agung. Pengakuan Kemenkumham ini disandarkan pada Pasal 32 Ayat 2
Undang-Undang Parpol Nomor 2 Tahun 2011 bahwa penyelesaian perselisihan
internal parpol dilakukan melalui Mahkamah Partai.
Pada Pasal 5 UU tersebut juga dinyatakan
putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal
perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Kubu Aburizal Bakrie (ARB)
pun merujuk pada UU yang sama, bedanya yang digunakan adalah Pasal 24 UU No 2
Tahun 2011. Menurut mereka, Kemenkumham tak boleh mengesahkan kepengurusan
parpol yang baru selama konflik internal belum selesai. Argumennya, mereka
masih akan memproses gugatan baru di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Seluruh polemik soal kepengurusan Golkar versi
siapa yang diakui pemerintah, sebenarnya adalah urusan menyangkut elite
parpol. Bagaimana para politisi di Golkar bertarung serta mengelola konflik
untuk menyikapi urusan internal mereka sendiri. Situasi semacam inilah yang
oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya, Relating Dialogues and Dialectics (1996), digambarkan dapat
menghadirkan dialektika relasional. Akan muncul silang-sengketa dan beragam
argumen berbeda ke ruang publik guna memperkuat posisi politik masing-masing.
Terlalu berlebihan jika DPR mengangkat isu ini
menjadi hak angket para wakil rakyat di Senayan. Benarkah hak yang akan
digulirkan ini bersentuhan dengan kepentingan masyarakat secara luas? Ada
kekhawatiran kegaduhan yang diciptakan dari hak angket inilah yang diharapkan
para politisi agar menjadi tekanan psikologis dan politis bagi pemerintah
sehingga bisa menaikkan daya tawar mereka.
Jika merujuk ke Pasal 79 UU MPR, DPR, DPRD,
dan DPD (MD3), hak angket didefinisikan sebagai hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Makna hak angket di atas tidak sinkron dengan
maksud yang sedang digagas sejumlah kalangan di DPR terkait keputusan
Menkumham dalam kasus Golkar.
Ketidaksinkronan khususnya terkait aspek
kepentingan publik yang berdampak luas karena ini hanya berdampak pada kubu
yang berselisih di parpol. Dalam perspektif lebih luas, justru hak angket ini
akan mereduksi kepentingan strategis masyarakat luas dengan kepentingan
sekelompok politisi.
Jika pun keputusan Kemenkumham tendensius ke
salah satu kubu dan dianggap keliru, saluran penyelesaiannya adalah di
internal partai atau legal standing di pengadilan, bukan melalui hak angket
DPR. Periode pemerintahan Jokowi-JK ini berada di era terbuka, jika pun
pemerintah intervensi sejumlah parpol dan melakukannya secara eksesif, pelan
tapi pasti pemerintah sedang bunuh diri politik.
Meniup gelembung politik (bubble politic) merupakan modus lama bekerjanya pengonstruksian
realitas politik para politisi DPR. Tindakan ini dirancang secara sadar dan
terorganisasi guna memengaruhi persepsi khalayak sehingga intersubjektivitas
yang dibangun antarsesama masyarakat bisa dibentuk atau dimanipulasi sesuai
keinginan politisi.
Sebagian besar politisi sangat paham bahwa hal
dominan dalam politik adalah persepsi publik sehingga beragam operasi untuk
mengendalikan opini menjadi sangat penting. Maxwell McCombs dan Donald L Shaw
dalam tulisan klasik mereka "The
Agenda Setting Function of Mass Media" yang dipublikasikan Public Opiniom Quarterly (1972)
mengungkapkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, media akan
memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Perspektif agenda setting
memandang media massa bisa membentuk persepsi khalayak tentang apa yang
dianggap penting.
Sejumlah politisi yang menjadi inisiator hak
angket Kemenkumham secara demonstratif mengangkat istilah "begal
politik", abuse of power, dan lain-lain ke permukaan. Mereka
menginisiasi hak angket di DPR dan menabuh "genderang perang" untuk
orang di lingkar istana, seperti Yasonna Laoly.
Tekanan semacam ini biasanya untuk dua
kepentingan sekaligus. Pertama, negosiasi jangka pendek, yakni perubahan
sikap pemerintah menyangkut kepengurusan yang diakui. Kedua, delegitimasi
kekuasaan dengan memperbanyak isu yang dapat menurunkan tingkat kepercayaan
publik pada pemerintah. Di tengah tekanan inilah, para politisi kerap membuka
ruang lobi dan negosiasi sehingga kerap mewujudkan zona nyama kekuasaan.
Seharusnya, DPR lebih fokus pada optimalisasi
fungsi-fungsi DPR, baik dalam kontrol, anggaran maupun legislasi. Pemanfaatan
seluruh hak-hak mereka juga diarahkan pada sebesar-besarnya kepentingan
publik. Sering kali, efek dari permainan para politisi ini menyebabkan
retrogresi politik, yakni pemburukan dan penurunan kualitas politik yang
diakibatkan gejala masing-masing elemen politis, termasuk parpol bekerja
hanya untuk mendapatkan akses kekuasaan.
Karena itulah, publik harus kritis menyikapi
hak angket yang digulirkan politisi di DPR maupun sikap pemerintah. Publik
bersikap dengan panduan rasionalitas, bukan dengan isu yang dicangkokkan para
politisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar