BUMN
dalam Pusaran Politik
Moh Ilham A Hamudy ; Berkhidmat di
BPP Kementerian Dalam Negeri
|
REPUBLIKA,
23 Maret 2015
Sejumlah perusahaan badan usaha milik negara
(BUMN) bakal memiliki jajaran komisaris baru. Dalam jajaran itu ada sejumlah
nama yang dikenal sebagai politisi, relawan, dan pengamat yang kerap membela
kebijakan Presiden Jokowi. Di antaranya adalah Cahaya Dwi Rembulan Sinaga,
yang digadang menjabat komisaris independen PT Bank Mandiri Tbk. Cahaya
sebelumnya dikenal sebagai relawan yang bergabung dengan Tim Transisi
Jokowi-JK.
Kemudian, ada Pataniari Siahaan yang ditunjuk
sebagai komisaris di PT Bank Negara Indonesia. Pataniari adalah mantan
anggota DPR RI dari Fraksi PDIP (2004-2009). Ada juga Diaz Hendropriyono,
ketua umum Koalisi Anak Muda dan Relawan Jokowi yang diberi tugas sebagai
komisaris di PT Telkomsel. Lalu, Alexander Sonny Keraf sebagai Komisaris
Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Sebelumnya, Sonny merupakan anggota
Balitbang PDIP.
Bersama Sonny, ada pula nama Jeffry Wurangian.
Dari informasi yang ada, Jeffry pernah menjadi calon anggota legislatif DPR
RI dari Partai Nasdem. Sedangkan, dari jajaran pakar/pengamat yang pro
Jokowi, ada dua nama yang ketiban pulung, yaitu Refly Harun dan Revrisond
Baswir yang didapuk masing-masing menjadi komisaris utama PT Jasa Marga dan
komisaris di PT Bank Negara Indonesia.
Banyak yang merugi
Memang, mereka belum tentu terpilih secara
definitif. Penunjukkan itu belumlah final. Komisaris dan direksi harus lolos
uji kepatutan dan kelayakan alias fit and proper test yang dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penilaian oleh OJK wajib dilakukan untuk
perusahaan bergerak dalam bidang jasa keuangan, seperti perbankan,
pembiayaan, hingga asuransi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, ada beberapa
direksi BUMN yang diangkat dalam RUPS tetapi digugurkan oleh OJK.
Sebenarnya, secara politis, keputusan Presiden
Jokowi memilih sejumlah pendukungnya di pemilu presiden lalu sebagai
komisaris di beberapa BUMN merupakan hal yang wajar. Setiap orang yang
menjadi presiden di republik ini agaknya akan melakukan hal serupa. Jokowi
memang tengah melakukan politik balas budi kepada orang-orang yang
mendukungnya untuk menjadi presiden.
Adalah hal yang wajar jika mereka yang
berkeringat di pemilu lalu mendapat jabatan di pemerintahan atau juga di
BUMN. Jokowi perlu tangan kanan untuk mengawasi BUMN. Yang penting, pendukung
yang menerima hadiah itu wajib memiliki kompetensi dan lulus uji dari OJK,
bukan asal pilih saja.
Kendati begitu, dari sisi manajemen bisnis,
masuknya politisi dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan tetap saja
menimbulkan persoalan. Isu yang biasanya mengemuka adalah conflicting objectives (pertentangan
tujuan), lack of transparency
(minimnya transparansi), dan political
interference (gangguan politik). Dalam hal gangguan politik, misalnya,
para politisi dan orang dekat penguasa yang memiliki kuasa terhadap BUMN
kerap dengan bebas mengutak-atik BUMN sesuai dengan selera pribadi dan
kelompok mereka.
Contoh yang paling sederhana adalah demi
meraup suara pemilih pada ritual pemilihan umum, pemerintah memaksa direksi
BUMN untuk melakukan kegiatan bisnis di daerah tertentu. Padahal, berdasarkan
kalkulasi bisnis, kegiatan tersebut tidak akan memberikan keuntungan kepada
perusahaan. Itulah yang ironi terjadi dalam perjalanan pengelolaan BUMN kita
selama ini. Akibatnya, tidak sedikit BUMN yang merugi.
Kerugian itu ditimbulkan tidak lain karena
banyaknya elite bangsa ini yang memanfaatkan BUMN. Malah, terkesan BUMN
seperti menjadi "sapi perah" oleh pemerintah untuk kepentingan
politik. Seharusnya, BUMN hanya memikirkan hal-hal bisnis, tidak boleh
dibawa-bawa ke dalam pusaran politik. Sehingga, mendapatkan keuntungan yang
bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Menjawab tantangan
Gambaran gamblang tentang memblenya BUMN kita
pernah diuraikan oleh Presiden Direktur OSO Grup Tanri Abeng. Menurutnya,
pada 2014 saja, dari 141 BUMN yang ada di Indonesia ternyata hanya mampu
menyumbang 10 miliar dolar AS atau Rp 127 triliun kepada APBN. Ini jauh
berbeda dengan Petronas, perusahaan minyak Malaysia. Padahal, pada saat yang
sama, Petronas mampu menyumbang 25 miliar dolar AS atau sekira Rp 318 triliun
untuk APBN Malaysia.
Perbedaan tersebut, menurut Tanri, terjadi
karena BUMN Indonesia masih memiliki sejumlah tantangan. Tantangan pertama
adalah semua BUMN belum dikelola 100 persen secara profesional. Pendekatannya
masih birokratis. Kedua, pengaruh politik dalam operasional dan kinerja pada
BUMN masih sangat kental. Ketiga, Undang-undang BUMN belum jelas.
Oleh karena itu, ketiga tantangan sebagaimana
diungkap Tanri harus segera dijawab oleh jajaran komisaris yang disebut di
atas. Kalau lulus ujian dari OJK, mereka harus menjawab keraguan dan
kekhawatiran publik. BUMN Indonesia harus bisa dibawa bersaing dengan BUMN
lainnya yang ada di negara lain. Para komisaris BUMN yang baru ditunjuk itu
harus berkonsentrasi memikirkan bagaimana memajukan sebuah BUMN tanpa
tersandera oleh kepentingan politik penguasa.
BUMN tidak boleh lagi menjadi sapi perah!
Mereka wajib memikirkan efisiensi dalam segala hal agar bisa kompetitif.
Terlebih lagi, mulai tahun ini ASEAN
Economic Community (AEC) telah menjadi tantangan sekaligus peluang bagi
dunia usaha di Indonesia. Pertanyannya, apakah BUMN kita nanti akan menjadi
pemain dalam AEC 2015 atau hanya menjadi penonton? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar