Antara Lee Kuan Yew dan Olga
Sumiati Anastasia
; Kolumnis dan
Muslimah di Balikpapan
|
JAWA
POS, 30 Maret 2015
SAAT
negeri tetangga kita, Singapura, tengah berkabung atas mangkatnya Lee Kuan
Yew dalam usia 91 tahun (wafat Senin, 23/3), komedian Indonesia Olga
Syahputra meninggal pada Jumat (27/3) di Rumah Sakit Mount Elizabeth
Singapura setelah setahun dirawat. Dia disebut menderita meningitis. Pria
kelahiran Jakarta, 8 Februari 1983, itu terkenal dengan gaya kemayu, kocak,
dan sifat lugu yang membuatnya dicintai banyak penggemar.
Antara
dua sosok itu boleh jadi tidak bisa dibandingkan. Sebab, yang satu adalah
politikus kelas dunia, yang lain komedian. Keduanya juga pasti tidak memiliki
hubungan apa-apa. Namun, keduanya adalah sama-sama manusia sehingga kematian
mereka juga bisa sama-sama jadi trending
topic di media sosial. Juga, banyak yang kehilangan karena keduanya
sama-sama menorehkan tinta emas ketika semasa hidup.
Lee
mampu membangun dan membuat Singapura yang miskin dan kecil jadi negara maju
yang diperhitungkan dan disegani di dunia. Olga juga berangkat dari kelas
bawah yang merangkak hingga sampai puncak di jagat hiburan Indonesia. Olga
selalu menyisihkan sebagian honornya untuk kaum papa. Jelas, itu lebih mulia
daripada kelakuan banyak koruptor Indonesia yang justru membuat kehidupan wong cilik kian menderita. Korupsi
juga membuat Indonesia tidak bisa maju seperti Singapura. Jangan lupa, Lee,
sebelum jadi perdana menteri (1950–1990), adalah advokat lulusan Cambridge
University yang telah menanamkan disiplin dan penegakan hukum yang tidak
pilih kasih. Para koruptor takut. Dan, rendahnya korupsi membuat derajat
Singapura bisa terangkat sebagai negara maju dan sejahtera.
Jadi,
dua sosok itu sungguh telah berjasa. Dan, jasa itulah yang selalu dikenang
ketika mereka sudah meninggal. Pepatah Jawa mengingatkan ''urip mung mampir ngombe'' (hidup hanya sekadar singgah minum).
Ini menunjukkan betapa fana dan kecilnya manusia, serta betapa singkatnya
perjalanan manusia di dunia ini.
Dan
manusia, apa pun derajatnya, entah penguasa negara atau rakyat jelata, entah
kuning atau cokelat, tak bakal lolos dari kematian.
Sayangnya,
sejak dulu hingga kini, kematian masih menjadi sumber teka-teki penuh
misteri. Para raja Mesir, Babilonia, atau kaisar China kuno malah, sesuai
tradisi, memaksa ''mengajak'' istri dan segenap pengawal dan dayang-dayang
ketika mereka meninggal. Artinya, pada hari pemakaman, orang atau hewan
kesayangan yang masih hidup ikut dikubur hidup-hidup bersama si mati. Sebab,
ada keyakinan, itu dilakukan agar si mati tidak kesepian di alam kematian.
Yang
unik, salah satu sub-etnis Indian di Kanada malah menggelar pesta
besar-besaran ketika ada keluarga yang meninggal. Sebaliknya, ketika ada anak
yang baru lahir, digelar pesta perkabungan. Jadi, itu menjadi kebalikan
dengan kebiasaan kebanyakan manusia dewasa ini.
Namun,
pada intinya, manusia modern dewasa ini mencoba melupakan kematian. Simak
saja, ketika ada orang lain meninggal, banyak orang merasa kematiannya
sendiri masih lama. Tak heran, ketika mengantar jenazah ke kuburan, banyak
orang berpikir bahwa dirinya tak akan mungkin meninggal dalam waktu dekat.
Islam
mengajarkan bahwa yang mati adalah jasad manusia saja, sedangkan rohnya
mengembara dalam perjalanan abadi. Seperti disebutkan dalam dalam Surat Al
A'raaf ayat 172, roh manusia menempuh perjalanan panjang yang tidak akan
pernah berakhir.
Namun,
di tengah semangat zaman yang menuhankan uang sehingga korupsi menjadi
kebiasaan, orang sering lupa akan ke mana selanjutnya setelah jasad mereka
menua dan tiada.
Malah
yang konyol, seperti dikatakan
Gus Mus, para koruptor kita kerap kali mencoba menyuap Tuhan dengan
memutihkan hasil korupsi dengan mengambil sebagian uang korupsi untuk
karya-karya amal dan kemanusiaan. Misalnya, membangun masjid, menyantuni anak
yatim, atau pergi haji ke Arab Saudi bagi yang muslim. Atau, mengunjungi
tempat lahir dan wafat Yesus di Israel bagi yang nasrani.
Dengan
modus operandi seperti itu, para koruptor berharap, bila meninggal kelak,
mereka bisa dihindarkan dari siksa kubur. Inilah konyolnya para koruptor
Indonesia, seolah Tuhan bisa disuap.
Dalam
psikologi agama, perilaku para koruptor seperti itu sebenarnya hanya upaya
melarikan diri dari permasalahan. Sebab, dengan cara seperti itu, mereka bisa
merasa tenteram. Tentu ketenteraman yang palsu.
Menurut
para guru kebajikan seperti Al Ghazali, hanya ada satu resep untuk
mendapatkan ketenteraman hidup, yakni membelakangi dunia. Selama masih ada
dunia di tangan kita, kekotoran hati dan kegelisahan akan tetap ada. Ibarat
mustahil mandi madu tanpa dikerumuni lalat atau semut.
Jadi,
mumpung masih diberi waktu, mari kita mengumpulkan bekal berarti untuk
perjalanan abadi. Mari belajar dari Lee atau Olga yang sudah berjasa
mengentas sesama yang kurang beruntung sesuai kapasitas masing-masing. Dan,
peduli pada yang lemah di tengah berlimpahnya harta adalah investasi abadi
yang tak akan mengecewakan (Surat Al Ma'un 107:1–7). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar