Perempuan,
Agama, dan Persamaan
Musdah Mulia ; Ketua Umum
ICRP
(Indonesian Conference on Religions for Peace)
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2015
SEBUAH perhelatan agung di
Teheran, Iran, bertajuk Konferensi Internasional ke-12 Perempuan Peneliti
Alquran (12th International Congress of
Women Qur'an Researches) memberikan banyak warna dalam pergerakan
perempuan internasional. Setidaknya, ajang ini sudah 12 kali digelar dan
mengundang para perempuan ilmuwan dari berbagai negara Islam atau negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia. Hadir sekitar dua
ribuan undangan yang umumnya perempuan intelektual, mahasiswa, dan kaum
terpelajar dari berbagai perguruan tinggi di Iran. Ajang tersebut dihadiri
sekitar 30 perempuan cendekiawan dari berbagai wilayah Islam.
Konferensi yang digelar 12 Maret lalu itu harus diakui sungguh well organized karena dihadiri para pejabat tinggi dan tertinggi Iran serta para mullah atau pemuka agama ternama. Hanya di Republik Islam Iran, perempuan bisa tampil dan berbicara lantang di hadapan para mullah dan petinggi negara yang umumnya laki-laki. Kondisi demikian masih sulit dibayangkan terjadi di Arab Saudi dan negaranegara Arab lainnya. Hanya di Iran, dijumpai institusi negara yang menghimpun perempuan peneliti Alquran dan setiap tahun mengadakan konferensi internasional mengundang tokoh-tokoh intelektual dari berbagai negara Islam. Hanya di Iran, para perempuan diberikan akses penuh dan difasilitasi negara untuk mengkaji Alquran dan menggalinya semata untuk kepentingan kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam. Sejujurnya ada rasa takut dalam diri karena berada di sini.Namun, ketika meyakini sistem keamanan masyarakat telah dibangun sedemikian rupa, dan juga terutama mindset masyarakat terhadap perempuan telah dikembangkan dengan benar, tidak lagi menganggap perempuan sebagai objek seksual, perempuan akan dihormati dan dimuliakan dalam kondisi apa pun.
Sayangnya, tidak banyak
disosialisasikan secara luas bahwa memuliakan perempuan dan menempatkannya
setara dengan laki-laki sebagai manusia merdeka adalah ajaran hakiki Islam,
seperti terbaca dalam hadis Rasul SAW, dan kitab suci Alquran.
Ketika mendengar azan subuh dikumandangkan, ada yang menarik dari lafaz azan yang secara redaksional sedikit berbeda dengan azan di Indonesia. Terus terang, kalimat hayya ala khayril amal terasa lebih dinamis dari kalimat asshalat khayrun min an-naum. Tambahan kalimat asyhadu anna aliyyan waliyyullah dan asyhadu anna aliyyan hujjatullah sama sekali tidak terasa janggal di telinga saya karena merupakan pujian terhadap Ali ibn Abi Thalib, sahabat terdekat dan menantu Rasul SAW. Bagi saya, perbedaan itu justru menambah keindahan dan kekayaan Islam. Mari menghargai kebinekaan dalam beragama. Para perempuan mewakili perguruan tinggi dan masing-masing mewakili negara dan budaya berbeda. Meski mereka sama-sama menganut Islam, busana yang dikenakan berbeda satu sama lain. Justru tidak ada yang memakai cadar (penutup wajah). Biarkan memilih Sungguh menarik karena meskipun beragama yang sama, mereka berbeda dalam cara berbusana, bahasa, dan budaya. Ekspresi Islam sangat berwarna-warni. Saya percaya bahwa upaya penyeragaman busana bagi perempuan selalu berujung pada lahirnya kemunafikan. Bukan hanya itu, hal tersebut membuat hancurnya daya inovasi dan kreativitas yang justru diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Itulah mengapa saya amat menentang semua bentuk peraturan dan perundang-undangan yang mengatur dan menyeragamkan busana perempuan. Biarkanlah perempuan memilih busana yang terbaik untuk diri mereka. Yang penting ialah mengedukasi mereka untuk dapat memilih busana sesuai dengan kepribadian Islam. Perempuan terdidik pasti akan memilih busana yang wajar dan sopan. Ada hal yang baru dalam kajian Alquran oleh perempuan Iran, yaitu pemanfaatan kecanggihan teknologi digital. Ada banyak pelajaran dari konferensi ini. Walau demikian, menurut saya kajian para perempuan peneliti Alquran tersebut belum sampai menyentuh hal yang paling esensial dalam Alquran, yaitu mengungkapkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan hakiki bagi semua manusia, termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Alquran diturunkan untuk menjelaskan visi penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai khalifah fil ardh (pengelola kehidupan di bumi) dengan misi utama menegakkan ajaran tauhid, membebaskan manusia dari semua belenggu kemusyrikan, perbudakan, dominasi, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan yang dalam Alquran diistilahkan dengan thagut. Itulah sebabnya, mengapa pada masa awal Islam, pesanpesan Alquran begitu memukau kalangan marginal dan tertindas yang dikenal dengan istilah musthad'afin, termasuk di dalamnya semua kelompok rentan, seperti hamba sahaya, fakir miskin, perempuan, dan kelompok minoritas. Tidak mengherankan jika mereka yang tertarik masuk Islam pada masa awal umumnya terdiri dari kelompok tersebut. Pesan-pesan Alquran yang begitu radikal dan liberal menyuarakan prinsip kebebasan dan kesetaraan manusia justru tidak menarik, bahkan dirasa mengganggu hegemoni kelompok bangsawan dan kaum elite yang mapan di masa itu. Mereka tentu mati-matian menolak Alquran, membela budaya jahiliah yang melanggengkan thagut. Bahkan, harus diakui secara jujur, sampai sekarang pun, pesan-pesan Alquran yang fundamental tersebut masih sulit diwujudkan secara komprehensif dalam kehidupan nyata karena masyarakat muslim masih banyak terbelenggu dalam budaya jahiliah. Sempat terpikir, mungkin para perempuan peneliti itu memang sengaja diarahkan pemerintah untuk tidak kritis menyentuh wilayah sensitif dalam kajian Alquran, dengan maksud menjaga stabilitas masyarakat sehingga tidak ada kontroversi, konflik, dan pergolakan dalam masyarakat. Hal-hal tersebut amat ditakuti pemerintah yang tidak demokratis. Dari diskusi panjang, saya menyimpulkan bahwa tantangan perempuan muslim di berbagai wilayah Islam intinya tidak banyak berbeda. Kami para perempuan menghadapi persoalan budaya patriarkat yang masih mendomestifikasi dan menyudutkan kaum perempuan, serta memandang perempuan cukup berkiprah di dunia domestik saja. Kami menghadapi persoalan yang sama dalam bentuk kemiskinan, iliterasi, dan keterbelakangan akibat kurangnya akses dalam pengembangan ilmu dan keterampilan. Pemenuhan hak-hak perempuan dalam kesehatan reproduksi Kurang. Kami semua masih menyebut perkawinan anakanak, perkawinan paksa, perceraian, dekadensi moral, bahaya HIV/AIDS, narkoba, dan trafficking serta aksi-aksi kekerasan fundamentalisme agama sebagai musuh nyata yang harus dieliminasi bersama. Saya amat salut terhadap pemerintah Iran yang dengan nyata memberikan dukungan dan memfasilitasi kaum perempuannya untuk aktif dan terlibat dalam dunia penelitian, khususnya dalam bidang agama dengan melakukan penelitian Alquran. Saya sangat yakin, dengan mengembangkan kajian Alquran berbasis sains dan teknologi serta memberikan akses penuh kepada kaum perempuan yang notabene merupakan setengah dari warga masyarakat, kebudayaan dan peradaban Islam akan maju dan berkembang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar