Pendidikan di Negeri Siluman
Sidharta Susila
; Pendidik di
Muntilan, Magelang, Jawa Tengah
|
KOMPAS,
27 Maret 2015
Siluman memang bisa membuat serba mungkin.
Namun, siluman tetap bukan manusia. Maka, mereka banyak bekerja di luar
nalar. Aksinya pun tak diintensikan untuk kebermartabatan manusia. Negeri
siluman bukanlah negeri yang baik untuk pendidikan.
Geger Jakarta antara Gubernur dan DPRD
mencuatkan tema siluman. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama berang karena ada
pengajuan rencana anggaran yang muncul tiba-tiba. Ia menyebutnya sebagai
anggaran siluman. Pedihnya, anggaran itu diintensikan dan diatasnamakan untuk
dunia pendidikan.
Tak terelakkan pemahaman bahwa pendidikan kita
dikelola dengan cara dan oleh para siluman. Siluman itu mengerikan.
Pendidikan yang dikelola dengan cara dan oleh siluman tentulah amat
mengerikan akibatnya.
Kebodohan yang berguna
Aksi siluman di Jakarta berjumpa sosok yang
"bodoh". Sosok itu oleh banyak pengamat dan tetua yang pernah
menjabat di pemerintahan dikatakan bodoh. Mestinya sosok itu menyikapinya
dengan manis, membangun komunikasi politik, dirembuk bersama bagaimana
baiknya.
Nasihat pengamat dan tetua sepintas kelihatan
bijak. Namun, tidakkah yang namanya komunikasi politik sering kali berujung
demi selamat dan terwujudnya kepentingan orang/kelompok? Padanya kebusukan
cara mengelola kehidupan berbangsa-bernegara ini berpotensi terperam.
Kepiawaian kompromi atau komunikasi politik
terbukti menihilkan riak kehidupan. Semua berjalan layaknya kerja siluman
yang senyap. Namun, siluman tak lagi peduli kebermartabatan dan kualitas
kehidupan. Dana yang semestinya untuk kepentingan rakyat, khususnya rakyat
miskin, raib di saku satu-dua orang berkarakter siluman: biadab, tetapi
berkesan manis.
Apa yang terjadi di DKI memprihatinkan. Sosok
yang memperjuangkan kebenaran dan kehidupan bermartabat justru diolok-olok
dan dibodoh-bodohkan. Sosok "bodoh" ini mirip murid yang dicap
bodoh karena tak bisa mengerjakan tugas sesuai kehendak gurunya meski hasil
pengerjaan tugasnya tepat dan benar.
Dalam dunia pendidikan, kebodohan sering
diartikan tak bisa mengikuti dan melakukan cara-cara yang dimaui guru. Albert
Einstein dan Thomas Alfa Edison pernah mendapat cap bodoh, bahkan
disingkirkan dari komunitas studinya. Akankah tokoh "bodoh" geger
Jakarta tersingkir meski ia berguna merawat kehidupan berbangsa dan bernegara
yang bermartabat?
Kebodohan sering kali disematkan karena
berbeda dengan arus utama. Dalam dunia pendidikan, arus utama dikendalikan
oleh mulai dari guru sampai para pejabat dan praktisi politisi.
Hancurkan pendidikan
Geger Jakarta adalah bagian kecil
diobok-oboknya pengelolaan pendidikan di negeri ini. Deretan kasus
tersendatnya tunjangan guru, disunatnya sumbangan untuk sekolah dan siswa
miskin, rekayasa aneka tender pengadaan sarana pendidikan, adalah realitas
kasus serupa. Pendidikan sering kali dijadikan lahan subur menggendutkan
rekening pribadi.
Pendidikan tak hanya diobok- obok oleh uang.
Sering kali kelompok eksklusif radikal ideologis yang menduduki jabatan
pemerintahan menuntaskan agenda dan kepentingannya. Ada yang secara terbuka
dengan menerbitkan peraturan daerah dan ragam aturan. Ada pula yang senyap
lewat sistem pembelajaran dan kurikulum. Cara senyap adalah cara siluman.
Cara-cara siluman juga pernah kita alami
ketika pejabat pemerintahan daerah memanfaatkan momen ujian nasional (UN)
untuk membangun citranya. Para pejabat instansi pendidikan dan guru dipaksa
memanipulasi proses ujian demi target kelulusan seratus persen.
Aksi siluman menghancurkan pendidikan. Proses
pembelajaran dihancurkan. Penyunatan dana pendidikan dan pengalokasian
bantuan untuk sejumlah sekolah yang bisa diajak kongkalikong mencederai
prinsip keadilan. Siswa dan pelaku pendidikan hanyalah obyek penuntas hasrat
menggendutkan rekening pribadi dan penuntas agenda ideologis.
Betapa mengerikan penghancuran pendidikan oleh
siluman. Aksi siluman hanya melahirkan potret pendidikan yang seolah-olah
baik, adil, dan berkualitas. Lihatlah, betapa ompongnya sekolah-sekolah yang
beberapa waktu lalu tampil gagah berlabel internasional atau berstandar
nasional. Mereka megah dalam tampilan bangunan dan sarana, tetapi rapuh dalam
pembangunan kecerdasan, nasionalisme, pluralisme, dan karakter.
Sementara sekolah yang dirasuki aksi siluman
radikal ideologis hanya melahirkan lulusan santun nihil kecakapan. Parahnya,
kepuasan orangtua siswa sempurna dibelokkan pada tampilan anak didik yang
santun. Itulah sebabnya, banyak lulusan menganggur karena tak memiliki
kompetensi kerja. Atau, mereka terpaksa bekerja pada jenis pekerjaan yang
sesungguhnya tak membutuhkan studi setingkat SMA/SMK. Siluman dalam
pendidikan menghancurkan manusia sekaligus memboroskan dengan merampok uang
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar