Pendidikan
Islam Inklusif
Mahnan Marbawi ; Sekjen
Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia;
Guru PAI di SMPN 280 Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Maret 2015
BEBERAPA hari ini media
lokal di Jombang, Jawa Timur, dan nasional dihebohkan tentang konten kumpulan
lembar kerja peserta didik (KLKPD) SMA kelas XI yang menjelaskan salah satu
paham radikal kelompok tertentu. Jika penjelasan tersebut dipahami secara
parsial, akan mengakibatkan persepsi buku pendidikan agama Islam (PAI)
mengajarkan radikalisme dan kekerasan serta tidak toleran terhadap perbedaan.
Mengerikan sekali jika persepsi itu menjadi persepsi publik. Wajah pendidikan
agama di Indonesia akan terpuruk dan lekat dengan label radikal. Tak pelak
hal itu menarik perhatian menteri agama dan dirjen pendidikan Islam di
Kementerian Agama yang akan dituding bertanggung jawab dalam urusan
pencegahan paham radikal dalam pendidikan agama.Padahal, sumber referensi
KLKPD tersebut diambil dari buku pendidikan agama Islam untuk SMA kelas IX yang
dikeluarkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk).
Terlepas dari itu, tulisan
ini ingin menjelaskan posisi pendidikan agama Islam di Indonesia yang
seharusnya. Tulisan ini juga ingin menjelaskan penting dan strategisnya
posisi guru dan posisi buku ajar sebagai aspek penunjang dalam proses
pembelajaran.
Ajaran damai ialah ajaran
yang bersifat universal karena terdapat dalam setiap agama dan semua
peradaban. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama dan semua manusia
berkewajiban untuk selalu membangun budaya damai dalam kehidupannya.
Kehidupan dan budaya damai bukan konsep semata, melainkan membutuhkan praktik
secara bersama dari seluruh lapisan masyarakat. Budaya damai dapat dibangun
melalui proses internalisasi budaya melalui lembaga pendidikan.
Di lembaga pendidikan yang
mempertemukan anak-anak bangsa dari berbagai karakter, tidak saja ditawarkan
pencerahan intelektual, tetapi juga diberikan penguatan kultur kebersamaan
Lembaga pendidikan dalam semua jenjangnya mua jenjangnya merupakan tempat
terbaik untuk resolusi konflik yang efektif karena mereka dimungkinkan dalam
jangka waktu lama mengalami, membicarakan, merefleksikan dan--dengan
bimbingan guru-mengelola konflik (Tambunan,
2008).
Sekolah sebagai lembaga
pendidikan menjadi penting dalam mengajarkan dan menanamkan sebuah sikap yang
berkarakter melalui sebuah sistem pembudayaan. Pokok penting dalam menanamkan
karakter tersebut ialah melalui berbagai mata pelajaran yang dipelajari di
sekolah, termasuk pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam sangat mengedepankan
prinsip-prinsip humanisme. Prinsip tersebut memandang manusia memiliki
kesamaan asal sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan konsep humanisme itu,
pendidikan dalam Islam menekankan sekaligus mengembangkan sikap simpati dan
empati, persaudaraan dan toleransi, serta nilai humanisme lainnya (Abudin Nata dkk, 2015).
Sikap tasamuh atau toleransi
ialah sebuah sikap yang menghormati perbedaan dan tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain. Sikap toleran dalam Islam mengharuskan sikap lemah lembut,
santun, dan memaafkan.Penghargaan terhadap perbedaan agama, budaya, bedaan
agama, budaya, suku adalah keharus an sebagai bagian dari
sunatullah.Prinsip-prinsip itu terbaca dalam kompetensi yang harus dipelajari
siswa (baca : kurikulum). Ada kompetensi yang menguatkan faktor akidah,
akhlak, muamalah, dan ubudiah. Secara spesifik, kompetensi dalam PAI ada yang
menjelaskan tasamuh atau sikap toleran. Inilah posisi pendidikan agama Islam
di Indonesia yang secara jelas dan tegas ingin memerangi paham radikal dan mengajarkan
pendidikan agama yang inklusif.
Meski demikian, sebaik apa
pun rumusan kompetensi atau kurikulum yang diinginkan, itu akan sangat
bergantung kepada guru sebagai penyampai pesan dari muatan kurikulum
tersebut. Kemampuan guru memahami konten kurikulum, penguasaan metodologi
pembelajaran, dan terutama kemampuan dalam menanamkan nilai melalui mata
pelajaran yang diampunya sangatlah penting. Daya semai guru dalam menanamkan
nilai kepada peserta didik merupa kan kunci utama keber hasilan sebuah pendidikan.Dalam
ungkapan pesantren dikenal istilah, `Ath-Thariiqatu
ahammu minal maddah..wal ustadzu ihammu minal-tthariqah..wa ruuhu ustadz
ahammu.' Artinya, metode itu lebih penting daripada materi dan guru lebih
penting daripada metode, tapi yang paling penting ialah jiwa pengajar itu
sendiri.
Dalam konteks ini guru PAI
menekankan pendidikan agama yang mengajarkan paham yang inklusif, moderat,
toleran, menghargai perbedaan, dan antikekerasan dalam proses pembelajaran
dan pembudayaan di lingkungan sekolah. Tidak ada niat sedikit pun dari GPAI
yang ada di Indonesia ingin menyebarkan paham radikal. Bahwa ada fakta
beberapa guru yang berpaham radikal dan mengajarkannya kepada siswa, inilah
yang menjadi tantangan bersama.
Yang ketiga ialah soal
buku ajar pendidikan agama Islam. Semua mata pelajaran pasti memiliki bahan
ajar dan buku ajar. Apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Puskurbuk
ialah menyediakan konten kurikulum dan menyiapkan buku ajarnya. Munculnya
buku tersebut lebih disebabkan Puskurbuk langsung menerbitkan tanpa meminta
pihak terkait seperti Kementerian Agama dan pakar independen untuk melakukan
penelaahan tuntas terhadap substansi sehingga konten yang ada pada buku kelas
XI tersebut lolos walaupun mungkin secara akademis tidak salah atau sesuai dengan
struktur keilmuan yang bermaksud membeberkan semua paham yang muncul di abad
modern ini.
Meski demikian, ketika
membaca bab tersebut dan menemukan tulisan tentang ajaran yang dianggap
radikal, masyarakat akan menilai buku tersebut berpaham radikal. Di sinilah
butuhnya kehati-hatian dari semua pihak. Tentu kita tak menginginkan wajah
Islam Indonesia sekarang dan di masa depan identik dengan kekerasan dan
intoleransi yang jauh dari nilai-nilai kasih sayang yang disemaikan Nabi
Muhammad, sang pembawa kedamaian.
Wa
Allahu alam bi al shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar