Refleksi
Strategi Lee Kuan Yew
Dinna Wisnu ; Co-founder
dan Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KOMPAS,
24 Maret 2015
Ada
benang merah dalam tiap ulasan tentang mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew
dari Singapura yang baru saja berpulang: Ia adalah negarawan berbakat dengan
kemampuan politik yang andal. Karismanya bahkan diteliti melalui penelusuran
substansi pidato-pidato yang dia sampaikan (Tan & Wee, 2002).
Dalam
penelusuran pidato-pidato Lee menjelang hari kemerdekaan, ia selalu memilih
istilah yang memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan yang harus
dihadapi Singapura sebagai suatu negara. Ia gambarkan visi dan langkah yang
ia usulkan dengan mengangkat sejarah yang mempersatukan Singapura dan ia
angkat rasa percaya diri masyarakat sehingga rasa percayalah yang tumbuh
dalam hati dan pikiran warga negaranya.
Kalau
karisma adalah suatu bakat dan kepercayaan politik sebagai peluang, Lee tidak
menganggap hal tersebut keniscayaan. Sebaliknya, setiap kali ada kesempatan,
ia selalu menciptakan gairah baru yang menipiskan rasa ragu-ragu untuk
memercayakan tampuk kepemimpinan negeri singa itu kepadanya dan orang-orang
yang dipilih olehnya, termasuk kemudian anaknya, sekarang Perdana Menteri Lee
Hsien Loong dan menantunya, Ho Ching.
Mengintervensi privat
Sebagai
tokoh dan bapak bangsa, Lee bukannya tidak menimbulkan kontroversi. Contoh
yang paling sering diangkat oleh warga negara biasa di Singapura adalah bahwa
Lee menciptakan dan merawat sistem tata kelola pemerintahan yang mengintervensi
kehidupan privat para warga negaranya.
Lee
menjawab dalam pidato hari kemerdekaan tahun 1986: "Saya kerap dituding mencampuri urusan rumah tangga warga
negara. Ya, kalau saya tidak melakukan hal itu, kita tidak mungkin sampai
pada titik ini. Dan saya katakan ini tanpa penyesalan setitik pun.. Kami
memang telah mengintervensi hal-hal paling pribadi dalam hidup Anda-siapa
tetanggamu, bagaimana Anda hidup, suara apa yang Anda buat, bagaimana Anda
meludah, atau bahasa apa yang Anda gunakan. Kami telah memutuskan hal yang
benar; terserah apa kata orang."
Dengan
paham "terserah apa kata orang" pula, Lee tidak gamang menjalankan Operation Cold Store tahun 1963,
ketika ia menangkapi dan menahan lebih dari 111 aktivis sayap kiri. Sikap
pragmatisnya diungkapkan dengan pernyataan, "Apabila sayap kiri menang, kita tahu apa yang akan terjadi.
Tetapi, apabila kita yang menang, mereka akan hidup tenang dengan roti dan
telur di penjara."
Lee
juga tidak gamang dalam menentang kebebasan pers dan media massa, mengampanyekan
sterilisasi perempuan setelah melahirkan anak kedua tahun 1970-an, dan tahun
2000-an membangkitkan kesadaran yang sebaliknya: tentang pentingnya perempuan
berpendidikan yang mampu secara ekonomi untuk bersedia melahirkan anak
ketiga, keempat atau kelima, menyita lahan demi kepentingan pembangunan,
membuat pengadilan keluarga supaya orangtua bisa menuntut anak yang
menelantarkannya, dan sebagainya.
Memang,
yang unik dari Lee adalah ia tergolong personal juga sebagai pemimpin. Ia all
out dalam menuangkan ide dan menggerakkan jejaring, kemampuan politik serta
diplomasi untuk mencapai tatanan masyarakat Singapura yang ideal dalam
benaknya.
Tanggung
jawab merespons kebijakan negara dijawab langsung olehnya. Secara tidak
langsung, kita bagai melihat sebuah kerajaan dalam tatanan modern. Selain
itu, Sang Raja meraih kepercayaan karena "merawat" kehidupan
warganya.
Aktif menginspirasi
Bahkan,
ketika ia menyerahkan takhtanya kepada Goh Chok Tong tahun 1990, ia tetap
aktif menginspirasi kebijakan publik di Singapura. Misalnya, Lee mendorong
terbentuknya perbaikan sistem pendidikan, bahkan mengembangkan ide-ide secara
konsisten di bidang kebijakan publik, mendorong warganya untuk bersekolah
sampai perguruan tinggi, bahkan di bidang-bidang yang ia identifikasi sebagai
cutting edge yang akan menyejahterakan Singapura (misalnya bidang insinyur
atau teknik informatika), menciptakan sistem jaminan sosial yang digerakkan
sendiri oleh dana yang dikumpulkan pekerja dan majikannya, dan sebagainya.
Kehidupan
di Singapura dibuat sangat teratur, terprediksi, dan serba terdaftar. Nyaris
tak ada data pribadi seseorang, termasuk aset pribadi yang tidak terdeteksi
oleh negara. Itu sebabnya, warga yang aktif berpolitik kerap waspada pada
kemungkinan asetnya dibekukan atau disita karena dianggap subversif. Di sisi
lain, fasilitas publik dibuat sangat bersih, tertata, dan dengan standar mutu
tinggi sehingga tak ada keraguan akan kenyamanan konsumen ketika memutuskan
untuk berbisnis dengan Singapura; transaction cost diminimalkan dan
kepastiannya dijamin. Warga dibuat bangga menikmati fasilitas publik yang
ada.
Itu
sebabnya, kepergian Lee Kuan Yew hampir dipastikan tidak akan mengubah tata
kelola pemerintahan di Singapura. Lee telah berhasil menciptakan habitus baru
yang dianggap sebagai modal penting bagi Singapura untuk bersaing dalam
ekonomi pasar global. Kritik terhadap sistem politik yang dianggap tidak
demokratis pun tidak akan serta-merta menggoyangkan praktik yang ada karena
kelompok-kelompok kepentingan yang ada juga khawatir akan risiko ekonomi yang
harus ditanggung.
Politik internasional
Meskipun
Singapura adalah city-state, negara yang dari segi luas wilayah maupun
besaran penduduk terbilang mungil, berkat Lee pendapat Singapura termasuk
yang didengar di kawasan Asia Tenggara pada khususnya maupun Asia pada
umumnya. Lee dalam hubungan internasional dikenal selalu mengedepankan
pentingnya menjamin stabilitas politik dan perdamaian. Ia selalu
mengantisipasi potensi konflik dengan upaya meredam dan mencegah kompetisi
kekuatan yang diperkirakan mengganggu tatanan stabilitas yang sudah ada.
Dalam
kegiatannya tersebut, kita perlu melihat Lee sebagai bebas dari dikotomi atau
politik kiri-kanan, sosialis atau kapitalis, liberal atau konservatif, karena
Lee adalah produk sejarah yang terbangun seiring dengan perjalanan sejarah
negara Singapura.
Dalam
politik luar negeri, Lee dapat dikatakan sebagai seorang realis dan pragmatis
(Durdin, 1974). Ia adalah seorang realis dalam melihat konstelasi atau
kompetisi kekuatan politik negara-negara yang ada di sekelilingnya dan
pragmatis dalam menelurkan kebijakan yang merespons hal tersebut.
Contohnya
adalah permintaan Lee kepada Amerika Serikat untuk hadir di kawasan Asia
Tenggara pada tahun 1970-an. Hal itu berlangsung bukan karena loyalitas
ideologi atau ketakutan yang berlebih, bahwa beberapa negara seperti Vietnam,
Kamboja, dan Laos adalah negara-negara yang dekat atau mudah dipengaruhi oleh
politik luar negeri Tiongkok. Pertimbangannya lebih ke bagaimana supaya tidak
timbul kekacauan yang dapat membuat negaranya menjadi tidak stabil.
Hal
itu dikukuhkan dengan izin Lee bagi Bank
of Peking beroperasi di Singapura karena banyak warga Singapura keturunan
Tiongkok yang mengirimkan remitansi dari Singapura ke Tiongkok, meskipun nominal
dibatasi dan bank tersebut dilarang melakukan propaganda politik.
Bagi
Indonesia, pilihan politik Singapura di bawah Lee dan inspirasi Lee menjadi
menguntungkan. Pertama, untuk mendorong skema kerja sama kawasan, dan kedua,
untuk menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Tak
heran apabila Lee termasuk yang sangat akrab dengan Presiden Soeharto.
Keduanya punya impian serupa: keteraturan dan stabilitas yang mendorong
tercapainya kemakmuran.
Lee
Kuan Yew adalah generasi politisi di ASEAN yang mendambakan ruang lebih luas
bagi negara Asia Tenggara untuk diperhitungkan di kancah politik global.
Kepentingan Lee di masa-masa awal ASEAN terbilang cocok dengan kebutuhan
negara-negara ASEAN pada masa itu.
Perekonomian terbuka
Namun,
sekali lagi, posisi Lee sebenarnya sangat strategis sekaligus pragmatis,
yakni bahwa negara kecil seperti Singapura hanya bisa diuntungkan apabila
perekonomiannya terbuka, terintegrasi dengan perekonomian global, tetapi
negara-negara di kawasannya tumbuh pesat dan mengandalkan Singapura juga
sebagai hub. Karena alasan itu pula Singapura terbilang cukup agresif
membangun kemitraan dengan negara-negara lain agar mau berinvestasi ke
Singapura, bahkan dengan membawa serta nama ASEAN dalam skema-skema kerja
sama tersebut.
Bagi
Indonesia, Lee Kuan Yew merupakan contoh pemimpin negara yang luar biasa
dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, kita juga perlu sadar
bahwa pilihan politik Lee punya konsekuensi juga. Yang dilakukan Lee mustahil
diadopsi secara mentah-mentah di Indonesia. Karakter masyarakatnya berbeda,
demikian pula dengan sejarah dan tatanan politiknya.
Yang
menarik adalah bahwa pemimpin di Singapura berhasil menggalang kesadaran yang
diterima luas di Singapura bahwa untuk negara kecil seperti Singapura, negara
mereka akan gagal apabila penduduknya "salah urus" sehingga
terjerat kemiskinan, kebodohan, dan korupsi; karena instan saja perekonomian
mereka akan langsung terpuruk dan redup daya tariknya. Hal ini yang sejauh
ini justru dihindari oleh elite politik di Indonesia.
Kita
patut sadar bahwa Singapura berhasil secara ekonomi karena masyarakatnya
dikondisikan untuk terampil, terdidik, dan makmur. Sistem pelayanan publik
dibuat lebih menarik bagi para lulusan dengan prestasi terbaik. Gaji pegawai
negeri pun dibuat kompetitif dengan mereka yang bekerja di sektor swasta.
Di
masa pemerintahan Lee Kuan Yew, investigasi korupsi dapat dimulai dari rumor
semata. Hal ini untuk melarang para pegawai negeri mengadakan pertemuan
dengan pihak-pihak yang diduga berpotensi melakukan penyuapan atau
memengaruhi kebijakan pemerintahan. Indonesia pun patut menggalang dukungan
masyarakat lewat sistem politik dan kesejahteraan yang konsisten, karena hal
itulah yang membuat Singapura sukses berkembang di "era Asia".
Selamat jalan, Lee Kuan
Yew. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar