Buah
dari Sistem Menyimpang
Bambang Kesowo ; Mantan Menteri Sekretaris
Negara/Sekretaris Kabinet
|
KOMPAS,
20 Maret 2015
Bahwa
sistem pemerintahan presidensial memberikan posisi presiden sebagai ”pancer”
dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara, semua orang pastilah
sudah tahu. Presiden adalah kepalanya negara, yang memimpin negara dan
sekaligus pemerintah. Ketika dalam sistem tersebut kemudian dirancang bahwa
dalam melaksanakan kewajibannya presiden harus selalu ”memegang teguh
undang-undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya”, pastilah orang juga masih ingat.
Sebagai
”pancer”, presidenlah pemegang kewenangan penentu politik negara. Penentu
arah dan kebijakan bagi negara dan bagi pemerintah. Sejak tidak ada lagi
garis besar haluan negara, maka pikiran, konsepsi, janji yang diberikan dan
diterima (sebagian besar) rakyat, berikut program kerja dan pembangunan
berikut sasaran yang digariskan presiden dalam memimpin negara dan pemerintah,
menjadi panduan kerja selama masa kepemimpinannya.
Ambivalensi politik
Lekat
pada makna ”pancer” dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara tadi,
sistem presidensial juga membebankan tanggung jawab atas segala hal yang
berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut kepada presiden.
Oleh
karena itu, ketika arahan yang diberikan dalam undang-undang dasar (UUD)
harus dijabarkan dalam undang-undang (UU), ketika kebijakan dan program yang
dikeluarkannya harus dibalut dengan baju yuridis yang bernama UU, ketika tata
kerja dan tata cara dalam penyelenggaraan hubungan antarlembaga negara juga
harus dilangsungkan dalam kerangka sebagaimana diatur dalam UU, semuanya
menjadi aturan main yang harus diikuti dan ditaati. Presiden wajib menjalankan
segala UU tadi dengan selurus-lurusnya. Begitu sumpah yang diucapkannya
menjelang memulai jabatan.
Menteri
dan lain-lain pejabat pemerintah yang diangkatnya adalah pembantu presiden.
Sebagai pembantu, pada dasarnya mereka adalah pelaksana apa yang telah diputuskan
presiden. Menteri boleh saja membuat kebijakan yang sifatnya ”derivat”,
sejauh hal itu diperlukan untuk mengoperasionalkan kebijakan yang ditetapkan
presiden. Karena itu, setiap menemui persoalan yang pangkalnya bersifat pokok
atau prinsip, yang berkenaan dengan kewenangan pemerintahan negara yang
merupakan domain presiden, adalah wajib bagi menteri untuk minta arahan atau
keputusan terlebih dahulu kepada presiden. Masalah bagaimana keputusan itu
diambil, itu soal mekanisme.
Datangnya
dapat saja dari presiden sendiri, dapat juga berasal dari usul para
pembantunya. Prosesnya dapat saja dibahas dalam rapat koordinasi, atau dalam
sidang kabinet, atau rapat terbatas, atau bahkan hasil rembuk dalam pertemuan
presiden. Namun, sejauh bentang hubungan fungsi dan koridor kewenangan antara
presiden dan menteri, demikianlah aturan main dalam sistem presidensial mesti
dimaknai. Mengapa demikian? Adakah pergeseran sekitar makna tadi?
Di
tengah kecamuk berbagai dugaan tentang sebab dan latar belakangnya, harus diakui
bahwa sejak perubahan UUD yang acap dikatakan sebagai ”trofi” reformasi 15
tahun yang lalu, telah pula berlangsung pergeseran makna dan praktik
ketatanegaraan di sekitar sistem presidensial tersebut. Karena perubahan UUD
berlangsung di lembaga politik yang berwenang dan merupakan proses politik,
memang tidak mudah lagi mengelak ketika kian sering terdengar celetukan bahwa
pergeseran yang berkonotasi penyimpangan sesungguhnya telah dimulai.
Dengan
memanfaatkan kerentanan psikologi-politik waktu itu, banyak pandangan,
kepentingan, dan sikap yang mencerminkan ambivalensi politik bagai mendapat
tempat serta mampu memberi warna dalam rentetan empat perubahan UUD.
Keinginan untuk menipiskan kewenangan presiden karena trauma yang dahulu
mendorong lahirnya reformasi berubah menjadi pendulum yang malah menipiskan
konsep dan bahkan operasionalisasi sistem presidensial itu sendiri. Muncul
wacana tentang anomali sistem yang antara lain dibungkus istilah ”quasi
presidensial” atau ”semipresidensial”—ketika orang tidak sampai hati untuk
mengucap ”sistem presidensial dengan aroma parlementer”.
Di
tengah ambivalensi itu pula, momentum perubahan banyak dimanfaatkan tidak
hanya untuk menipiskan kewenangan, tetapi malahan untuk menggeser kewenangan
presiden justru kepada para menteri. Para politisi tahu benar, langkah yang
efektif adalah melalui formulasi dalam UU. Bukankah kewenangan membuat UU,
setelah perubahan UUD, sudah dikukuhkan sebagai domain DPR? Bilamana
ditengok, hampir semua UU setelah reformasi dibuat atau diubah dengan
meletakkan kewenangan di sektor atau bidang pemerintahan tertentu kepada
menteri. Disadari atau tidak, menterilah yang sejak itu berwenang berdasar
UU.
Walau
implikasi politiknya begitu besar, proses penuangannya dalam RUU ketika
disusun dan dibahas tak ubahnya bagai sekadar template. Di tataran UUD,
presidenlah yang dikukuhkan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara.
Presiden pula yang memegang kewenangan dan tanggung jawab. Menteri adalah
pembantunya. Namun, di tataran UU, kewenangan pemerintah(an) di tiap sektor
bidang justru didesain di tangan menteri.
Bagaimana
hal itu harus dicerna dalam mekanisme yang semestinya berlangsung menurut
sistem pemerintahan negara dengan presiden merupakan ”pancer”? Bukankah
presiden yang dalam sumpahnya (Pasal 9 UUD) diwajibkan ”menjalankan segala UU
dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”?
Perbaikan tatanan
Dalam
kerangka sistem presidensial, semua ihwal yang berkenaan dengan
penyelenggaraan pemerintahan negara, presidenlah yang bertanggung jawab. Namun,
ketika dalam UU kemudian dirancang ketentuan bahwa kewenangan dan tanggung
jawab pemerintah dalam pengelolaan, misalnya, pertanahan, air, jalan,
lingkungan, keuangan negara, fiskal, kepartaian atau organisasi massa, berada
di tangan menteri, dan belakangan ketika melaksanakannya menteri dinilai tak
perform dan apalagi salah, tiba-tiba semua ingat menteri hanya pembantu
presiden.
Orang
langsung ingat bahwa dalam sistem UUD, sebenarnya presidenlah yang mesti
diminta bertanggung jawab. Disusun konstruksi pikir, kalaupun sang pembantu
yang bersalah, tetaplah presiden yang harus bertanggung jawab. Ketika
penilaian sampai pada kesimpulan bahwa presiden dengan demikian telah
”menyalahi sumpahnya”, bukan tidak mungkin logika politik tadi menjalar ke
proses politik yang akhirnya berujung pada pemakzulan. Di tengah rakyat
sekarang tersaji buah dari sistem yang menyimpang. Bagaimana presiden
diwajibkan bersikap sebaik-baiknya dan berlaku adil—sebagaimana diamanatkan
UUD—ketika presiden berada dalam kerangka desain dan praktik kenegaraan yang
sesungguhnya tidak adil?
Meski
demikian, satu catatan juga perlu diungkap dalam soal ini. Ada faktor
internal di sekitar posisi presiden yang perlu dicermati, yang sesungguhnya
juga telah memungkinkan lestarinya aroma penyimpangan sistem tadi. Bukankah
selama ini presiden selalu mengesahkan RUU yang mengandung ketentuan serupa
itu hingga menjadi UU? Bila memang disadari dampak penentuan kewenangan tadi,
baik karena kelengahan dalam perancangan maupun karena desain yang dengan
sengaja memang ditumbuhkan, mestinya presiden tidak perlu mengesahkannya.
Walaupun
tidak dikenal dalam prosedur yang lazim, presiden dapat saja meminta DPR
membahas ulang untuk melakukan perbaikan. Langkah terobosan yang akan
merupakan konvensi dalam penyusunan sebuah UU, lebih bermanfaat dibandingkan
menghabiskan waktu dan energi dengan kehebohan politik. Lebih bermanfaat
ketimbang melihat UU berlaku secara otomatis, tetapi mengandung bom waktu
bagi krisis lainnya.
Pembuatan
UU hanya satu di antara sekian banyak titik dalam perubahan UUD, yang desain
tentang soal kewenangannya selama pasca reformasi, sadar atau tanpa sadar,
atau baru sekarang akibatnya menumbuhkan kesadaran, membuahkan keadaan tadi.
Kewenangan pemerintahan di sektor atau bidang apa pun, sejauh itu dalam
domain fungsi dan tanggung jawab presiden, haruslah tetap berada di tangan
presiden. Menteri memang bagian dari pemerintah. Namun, begitu menteri
(begitu pula pejabat pemerintah lainnya) adalah pembantu yang diangkat,
bertanggung jawab kepada dan diberhentikan oleh presiden. Adalah wajar
bilamana penugasan mereka bagi pelaksanaan berikut pemberian kewenangannya
(baik dalam membuat kebijakan operasional maupun membuat keputusan tertentu)
dalam sektor atau bidang tertentu yang diatur dalam UU, juga ditasbihkan
sebagai kewenangan presiden. Kalau runutan pikir tersebut akan dituangkan
dalam (R)UU, hal itu sebaiknya tak menyimpang dari dan tak mengurangi
prinsip-prinsip tadi.
Ekses
dari kewenangan penyelesaian gegeran salah satu partai politik akhir- akhir
ini, memiliki korelasi dengan set-up penentuan kewenangan dalam UU. Bukankah
menteri bergerak sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam UU? Kalau
kewenangan tadi dinilai terlalu prinsipiil, dan semestinya tetap harus berada
di tangan presiden, mengapa hal seperti itu dirancang sebagai kewenangan
menteri dalam UU? Sudah barang tentu, kasus yang belakangan terkait dengan
kewenangan Menteri Hukum dan HAM, adalah contoh yang bisa saja berlaku dalam
kasus tanah, air, lingkungan, dan lain-lainnya.
Bilamana
semuanya berkenan untuk merunduk sejenak dan merenung, dari satu aspek
perumusan kewenangan dalam UU itu saja, salah satu perbaikan keadaan akan
dapat diwujudkan. Bukankah dalam masyarakat modern, semua tatanan tercermin
melalui peraturan perundang-undangan?
Masyarakat
berkepentingan memperjuangkan hak-haknya. Itu jelas, dan harus dijamin.
Begitu pula partai politik, yang merupakan infrastruktur demokrasi yang
penting. Membangun strategi untuk mewujudkan tujuan politik adalah hak partai
yang harus dihormati. Namun, berusaha agar semuanya berlangsung dalam tatanan
yang tepat dan koridor aturan main yang benar, juga jelas menjadi kepentingan
semua untuk mewujudkan dan menjaganya.
Kesejajaran
dalam kerangka sistem UUD, baik dalam ketentuan dan semangatnya, perlu terus
dijaga bersama. Semuanya maklum, penyimpangan dalam sistem, sering berakibat
lebih buruk dari sekadar penyimpangan dalam pelaksanaan. Karena itu,
penyimpangan sistem sebaiknya dicegah demi menjaga timbulnya masalah yang
ujung-ujungnya mendatangkan kerugian bersama, dan sebenarnya tidak perlu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar