Hujan yang Baik Hati
V Kirjito ; Rohaniwan, Tinggal di Desa Jagalan, Muntilan
|
KOMPAS,
31 Maret 2015
Tulisan ini
muncul dari perjumpaan dengan masyarakat lereng Merapi Timur, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah, 500 meter di atas permukaan laut. Selama ratusan tahun,
mereka hidup dari air hujan untuk masak, minum, mandi, mencuci, dan
memelihara ternak sapi. Namun, rasa rendah diri membuat mereka harus
berbohong kepada tamu mahasiswa di desa itu. Ketika mahasiswa bertanya apakah
teh yang disajikan berasal dari air hujan, tuan rumah menjawab, ”Bukan, untuk
minum beli air galon.” Keadaan seperti itu tidak layak dibiarkan. Bukankah
ini sebentuk peminggiran budaya?
Ada juga
pengalaman hebat berkait dengan hujan. Di lereng Merapi Barat, Kecamatan
Dukun, Kabupaten Magelang. Pada 3 November 2010 Merapi erupsi besar. Awan
panas hitam bergulung-gulung ke arah barat. Namun, hujan deras datang dan
awan panas larut dalam air.
Baru kali ini
ada air hujan keruh sekali. Bayangkan, betapa gelapnya jika abu tebal itu
tidak disapu hujan. Betapa sesaknya bernapas mengirup butiran-butiran abu dan
pasir Merapi.
Dalam bahasa
ilmu pengetahuan, air hujan menetralisasi udara yang tercemar abu letusan
Merapi. Muncullah ungkapan masyarakat, ”hujan itu baik hati”. Generasi ilmiah
menggunakan kata yang keren, Rain Plus.
Hujan yang baik
Kita tahu
sekali datang hujan, turun air jutaan liter jumlahnya. Timbul pertanyaan,
apakah masalah yang kita hadapi semata-mata karena sebagian air hujan
sekarang bersifat asam, atau karena jumlahnya yang terlalu banyak dan
serentak dalam waktu relatif singkat?
Jika hujan
cuma rintik-rintik, tentu tidak akan menimbulkan masalah. Bahkan jika tiap
hari hujan rintik-rintik, udara menjadi segar, tidak panas, oksigen dan ion
negatif berlimpah.
Celakanya
belum ada teknologi yang bisa mengatur besarnya curah hujan, kapan,berapa
lama, dan di mana. Mau tidak mau kita pasrah menerima hujan. Akan menjadi
lebih baik lagi bila kita bersikap arif sehingga kita layak menyebutnyaRain
Plus.
Mudah-mudahan
kita maumembiasakan peka rasa saat waktu hujan datang. Pasti udara terasa
dingin dan segar. Tubuh pun terasa lebih sehat. Ini karena polusi udara
disapu bersih oleh hujan, tepatnya dinetralkan.
Maka, menjadi
terang mengapa hujan menit-menit awal, jika diukur jumlah mineral terlarut
menggunakan TDSmeter (Todal Dissolved
Solid) angkanya bisa mencapai 20-30 miligram/liter parts per million
(ppm). Tetapi, waktu-waktu selanjutnya angka TDS akan turun. Jika hujan
sangat deras disertai petir dan durasinya lama, TDS bisa nol ppm, alias air
murni atau H2O. Diukur keasamannya dengan derajat keasaman (pH) tester, di
atas angka 7. Bukankah itu air sangat jernih, bahkan melebihi kaca bening!
Lalu apa
peran air hujan di darat? Sebelum sampai ke jawaban, kita tahu Indonesia
punya begitu banyak sampah, bahkan di selokan dan sungai. Bahkan, lagu
dolanan anak-anak di Jawa pun menyuruh membuang anjing mati di kali.
Jelaslah
bahwa sadar tidak sadar, masyarakat mempunyai pandangan bahwa sungai itu
tempat membuang sampah. Memang di sungai besar, seperti Sungai Progo atau
Bengawan Solo, bangkai anjing atau sampah bisa segera hanyut dan terurai,
akhirnya menjadi mineral yang menyuburkan tanah-tanah di kiri kanan sungai. Namun,
kenyataannya sampah dibuang di semua tempat yang mengalirkan air.
Perlulah
disebut kasus Kota Jakarta dan kota-kota lain yang rutin menjadi langganan
banjir. Sementara kemampuan air hujan menetralkan racun di darat juga
terbatas. Yang bisa terurai oleh air hujan mungkin terlarut sampai kedalaman
tanah 10-20 meter. Yang tidak terurai tetap menjadi sampah bermasalah.
Air tanah
Masalahnya
masyarakat umum beranggapan bahwa air di dalam tanah itu lebih bersih dari
pada air hujan. Padahal, bukankah di tanah terlarut segala racun dan kotoran
sampah baik yang ada di darat maupun dari udara ketika hujan datang.
Ada benarnya
bahwa air tanah pada kedalaman 10-20 meter tercemar. Buktikan saja dengan TDS
meter, sulit menjumpai air tanah yang angkanya di bawah 50 mg/l. Padahal,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mematok standar air layak konsumsi maksimal
50 mg/l. Bandingkan dengan air hujan yang hanya 20-30 mg/l!
Demi membela
masyarakat yang sepanjang tahun menggunakan air hujan, kami meneliti
masyarakat Bunder-Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten
Klaten.
Senjatanya
cuma dua tester, yaitu TDS dan pH. Ditambah satu alat buatan sendiri, yaitu
bejana elektrolisis air yang sudah diajarkan di SMP dan SMA.
Apa yang
kemudian membuka mata warga desa itu? Ternyata air hujan adalah air yang
rendah mineral. Dari hujan ke hujan, dari bak yang satu ke bak yang lain,
bahkan air hujan yang ditampung dalam kedung, tidak ada yang kandungan
mineralnya melebih standar WHO, 50 ppm, meskipun warna air coklat atau hijau
berlumut. Bahkan, tidak ditemukan air hujan yang asam, baik yang sudah
disimpan dalam bak maupun dalam botol tertutup. Semua pH-nya 8 lebih. Malah
ada air dalam bak tandon ber-pH 10.
Dari data
itu, warga pun menjadi lebih tahu bahwa air hujan memenuhi standar WHO
sebagai sumber air bersih dan layak konsumsi. Warga tidak perlu lagi merasa
rendah diri, malah sebaliknya bangga pada air hujan sebagai sumber air paling
bersih. Soal bakteri jika ada, cukup dimasak hingga mendidih. Namun, air
hujan sebenarnya tidak disukai bakteri karena bersih, murni, dan rendah
mineral.
Selanjutnya
masyarakat kami ajak belajar ”mengionisasi” dengan ilmu elektrolisis. Cukup
menggunakan dua bejana berhubungan buatan sendiri, kemudian dialiri listrik
searah atau DC. Maka, molekul air diurai menjadi ion bermuatan negatif yang
bersifat basa (OH-) dan ion bermuatan positif yang bersifat asam (OH+).
Air basa
Apa yang
terjadi dengan percobaan ionisasi didiskusikan. Termasuk mencoba meminumnya,
terutama yang basa, karena sangat jernih. Tidak hanya enak di lidah, air basa
ini membuat masyarakat merasa lebih sehat dan stamina meningkat. Bahkan
keringat, urine, tinja, dan mulut menjadi tidak berbau. Berarti sisa-sisa
metabolisme tubuh tidak sampai membusuk di dalam tubuh sudah dikeluarkan.
Pada
akhirnya, ajaran ibu guru di sekolah dasar dulu, yaitu ”kebersihan pangkal
kesehatan” sungguh bisa dibuktikan. Gurau warga pun berkembang. Tidak hanya
tubuh manusia yang harus bersih. Negara ini juga perlu dibersihkan dari
”sampah-sampah” budaya yang tidak jujur, korupsi, dan anggaran siluman, agar
negara sehat. Itulah sebabnya mereka mendirikan KPK, Komunitas Pemberantas
Kotoran, menggunakan Rain Plus itu.
Selanjutnya,
kami mengajak pembaca yang ingin tahu lebih jauh untuk hadir di Bentara Budaya
Jakarta, Jalan Palmerah Selatan, Selasa (31/3) sampai Kamis (2/4). Kami
membuat acara dengan topik ”Displai Titik Balik Budaya Air Hujan”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar