Dua Sayap Dua Muktamar
Hajriyanto Y Thohari ;
Wakil
Ketua MPR RI 2009-2014
|
KOMPAS,
30 Maret 2015
Dua organisasi massa besar dan tua, kalau
bukannya yang terbesar dan tertua, Muhammadiyah (lahir 1912: 103 tahun) dan
Nahdlatul Ulama (lahir 1926: 89 tahun), akan menggelar muktamar pada 2015.
Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) akan
berlangsung 16-21 Syawal 1436 H (1-5 Agustus 2015) di Jombang, sementara
Muktamar Ke-47 Muhammadiyah berlangsung 18-22 Syawal 1436 H (3-7 Agustus
2015) di Makassar. Usia keduanya sama, besarannya nyaris sama, keduanya
bermuktamar pada tahun yang sama, bulan yang sama, dan tanggal yang juga
nyaris sama. Ini sebuah truisme belaka: takdir sejarah yang insya Allah
membawa berkah.
Tema muktamar keduanya juga nyaris sama: NU
”Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”,
Muhammadiyah ”Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”. Sebuah
kemiripan yang juga truisme belaka: menggambarkan wilayah kepedulian yang
mengatasi dan melintasi golongan, suku, etnis, dan agama. Kepedulian yang
sudah pada level kebangsaan dan kemanusiaan universal.
Umat Islam, pemerintah, media, dan bangsa
Indonesia menyambut antusiasme muktamar akbar ini. Apalagi mereka yang
menyadari betapa besar peran kedua ormas ini dalam pendirian Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila ini. Sebagai arus utama
(mainstream) Islam Indonesia, pendiriannya bahwa NKRI merupakan bentuk final
dari cita-cita bernegara bukan hanya memberikan jaminan tetap tegaknya
Pancasila, melainkan juga menenteramkan semua pihak. Ini saja sudah merupakan
sumbangsih kaum nahdliyin dan muhammadiyin yang tiada ternilai harganya.
Dengan kematangan dalam berislam yang moderat dan
toleran, serta pandangan kenegaraannya yang nasionalis dan patriotis,
keduanya menjadi jangkar utama bangsa yang majemuk ini. Para pemimpin
keduanya boleh datang dan pergi secara silih berganti, tetapi mereka selalu
merupakan tokoh-tokoh bangsa yang mengutamakan negara di atas golongan.
Sungguh tak terbayangkan bagaimana wajah Islam Indonesia jika bangsa ini tak
memiliki NU dan Muhammadiyah. Meski mungkin saja tetap ditakdirkan menjadi
negara yang mayoritas Muslim, besar kemungkinan Indonesia secara ideologi dan
politik akan berkembang menjadi seperti yang terjadi di beberapa negara lain
yang kaotik dan konfliktual.
Memang harus diakui masih ada persoalan
mengenai hubungan antara Islam dan negara, tetapi berkat kedua gerakan Islam
moderat dan nasionalistis ini, persoalan tersebut dapat dikelola secara lebih
dingin dan tenang, jauh dari pergolakan.
Laksana dua sayap
Sebagai kekuatan masyarakat madani,
Muhammadiyah dan NU juga merupakan tulang punggung proses demokratisasi
Indonesia. Dalam konteks ini, negara harus menahan diri untuk tidak menarik (absorb) keduanya ke dalam negara.
Keduanya harus dipertahankan seperti sekarang ini, sebagai reservasi sosial
politik (socio-political reservoir)
yang terus memosisikan dirinya sebagai perantara (broker) antara negara dan masyarakat. Negara jangan terlalu kuat
di hadapan rakyat yang lemah, dan rakyat jangan terlalu kuat di hadapan
negara yang lemah. Negara yang terlalu kuat akan cenderung otoriter dan
totaliter, sementara rakyat yang terlalu kuat di hadapan negara yang lemah
akan menjerembabkan anarkisme.
Maka, tidak berlebihan kalau mendiang
Nurcholish Madjid mengibaratkan jika umat Islam Indonesia, bahkan Indonesia
itu sendiri, seekor burung garuda, maka Muhammadiyah dan NU adalah kedua
sayapnya.
Tatkala keduanya mengepak secara kompak, umat
dan bangsa ini akan dibawanya terbang membelah angkasa menerjang badai
menggapai cita-cita nasional, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selama satu abad, Muhammadiyah dan NU dengan
setia mengawal perjalanan bangsa mencapai tujuan nasional sebagaimana yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Pasalnya, tujuan tersebut sejatinya
berimpitan secara organis dengan tujuan keduanya sejak didirikan oleh KH
Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yaitu ”menegakkan kalimah Allah” (li i’lai kalimatillah hiya l-’ulya)
demi mewujudkan ”kejayaan Islam dan umat Islam” (izzu ’l-Islam wa ’l-muslimin) sebagai ”kasih sayang bagi seluruh
alam” (rahmatan li ’l-’alamien)
tanpa membedakan suku, etnis, dan agama.
Luar biasa mulia, luar biasa berat. Bagi
keduanya, apa yang disebut umat, rakyat, penduduk, atau warga negara, pada
hakikatnya merupakan entitas yang identik dan sama: bangsa Indonesia.
Tak versus, tak ”vis a
vis”
Saya optimistis terhadap masa depan relasi
kedua gerakan Islam ini. Memang, dalam beberapa hal ada perbedaan pemahaman
dalam berislam di antara keduanya, tetapi tidak ada sikap penyesatan
teologis, apalagi permusuhan di sana. Sebab, keduanya memahami betul mengapa
perbedaan itu terjadi.
Para ulama di kedua ormas ini menguasai betul
manhaj, mazhab, dan konvensi keilmuan dalam memahami ajaran Islam secara utuh
dan komprehensif. Maka, perbedaan yang terjadi sangatlah dewasa dan matang
yang alih-alih memecah belah umat, malah memperkaya khazanah dan mosaik Islam
Indonesia.
Saya tidak yakin ada orang NU yang anti Muhammadiyah,
sebagaimana tidak ada orang Muhammadiyah yang anti NU. Jika dulu orang dengan
simplistis menyimpulkan selalu ada sindrom NU versus Muhammadiyah, atau
Muhammadiyah vis a vis NU, dalam berbagai lapangan kehidupan, kini nuansa
seperti itu tidak ada lagi.
Apalagi dari rahim kedua ormas ini bermunculan
banyak aktivis muda penggiat gerakan toleransi dan pluralisme garda depan
sekaligus menjadi tulang punggung dari kekuatan anti sektarianisme dan
intoleransi yang gigih. Maka, sangatlah absurd kalau di antara kedua ormas
itu sendiri ada sikap saling mengeluarkan.
Pun lapangan kepedulian dan pengabdian
keduanya tidak lagi berbeda. Muhammadiyah, yang dulu memelopori pendidikan
klasikal dan modern, kini juga menggarap pendidikan pesantren. NU, yang dulu
diidentikkan dengan pesantren, kini mendirikan universitas-universitas besar
di hampir seluruh kota.
Dalam satu dekade ke depan kita akan
menyaksikan puluhan atau ratusan universitas besar yang didedikasikan oleh
keduanya untuk bangsa. ’Ala kulli hal, besar harapan bangsa diletakkan di
pundak kedua sayap keindonesiaan ini. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar