Laut China Selatan, Tian Xia, dan Indonesia
Novi Basuki ; Researcher pada Research School of Southeast
Asian Studies,
Xiamen University, Tiongkok
|
JAWA
POS, 27 Maret 2015
MENARIK menyimak komentar Presiden Indonesia
Joko ’’Jokowi’’ Widodo saat kunjungan kenegaraan ke Jepang terkait dengan
permasalahan Laut China Selatan (LCS) menjelang lawatan resminya ke Tiongkok,
25–28 Maret. Sebagaimana dilaporkan surat kabar Negeri Sakura Yomiuri Shimbun
yang dilansir kantor berita Reuters Senin (23/3), Jokowi menyatakan, sembilan
garis putus-putus (nine-dash line) ’’tidak memiliki dasar dalam hukum
internasional mana pun’’. Karena itu, demi menjaga stabilitas politik dan
keamanan untuk mempermulus pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik, Indonesia
’’mendukung code of conduct (CoC)
serta dialog antara Tiongkok, Jepang, dan ASEAN’’.
Ini merupakan kali pertama –sejak dilantik
sebagai presiden Indonesia pada Oktober tahun lalu– mantan gubernur Jakarta
tersebut mengemukakan pendapatnya ihwal perkara di LCS. Sekalipun,
sebagaimana diakui Direktur Eksekutif CSIS Rizal Sukma, pernyataan Jokowi itu
tidak berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mengirimkan sikap
resmi pemerintahannya mengenai persoalan tersebut kepada Komisi Batas Landas
Kontinental (CLCS) PBB.
Terkungkung Tian Xia
Kita tahu, dengan sembilan garis putus-putus
di petanya, Tiongkok mengklaim sekitar 90 persen LCS yang ditaksir mengandung
cadangan minyak hingga 213 miliar barel dan 2 kuadriliun kubik gas alam
sebagai miliknya. Tuntutan itu berdasar pada catatan-catatan sejarah perihal
Nanhai –sebutan LCS dalam bahasa Tionghoa– selama ribuan warsa silam.
Namun, historiografi Tiongkok klasik tidak
bisa dilepaskan dari weltanschauung
yang dianutnya: tian xia, di bawah
langit. Konsep tersebut mengajarkan bahwa ’’di
bawah langit tidak ada yang bukan tanah kaisar; siapa yang menggarap tanah,
tidak satu pun yang bukan rakyat kaisar’’: pu tian zhi xia, mo fei wang tu; shuai tu zhi bin, mo fei wang chen.
Dalam pengertian gamblang, setelah menerima
mandat dari langit (tian), kaisar (wang) Tiongkok berhak menjadi penguasa
tunggal atas setiap tanah/wilayah (tu) di dunia ini –atau setidaknya daerah
di luar Tiongkok harus tunduk pada kedigdayaan kaisar sebagai orang nomor
satu di Negara Suzerain dalam lingkaran konsentris Sistem Upeti (Chaogong
Tixi) yang diterapkannya sejak 300 SM dengan status Negara Vasal.
Martin Jacques dalam bukunya, When China Rules the World: The End of the
Western World and the Birth of a New Global Order (2009), mengingatkan,
walaupun tenggelam karena kebangkitan negara Barat (dan Jepang) –yang
kemudian menjadi kekuatan dominan di kawasan–, Sistem Upeti dengan mekanisme
Suzerain-Vasal yang dipakai Tiongkok tidak pernah lenyap sebagai cara pandang
Tiongkok terhadap dunia dan negara-negara di sekitarnya sampai sekarang.
Karena itu, tidak mengherankan jika dalam
setiap sengketa kedaulatan, Tiongkok senantiasa berargumen dengan kata-kata ’’zi gu yilai jiushi Zhongguo de guyou
lingtu’’ (sejak dahulu kala, area tersebut adalah teritorial inheren
Tiongkok). Walakin, Sistem Upeti yang turut kolaps selepas runtuhnya Dinasti
Qing karena Revolusi 1911, menurut Zhuang Guotu, pakar Asia Tenggara yang
merupakan supervisor penulis di Xiamen University, hanyalah ’’fatamorgana
untuk memuaskan subjektivitas penguasa belaka’’.
Selesaikan CoC
Hubungan normal Tiongkok dengan dunia luar,
berdasar sinolog dari Universitas Nasional Singapura Zheng Yongnian, telah
melewati dua fase. Pertama, fase keterbukaan yang ditandai dibukanya ’’tirai
bambu’’ selebar-lebarnya untuk meraup investasi asing. Kedua, fase
penyesuaian dengan tatanan dunia yang dipimpin Amerika –ditandai
keikutsertaan Tiongkok dalam WTO.
Kemudian, seiring dengan terus membesarnya
kekuatan komprehensif Tiongkok, mereka perlahan memasuki fase berikutnya
melalui penyediaan tatanan global alternatif guna memperjuangkan kepentingan
nasionalnya. Pada tahap ini, kala terjadi benturan kepentingan, Tiongkok
tidak akan serta-merta memberikan konsesi kepada pihak lain. Kita dapat
menyaksikannya pada problem LCS.
Kondisi demikian mendorong kita untuk menguak
proses pembuatan kebijakan luar negeri Tiongkok dengan pendekatan –meminjam
istilah guru besar Harvard University Graham T. Allison– ’’bureaucratic politics’’. Sebab, sebuah kebijakan luar negeri
Tiongkok bukan hasil kerja satu orang atau satu departemen saja, melainkan
beragam aktor yang masing-masing memasukkan kepentingan sektoralnya di sana.
Karena itu, sulit untuk menyatakan cuma ada
satu kebijakan luar negeri Tiongkok yang utuh dan bulat. Misalnya, Kemenlu
Tiongkok selalu menegaskan akan berlaku kooperatif untuk tidak bertindak
provokatif yang bisa memperkeruh situasi di LCS. Tetapi, baru-baru ini,
Tiongkok malah membangun pulau buatan –lengkap dengan fasilitas yang
menyerupai pangkalan militer– di atas terumbu karang Kepulauan Spratly.
Bagi Indonesia, hal itu jelas mengkhawatirkan.
Pasalnya, perubahan struktur lansekap geografi LCS secara unilateral yang
dilakoni Tiongkok tersebut akan tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di
Kepulauan Natuna –sehingga akan menyeret kita menjadi pihak yang mempunyai
klaim di LCS bersama dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.
Indonesia sebagai primus inter pares di Asia Tenggara patut mendesak Tiongkok dan
ASEAN untuk secepatnya menyelesaikan CoC yang sudah terlalu lama
terbengkalai. Bila tidak, cita-cita menjadi poros maritim dunia akan menemui
hambatan runyam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar