Bapak Bangsa Singapura Itu Telah Pergi
Frans H Winarta ;
Ketua
Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2015
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew
telah pergi untuk selamanya, meninggalkan negeri kepulauan dan bangsa yang
sangat dicintainya. Beliau telah memberikan seluruh jiwa-raga dan
kehidupannya untuk membangun Singapura dari bangsa yang hanya mempunyai
pendapatan per kapita USD500 pada 1959 menjadi USD56.000 pada saat meninggal
dunia 23 Maret 2015. Tidak keliru kalau negara pulau itu dikatakan sebagai
keajaiban ekonomi Asia Tenggara karena dari negara yang tidak mempunyai
sumber daya alam, Singapura justru telah berkembang menjadi salah satu negara
termakmur di kawasan Asia.
Maka itu, tidak berlebihan apabila dikemukakan
bahwa pencapaian Lee Kuan Yew immeasurable
immeasurable. Lee bukan saja memimpin Singapura selama ±30 tahun, tetapi
juga telah berhasil membentuk Negara Singapura yang makmur, sejahtera, bebas
korupsi, dan efisien. Semua itu dicapainya dengan disiplin, hidup hemat, dan
prihatin. Sadar akan kekurangan sumber daya alam Singapura tidak membuatnya
menyerah, namun justru mendorongnya untuk mewujudkan mutu atau kualitas
sumber daya manusia (SDM) Singapura yang kini tergolong sebagai salah satu
yang terbaik di dunia.
Singapura yang dulunya dikenal tidak ramah
kepada hukum pada 1950-an, yang akrab dengan perdagangan candu, kejahatan,
prostitusi, dan kotor, telah menjelma menjadi negara pulau yang bersih,
teratur, tertata rapi, bebas korupsi, efisien, dan supremasi hukum
ditegakkan. Ini dimungkinkan karena rekam jejaknya yang tidak instan. Semua
dirintisnya dari bawah dan dengan kerja keras.
Lulusan Cambridge University di Inggris ini
setelah menyelesaikan studi hukumnya memulai karier sebagai lawyer yang
tangkas dan kemudian masuk politik sebagai anggota parlemen. Pada usia 36
tahun Lee menjadi perdana menteri pertama Singapura dan pada 1965 memisahkan
diri dengan Malaysia karena alasan substansial.
Sebagai pemrakarsa berdirinya People Peoples Action Party (PAP) Lee
dan kawan-kawan betul-betul ingin menyejahterakan Singapura melalui penegakan
hukum, hukum menjadi alat atau ”law as
a tool of social engineering” untuk membangun Singapura seperti saat ini.
Bagaimana masyarakat Singapura dan negara Singapura yang dicita-citakan Lee
Kuan Yew melalui rekayasa hukum bahkan sangat dikagumi dunia dan para
pemimpin dunia.
Tidak salah kalau mantan PM Bob Hawze
(1983-1991) menyatakan bahwa Australia berutang budi kepada Lee atas
komentarnya untuk Australia membuka ekonominya agar tidak menjadi beban bagi
Asia sebagai ”the poor white trash of
Asia”. Komentar seperti ini telah menyentuh para pemimpin Australia untuk
lebih serius membangun ekonomi Australia, tidak kurang Tony Abbott menyebut
Lee sebagai ”great nation builder”.
Sosok Lee tidak hanya menjadi perdana menteri
bagi Singapura ataupun sekadar menteri mentor bagi pemimpin-pemimpin
Singapura setelahnya, namun sosoknya telah berubah menjadi sosok negarawan
dunia yang perkataannya didengarkan oleh para pemimpin tidak hanya di kawasan
ASEAN, tapi juga dunia. Lee menjadikan hukum sebagai supremasi pembentukan
negara Singapura.
Bukan peraturan perundang-undangan (legislation) saja yang menjadi andalan
pemerintah dan pembentukan negara dan masyarakat Singapura, tetapi
putusanputusan pengadilan (high court)
juga mengarahkan pada pembentukan negara sejahtera dan kepentingan umum.
Pengalaman konflik rasial masa lalu telah mengajarkan toleransi dan hidup
damai sebagai masyarakat multirasial.
Lee membuktikan bahwa meritokrasi akan mampu
mengubah bangsa yang terpecah belah dan tertinggal, dapat berubah menjadi
bangsa yang bersatu dan maju. Kerja keras, disiplin, dan efisiensi menjadi
pegangan dalam kehidupan bangsa Singapura sehingga mereka dapat bangga dengan
pencapaian pembangunan selama Lee Kuan Yew memerintah dan sesudahnya.
Sekarang tinggal bagaimana para penerusnya
memelihara prestasi fenomenal ini karena sudah mulai ada suara-suara generasi
muda Singapura yang mengkritik kebijakan ”One Stop Economy” di mana
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menjadi primadona pembangunan
dengan mengorbankan hak sipil dan demokrasi c.q. kebebasan berbicara.
Terlepas dari kekurangannya selama memimpin,
masa duka selama seminggu ini dan antrean masyarakat Singapura yang ingin
menyampaikan penghormatan terakhir kepada bapak bangsa Singapura yang
berkilometer membuktikan simpati, penghargaan, dan rasa hormat masyarakat
Singapura kepada Lee Kuan Yew sebagai pemimpin dan bapak bangsa Singapura.
Sebagai sesama warga Asia Tenggara, kita
angkat topi atas jasajasa beliau dan kepemimpinannya yang telah menaikkan
pamor bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara. Lee menunjukkan bahwa pemimpin
yang memiliki visi akan mampu mengubah bangsanya, sekalipun dengan
keterbatasan sumber daya alam yang ada.
Singapura beruntung memiliki pemimpin
sekaliber Lee Kuan Yew. Kepergian Lee adalah kehilangan besar, tidak
hanyabagi Singapura, tetapijuga bagi ASEAN dan dunia. Selamat jalan Lee. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar