Senin, 30 Maret 2015

Bapak Bangsa Singapura Itu Telah Pergi

Bapak Bangsa Singapura Itu Telah Pergi

Frans H Winarta  ;  Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH
KORAN SINDO, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew telah pergi untuk selamanya, meninggalkan negeri kepulauan dan bangsa yang sangat dicintainya. Beliau telah memberikan seluruh jiwa-raga dan kehidupannya untuk membangun Singapura dari bangsa yang hanya mempunyai pendapatan per kapita USD500 pada 1959 menjadi USD56.000 pada saat meninggal dunia 23 Maret 2015. Tidak keliru kalau negara pulau itu dikatakan sebagai keajaiban ekonomi Asia Tenggara karena dari negara yang tidak mempunyai sumber daya alam, Singapura justru telah berkembang menjadi salah satu negara termakmur di kawasan Asia.

Maka itu, tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa pencapaian Lee Kuan Yew immeasurable immeasurable. Lee bukan saja memimpin Singapura selama ±30 tahun, tetapi juga telah berhasil membentuk Negara Singapura yang makmur, sejahtera, bebas korupsi, dan efisien. Semua itu dicapainya dengan disiplin, hidup hemat, dan prihatin. Sadar akan kekurangan sumber daya alam Singapura tidak membuatnya menyerah, namun justru mendorongnya untuk mewujudkan mutu atau kualitas sumber daya manusia (SDM) Singapura yang kini tergolong sebagai salah satu yang terbaik di dunia.

Singapura yang dulunya dikenal tidak ramah kepada hukum pada 1950-an, yang akrab dengan perdagangan candu, kejahatan, prostitusi, dan kotor, telah menjelma menjadi negara pulau yang bersih, teratur, tertata rapi, bebas korupsi, efisien, dan supremasi hukum ditegakkan. Ini dimungkinkan karena rekam jejaknya yang tidak instan. Semua dirintisnya dari bawah dan dengan kerja keras.

Lulusan Cambridge University di Inggris ini setelah menyelesaikan studi hukumnya memulai karier sebagai lawyer yang tangkas dan kemudian masuk politik sebagai anggota parlemen. Pada usia 36 tahun Lee menjadi perdana menteri pertama Singapura dan pada 1965 memisahkan diri dengan Malaysia karena alasan substansial.

Sebagai pemrakarsa berdirinya People Peoples Action Party (PAP) Lee dan kawan-kawan betul-betul ingin menyejahterakan Singapura melalui penegakan hukum, hukum menjadi alat atau ”law as a tool of social engineering” untuk membangun Singapura seperti saat ini. Bagaimana masyarakat Singapura dan negara Singapura yang dicita-citakan Lee Kuan Yew melalui rekayasa hukum bahkan sangat dikagumi dunia dan para pemimpin dunia.

Tidak salah kalau mantan PM Bob Hawze (1983-1991) menyatakan bahwa Australia berutang budi kepada Lee atas komentarnya untuk Australia membuka ekonominya agar tidak menjadi beban bagi Asia sebagai ”the poor white trash of Asia”. Komentar seperti ini telah menyentuh para pemimpin Australia untuk lebih serius membangun ekonomi Australia, tidak kurang Tony Abbott menyebut Lee sebagai ”great nation builder”.

Sosok Lee tidak hanya menjadi perdana menteri bagi Singapura ataupun sekadar menteri mentor bagi pemimpin-pemimpin Singapura setelahnya, namun sosoknya telah berubah menjadi sosok negarawan dunia yang perkataannya didengarkan oleh para pemimpin tidak hanya di kawasan ASEAN, tapi juga dunia. Lee menjadikan hukum sebagai supremasi pembentukan negara Singapura.

Bukan peraturan perundang-undangan (legislation) saja yang menjadi andalan pemerintah dan pembentukan negara dan masyarakat Singapura, tetapi putusanputusan pengadilan (high court) juga mengarahkan pada pembentukan negara sejahtera dan kepentingan umum. Pengalaman konflik rasial masa lalu telah mengajarkan toleransi dan hidup damai sebagai masyarakat multirasial.

Lee membuktikan bahwa meritokrasi akan mampu mengubah bangsa yang terpecah belah dan tertinggal, dapat berubah menjadi bangsa yang bersatu dan maju. Kerja keras, disiplin, dan efisiensi menjadi pegangan dalam kehidupan bangsa Singapura sehingga mereka dapat bangga dengan pencapaian pembangunan selama Lee Kuan Yew memerintah dan sesudahnya.

Sekarang tinggal bagaimana para penerusnya memelihara prestasi fenomenal ini karena sudah mulai ada suara-suara generasi muda Singapura yang mengkritik kebijakan ”One Stop Economy” di mana pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menjadi primadona pembangunan dengan mengorbankan hak sipil dan demokrasi c.q. kebebasan berbicara.

Terlepas dari kekurangannya selama memimpin, masa duka selama seminggu ini dan antrean masyarakat Singapura yang ingin menyampaikan penghormatan terakhir kepada bapak bangsa Singapura yang berkilometer membuktikan simpati, penghargaan, dan rasa hormat masyarakat Singapura kepada Lee Kuan Yew sebagai pemimpin dan bapak bangsa Singapura.

Sebagai sesama warga Asia Tenggara, kita angkat topi atas jasajasa beliau dan kepemimpinannya yang telah menaikkan pamor bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara. Lee menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki visi akan mampu mengubah bangsanya, sekalipun dengan keterbatasan sumber daya alam yang ada.

Singapura beruntung memiliki pemimpin sekaliber Lee Kuan Yew. Kepergian Lee adalah kehilangan besar, tidak hanyabagi Singapura, tetapijuga bagi ASEAN dan dunia. Selamat jalan Lee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar