Rini,
Lee Kuan Yew, dan BUMN
Fachry Ali ; Salah Satu
Pendiri
Lembaga Studi dan Pengembang Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia)
|
KOMPAS,
23 Maret 2015
Di
hadapan sejumlah ekonom, Menteri Negara BUMN Rini M Soemarno menegaskan bahwa
BUMN adalah "agen pembangunan". Dalam percakapan pribadi dengan
saya, setelah mengunjungi sebuah industri semen di Sumatera, Rini menyatakan
idealnya sebuah BUMN adalah "agen perubahan".
Fungsi
keagenan itu belum dilihat pada industri semen itu. Sebab, ujarnya,
perkembangan masyarakat sekitar kompleks industri itu tak berubah sejak
sepuluh tahun lalu. Satu dekade sebelumnya, Rini memang berkunjung ke daerah
itu.
Secara
teoretis, frasa "agen pembangunan" dan "agen perubahan"
sebuah entitas ekonomi, seperti pernah saya nyatakan dalam tulisan
sebelumnya, adalah refleksi pandangan embedded
economy. Konsep yang berasal dari antropolog Karl Polanyi dalam karyanya The Great Transformation (1942) ini
menyatakan bahwa ekonomi bukan "hanya" salah satu dari total sistem
kemasyarakatan, melainkan alat mencapai tujuan-tujuan
"non-ekonomi". Ini bertentangan dengan pandangan ekonom neo-klasik
yang, seperti dirumuskan Jonathan Schlefer dalam bukunya The Assumptions Economists Make (2012), berpendapat bahwa hanya
pasar (markets alone) yang
menciptakan ekonomi dan "does not
admit the concept of society" (tak mengakui konsep masyarakat).
Dengan
mengontraskan dua pandangan itu, frasa Rini bahwa BUMN adalah "agen
pembangunan" dan "agen perubahan" setidak-tidaknya menemukan
dasar pemikiran tertentu. Bahkan, sepanjang berkaitan dengan gagasan
penyatuan ekonomi dan dunia sosial, frasa itu mendekati pandangan ekonom
klasik David Ricardo (1772-1823) yang "memfatwakan" bahwa tinggi
rendahnya upah (wages) ditentukan
oleh faktor sosial. "Asumsi
Ricardo tentang ketentuan sosial atas upah," tulis Schlefer lebih
lanjut, "berarti bahwa
keterjalinan masyarakat dan pasar tak terelakkan di dalam ekonomi."
Maka, pastilah pandangan Rini itu sejalan dengan ekonom Inggris, John Maynard
Keynes (1883-1946), yang mendorong peran negara ke dalam perekonomian untuk
mengatasi krisis besar, seperti Great
Depression akhir 1920-an dan 1930-an.
Tanpa
terasa, dasar pemikiran frasa di atas mengalir pada Pasal 33 UUD 1945 yang
menekankan perekonomian berasas kekeluargaan dan menegaskan kehadiran negara
dalam pengelolaan kekayaan alam "untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dalam konteks dewasa ini, amanat
konstitusi itu terterjemahkan dalam Nawacita, terutama butir satu dan tujuh.
Di sini ditegaskan negara harus hadir kembali ... untuk "mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik."
Inilah,
pada hemat saya, dasar pemikiran Rini dalam meyakinkan Kementerian Keuangan
dan DPR bagi penambahan modal negara kepada 38 BUMN strategis dalam
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Kita ketahui, tak semua usul ini diterima DPR. Akan tetapi, kita menemukan
semangat BUMN sebagai "agen pembangunan" dan "agen
perubahan" bersifat dual confirmation di dalamnya, ketika Rini
memberikan alasan penyuntikan modal kepada, misalnya, Bank Mandiri sebesar Rp
5,6 triliun.
Hal
itu, yakni keharusan ekspansi kredit untuk mendukung program pemerintah dalam
pembangunan infrastruktur dan mempertahankan kepemilikan negara atas bank
itu. Andai terlaksana, dua hal akan tercapai sekaligus: kehadiran negara
dalam perekonomian dengan tetap memegang saham mayoritas dan fungsi Bank
Mandiri sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan"
dengan berpartisipasi ke dalam pembangunan infrastruktur. Bukankah ini salah
satu terjemahan butir tujuh Nawacita dalam membangun kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis dan domestik?
Pengalaman Singapura
Lalu,
apa hubungannya dengan mantan PM Singapura Lee Kuan Yew? Jawabannya, tokoh
inilah yang menerapkan BUMN sebagai strategi pembangunan kemakmuran rakyat
Singapura. "Terpaksa" menyatakan kemerdekaan Singapura pada 9
Agustus 1965, ia mendapati negara-kota itu tanpa sumber daya alam (SDA) apa
pun. Dalam bukunya The Singapore Story:
Memoirs of Lee Kuan Yew (1998), ia menggambarkan kenyataan itu dengan
bertanya: "... bagaimana mungkin
Singapura bisa selamat tanpa daerah pedalaman (hinterland)? Bagaimana kami
bisa hidup? Bahkan, air yang kami gunakan berasal dari negara tetangga,
Johor."
Toh
Singapura masih menghadapi persoalan lain: mundurnya tentara Inggris dari
negara-pulau itu dengan efek ekonomi tertentu. "Kehilangan pendapatan berasal dari belanja militer Inggris pada
1968-1971 itu," ujar Lee Kuan Yew dalam bukunya yang lain, From the Third World to First: Singapore
Story 1965-2000 (2000), "adalah
pukulan bagi ekonomi kami". Sebab, belanja militer Inggris itu
setaraf dengan 20 persen PDB Singapura, menyediakan 30.000 lapangan kerja
langsung dan 40.000 layanan dukungan.
Absen
dalam SDA, potensi modal, dan kewirausahaan domestik, Singapura di bawah Lee
mengembangkan BUMN sebagai strategi pembangunan ekonomi. Tanpa terasa,
pengembangan BUMN ini menjadi bagian dari state formation. Ini dapat kita
lihat dari rasa kecewa E Kay Gillis dalam karyanya Singapore Civil Society and British Power (2005) tentang
melemahnya posisi masyarakat akibat menguatnya "otot ekonomi"
birokrasi negara. "Pembentukan perusahaan-perusahaan persero, seperti Housing Development Board dan the Public Utility Board," ujar
Gillis, "dengan cepat memperluas birokrasi dan birokrasi itu mendominasi
berbagai bidang yang sebelumnya menjadi medan sektor swasta atau civil
society."
Lee
Kuan Yew mengakui sifat agresif negara sebagai "aktor ekonomi".
Dalam bukunya yang telah kita sebutkan, From
the Third World to First, ia menyatakan bahwa pemerintah mengambil
langkah memulai industri baru pengolahan baja (National Iron Mills) dan industri jasa seperti perusahaan
pelayaran, Neptune Orient Lines
(NOL) dan transportasi udara, Singapore
Air Lines. Usaha ini dilanjutkan dengan membangun Insurance Corporation of Singapore dan Singapore Petroleum Company. Dengan bantuan Sir Lawrence Hartnett
dari Australia, Singapura membangun Chartered
Industries of Singapore (CIS), percetakan dan pabrik untuk amunisi kecil.
CIS inilah yang kemudian berkembang menjadi Singapore Technology (ST), sebuah perusahaan teknologi tinggi
yang, antara lain, menyiapkan pabrik-pabrik wafer (semikonduktor), bekerja
sama dengan perusahaan multinasional terkemuka.
Karena
kesulitan sumber daya manusia (SDM), Lee Kuan Yew merekrut tenaga-tenaga muda
menjadi birokrat dengan syarat punya integritas, kemampuan berpikir dan
bersemangat. Namun, ujarnya, "tidak
punya catatan kemampuan bisnis". Merekalah yang dikirim menempuh
pendidikan di universitas-universitas Inggris, Kanada, Australia, Selandia
Baru, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, dan AS. "Kami," ujar Lee, "membuat
mereka menjadi kaum wiraswasta untuk memberikan contoh bagaimana memulai
pengelolaan BUMN yang berhasil, seperti NOL dan SIA." Saat usaha ini
berhasil, lanjut Lee, "kami
mengubah BUMN yang punya hak monopoli, seperti PUB (Public Utilities Board)
dan PSA (Port Singapore Authority) dan Singapore Telecom, ke dalam
satuan-satuan terpisah, bebas dari kontrol kementerian, dijalankan sebagai
perusahaan-perusahaan efisien dan berdaya saing."
Di
bawah Lee Kuan Yew, negara bukan mereproduksi kaum konglomerat seperti di
Indonesia, melainkan BUMN sebagai basis ekonomi nasional dan kaum birokrat
cakap dan berintegritas yang bertindak sebagai wiraswasta dengan menggandeng
modal dan pelaku ekonomi global. Ini semua, catat Choon Yin Sam dalam
artikelnya "Globalizing Partially
Privatized Firms in Singapore: The Role of Government as Regulator and a
Shareholder" (2010), "bertujuan
memecahkan ketidakmampuan perusahaan-perusahaan lokal mengangkat ekonomi dari
kemundurannya, sementara pengusaha-pengusaha lokal kekurangan informasi,
keahlian, hubungan dengan pihak luar negeri dan sumber daya finansial dan
manajerial yang dibutuhkan untuk bersaing secara efektif dengan
perusahaan-perusahaan multinasional dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi
rakyat." Tak heran, seperti dicatat John Wong dalam ASEAN Economies in Perspective (1979),
walau program ini baru dilaksanakan 1960-an, pada 1976 saja, 59 persen produk
manufaktur Singapura telah dilempar ke pasar dunia.
Puncak
rekayasa BUMN sebagai soko guru ekonomi nasional Singapura adalah kelahiran
Temasek pada 25 Juni 1974. Sebuah perusahaan "payung investasi" (investment holding) bagi semua BUMN
Singapura. Berbekal dana Kementerian Keuangan 350 juta dollar Singapura,
kurang dari dua dekade, modal itu telah tumbuh lebih dari 160 miliar dollar
Singapura. Pada pertengahan 2000-an, seperti pernah dilaporkan Wall Street
Journal, Temasek bahkan telah mengendalikan modal sebesar 200 miliar dollar
AS. Dengan kendali modal sebesar itu, Temasek bukan hanya mengelola semua
BUMN raksasa Singapura ?Development Bank
of Singapore (DBS), Singapore Telecommunication (SingTel), Chartered
Semiconductor Manufacturing, Keppel Corp, NOL, SIA, Singapore Power,
Singapore Technology Engineering, dan Smart Corp, melainkan juga mampu
berekspansi, di samping ke negara-negara Asia, juga ke negara anggota OECD,
seperti Finlandia, Jerman, Yunani, Australia, Austria, dan Kanada.
Pasar bebas dan rasa
keadilan
Apa
konteks semua ini dengan frasa BUMN sebagai "agen pembangunan" dan
"agen perubahan" Rini di atas? Di sini, landasan gagasan Lee Kuan
Yew harus dilihat. Dalam From Third
Word to First, ia menyatakan ketakpercayaannya kepada sistem pasar bebas
untuk mencapai rasa keadilan rakyat. "Jika kinerja dan hasil ditentukan di pasar,"
ujarnya, "maka akan ada segelintir kecil menjadi pemenang besar dan
beberapa menjadi pemenang menengah, serta sebagian besar menjadi pihak yang
kalah." Karena itu, negara harus
tampil sebagai "kekuatan pembagi kekayaan" dengan sebuah strategi
yang disebutnya sebagai asset enhancement (peningkatan nilai ekonomis aset)
sebelum dibagi kepada rakyat.
Ini
dilakukan dengan mengajukan amandemen UU Central Provident Fund (CPF Act)
pada 1968. CPF adalah BUMN finansial yang telah ada sejak Singapura di bawah
pemerintahan Inggris. Dengan amandemen ini, peningkatan setoran pensiun kaum
pekerja menjadi absah. Bersama dengan itu, House Development Board (HDB),
BUMN perumahan, "diperintahkan" membuat skema pemilikan rumah bagi
rakyat. Dengan jaminan CPF, pekerja diizinkan membayar uang panjar 20 persen
dari nilai flat, yang pelunasannya dilakukan selama 20 tahun. Hasilnya
mencerahkan. Jika pada 1967 hanya ada 3.000 pembeli, pada 1996 bertambah
menjadi 70.000 orang. HDB membangun 725.000 flat pada saat yang sama. Melalui
renovasi yang disubsidi HDB sebesar 58.000 dollar Singapura, proses asset enhancement berlangsung karena
nilai ekonomi flat-flat yang telah jadi milik rakyat meningkat. Kerja sama
kedua BUMN ini, HDB dan CPF, mendorong terjadinya distribusi kekayaan
berkualitas, yaitu flat yang telah terenovasi, kepada rakyat.
Pada
1978, pemerintah mengizinkan CPF menginvestasikan tabungan pribadi. Langkah
ini bersamaan dengan usaha peningkatan layanan BUMN transportasi, Singapore
Bus Services Ltd (SBS) yang telah terdaftar di pasar modal. Anggota CPF yang
bekerja di SBS diizinkan membeli saham SBS 5.000 dollar Singapura saat
pendaftaran pertama. "Saya ingin
usaha ini jadi pembagian kepemilikan saham terluas sehingga keuntungan akan
kembali kepada para pekerja, pengguna jasa tetap transportasi publik,"
kata Lee.
Berhasil
dengan eksperimen ini, pemerintah membebaskan CPF berinvestasi di berbagai
bidang. Keuntungan investasi itu melalui kepemilikan saham kolektif? terdistribusikan kepada rakyat. Tak
mengherankan jika pada 1997 saja, dengan penduduk sekitar 3 juta, telah
terdapat 1,5 juta (dari 2,8 juta) anggota CPF yang berinvestasi di pasar
saham Singapura. Nilai tabungan anggota, di luar 80 miliar dollar Singapura
yang ditarik untuk pembayaran flat HDB, tumbuh sebesar 85 miliar dollar
Singapura. Langkah ini pula yang dilakukan negara ketika melakukan
"privatisasi" SingTel pada 1993, yaitu menjual saham dengan
setengah harga pasar kepada penduduk dewasa Singapura.
Semua
usaha ini, tulis Lee Kuan Yew dalam From
Third to First, adalah "untuk
membagikan sebagian keuntungan yang telah dihimpun pemerintah selama
bertahun-tahun masa pertumbuhan kami yang stabil. Kami menginginkan rakyat
memegang sebagian besar saham-saham perusahaan Singapura dan punya saham
nyata dalam keberhasilan negara ini." Di sini kita melihat, di bawah
Lee, BUMN Singapura telah bertindak sebagai "agen pembangunan" dan
"agen perubahan" sekaligus. Kendati berkinerja di sektor ekonomi,
capaian BUMN itu melampaui ambang batas kekayaan material: menguatnya state formation melalui politik
keadilan sosial. Di Indonesia, capaian ke arah itu tentu masih panjang. Namun,
Menteri Rini telah memulainya. Dengan dukungan politik yang kuat, tidak
mustahil langkah ini akan berbuah konstruktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar