Selasa, 24 Maret 2015

Rini, Lee Kuan Yew, dan BUMN

Rini, Lee Kuan Yew, dan BUMN

Fachry Ali  ;  Salah Satu Pendiri
Lembaga Studi dan Pengembang Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia)
KOMPAS, 23 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Di hadapan sejumlah ekonom, Menteri Negara BUMN Rini M Soemarno menegaskan bahwa BUMN adalah "agen pembangunan". Dalam percakapan pribadi dengan saya, setelah mengunjungi sebuah industri semen di Sumatera, Rini menyatakan idealnya sebuah BUMN adalah "agen perubahan".

Fungsi keagenan itu belum dilihat pada industri semen itu. Sebab, ujarnya, perkembangan masyarakat sekitar kompleks industri itu tak berubah sejak sepuluh tahun lalu. Satu dekade sebelumnya, Rini memang berkunjung ke daerah itu.

Secara teoretis, frasa "agen pembangunan" dan "agen perubahan" sebuah entitas ekonomi, seperti pernah saya nyatakan dalam tulisan sebelumnya, adalah refleksi pandangan embedded economy. Konsep yang berasal dari antropolog Karl Polanyi dalam karyanya The Great Transformation (1942) ini menyatakan bahwa ekonomi bukan "hanya" salah satu dari total sistem kemasyarakatan, melainkan alat mencapai tujuan-tujuan "non-ekonomi". Ini bertentangan dengan pandangan ekonom neo-klasik yang, seperti dirumuskan Jonathan Schlefer dalam bukunya The Assumptions Economists Make (2012), berpendapat bahwa hanya pasar (markets alone) yang menciptakan ekonomi dan "does not admit the concept of society" (tak mengakui konsep masyarakat).

Dengan mengontraskan dua pandangan itu, frasa Rini bahwa BUMN adalah "agen pembangunan" dan "agen perubahan" setidak-tidaknya menemukan dasar pemikiran tertentu. Bahkan, sepanjang berkaitan dengan gagasan penyatuan ekonomi dan dunia sosial, frasa itu mendekati pandangan ekonom klasik David Ricardo (1772-1823) yang "memfatwakan" bahwa tinggi rendahnya upah (wages) ditentukan oleh faktor sosial. "Asumsi Ricardo tentang ketentuan sosial atas upah," tulis Schlefer lebih lanjut, "berarti bahwa keterjalinan masyarakat dan pasar tak terelakkan di dalam ekonomi." Maka, pastilah pandangan Rini itu sejalan dengan ekonom Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946), yang mendorong peran negara ke dalam perekonomian untuk mengatasi krisis besar, seperti Great Depression akhir 1920-an dan 1930-an.

Tanpa terasa, dasar pemikiran frasa di atas mengalir pada Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan perekonomian berasas kekeluargaan dan menegaskan kehadiran negara dalam pengelolaan kekayaan alam "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dalam konteks dewasa ini, amanat konstitusi itu terterjemahkan dalam Nawacita, terutama butir satu dan tujuh. Di sini ditegaskan negara harus hadir kembali ... untuk "mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik."

Inilah, pada hemat saya, dasar pemikiran Rini dalam meyakinkan Kementerian Keuangan dan DPR bagi penambahan modal negara kepada 38 BUMN strategis dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Kita ketahui, tak semua usul ini diterima DPR. Akan tetapi, kita menemukan semangat BUMN sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan" bersifat dual confirmation di dalamnya, ketika Rini memberikan alasan penyuntikan modal kepada, misalnya, Bank Mandiri sebesar Rp 5,6 triliun.

Hal itu, yakni keharusan ekspansi kredit untuk mendukung program pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan mempertahankan kepemilikan negara atas bank itu. Andai terlaksana, dua hal akan tercapai sekaligus: kehadiran negara dalam perekonomian dengan tetap memegang saham mayoritas dan fungsi Bank Mandiri sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan" dengan berpartisipasi ke dalam pembangunan infrastruktur. Bukankah ini salah satu terjemahan butir tujuh Nawacita dalam membangun kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis dan domestik?

Pengalaman Singapura

Lalu, apa hubungannya dengan mantan PM Singapura Lee Kuan Yew? Jawabannya, tokoh inilah yang menerapkan BUMN sebagai strategi pembangunan kemakmuran rakyat Singapura. "Terpaksa" menyatakan kemerdekaan Singapura pada 9 Agustus 1965, ia mendapati negara-kota itu tanpa sumber daya alam (SDA) apa pun. Dalam bukunya The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew (1998), ia menggambarkan kenyataan itu dengan bertanya: "... bagaimana mungkin Singapura bisa selamat tanpa daerah pedalaman (hinterland)? Bagaimana kami bisa hidup? Bahkan, air yang kami gunakan berasal dari negara tetangga, Johor."

Toh Singapura masih menghadapi persoalan lain: mundurnya tentara Inggris dari negara-pulau itu dengan efek ekonomi tertentu. "Kehilangan pendapatan berasal dari belanja militer Inggris pada 1968-1971 itu," ujar Lee Kuan Yew dalam bukunya yang lain, From the Third World to First: Singapore Story 1965-2000 (2000), "adalah pukulan bagi ekonomi kami". Sebab, belanja militer Inggris itu setaraf dengan 20 persen PDB Singapura, menyediakan 30.000 lapangan kerja langsung dan 40.000 layanan dukungan.

Absen dalam SDA, potensi modal, dan kewirausahaan domestik, Singapura di bawah Lee mengembangkan BUMN sebagai strategi pembangunan ekonomi. Tanpa terasa, pengembangan BUMN ini menjadi bagian dari state formation. Ini dapat kita lihat dari rasa kecewa E Kay Gillis dalam karyanya Singapore Civil Society and British Power (2005) tentang melemahnya posisi masyarakat akibat menguatnya "otot ekonomi" birokrasi negara. "Pembentukan perusahaan-perusahaan persero, seperti Housing Development Board dan the Public Utility Board," ujar Gillis, "dengan cepat memperluas birokrasi dan birokrasi itu mendominasi berbagai bidang yang sebelumnya menjadi medan sektor swasta atau civil society."

Lee Kuan Yew mengakui sifat agresif negara sebagai "aktor ekonomi". Dalam bukunya yang telah kita sebutkan, From the Third World to First, ia menyatakan bahwa pemerintah mengambil langkah memulai industri baru pengolahan baja (National Iron Mills) dan industri jasa seperti perusahaan pelayaran, Neptune Orient Lines (NOL) dan transportasi udara, Singapore Air Lines. Usaha ini dilanjutkan dengan membangun Insurance Corporation of Singapore dan Singapore Petroleum Company. Dengan bantuan Sir Lawrence Hartnett dari Australia, Singapura membangun Chartered Industries of Singapore (CIS), percetakan dan pabrik untuk amunisi kecil. CIS inilah yang kemudian berkembang menjadi Singapore Technology (ST), sebuah perusahaan teknologi tinggi yang, antara lain, menyiapkan pabrik-pabrik wafer (semikonduktor), bekerja sama dengan perusahaan multinasional terkemuka.

Karena kesulitan sumber daya manusia (SDM), Lee Kuan Yew merekrut tenaga-tenaga muda menjadi birokrat dengan syarat punya integritas, kemampuan berpikir dan bersemangat. Namun, ujarnya, "tidak punya catatan kemampuan bisnis". Merekalah yang dikirim menempuh pendidikan di universitas-universitas Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, dan AS. "Kami," ujar Lee, "membuat mereka menjadi kaum wiraswasta untuk memberikan contoh bagaimana memulai pengelolaan BUMN yang berhasil, seperti NOL dan SIA." Saat usaha ini berhasil, lanjut Lee, "kami mengubah BUMN yang punya hak monopoli, seperti PUB (Public Utilities Board) dan PSA (Port Singapore Authority) dan Singapore Telecom, ke dalam satuan-satuan terpisah, bebas dari kontrol kementerian, dijalankan sebagai perusahaan-perusahaan efisien dan berdaya saing."

Di bawah Lee Kuan Yew, negara bukan mereproduksi kaum konglomerat seperti di Indonesia, melainkan BUMN sebagai basis ekonomi nasional dan kaum birokrat cakap dan berintegritas yang bertindak sebagai wiraswasta dengan menggandeng modal dan pelaku ekonomi global. Ini semua, catat Choon Yin Sam dalam artikelnya "Globalizing Partially Privatized Firms in Singapore: The Role of Government as Regulator and a Shareholder" (2010), "bertujuan memecahkan ketidakmampuan perusahaan-perusahaan lokal mengangkat ekonomi dari kemundurannya, sementara pengusaha-pengusaha lokal kekurangan informasi, keahlian, hubungan dengan pihak luar negeri dan sumber daya finansial dan manajerial yang dibutuhkan untuk bersaing secara efektif dengan perusahaan-perusahaan multinasional dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat." Tak heran, seperti dicatat John Wong dalam ASEAN Economies in Perspective (1979), walau program ini baru dilaksanakan 1960-an, pada 1976 saja, 59 persen produk manufaktur Singapura telah dilempar ke pasar dunia.
Puncak rekayasa BUMN sebagai soko guru ekonomi nasional Singapura adalah kelahiran Temasek pada 25 Juni 1974. Sebuah perusahaan "payung investasi" (investment holding) bagi semua BUMN Singapura. Berbekal dana Kementerian Keuangan 350 juta dollar Singapura, kurang dari dua dekade, modal itu telah tumbuh lebih dari 160 miliar dollar Singapura. Pada pertengahan 2000-an, seperti pernah dilaporkan Wall Street Journal, Temasek bahkan telah mengendalikan modal sebesar 200 miliar dollar AS. Dengan kendali modal sebesar itu, Temasek bukan hanya mengelola semua BUMN raksasa Singapura ?Development Bank of Singapore (DBS), Singapore Telecommunication (SingTel), Chartered Semiconductor Manufacturing, Keppel Corp, NOL, SIA, Singapore Power, Singapore Technology Engineering, dan Smart Corp, melainkan juga mampu berekspansi, di samping ke negara-negara Asia, juga ke negara anggota OECD, seperti Finlandia, Jerman, Yunani, Australia, Austria, dan Kanada.

Pasar bebas dan rasa keadilan

Apa konteks semua ini dengan frasa BUMN sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan" Rini di atas? Di sini, landasan gagasan Lee Kuan Yew harus dilihat. Dalam From Third Word to First, ia menyatakan ketakpercayaannya kepada sistem pasar bebas untuk mencapai rasa keadilan rakyat. "Jika kinerja dan hasil ditentukan di pasar," ujarnya, "maka akan ada segelintir kecil menjadi pemenang besar dan beberapa menjadi pemenang menengah, serta sebagian besar menjadi pihak yang kalah." Karena itu, negara harus tampil sebagai "kekuatan pembagi kekayaan" dengan sebuah strategi yang disebutnya sebagai asset enhancement (peningkatan nilai ekonomis aset) sebelum dibagi kepada rakyat.

Ini dilakukan dengan mengajukan amandemen UU Central Provident Fund (CPF Act) pada 1968. CPF adalah BUMN finansial yang telah ada sejak Singapura di bawah pemerintahan Inggris. Dengan amandemen ini, peningkatan setoran pensiun kaum pekerja menjadi absah. Bersama dengan itu, House Development Board (HDB), BUMN perumahan, "diperintahkan" membuat skema pemilikan rumah bagi rakyat. Dengan jaminan CPF, pekerja diizinkan membayar uang panjar 20 persen dari nilai flat, yang pelunasannya dilakukan selama 20 tahun. Hasilnya mencerahkan. Jika pada 1967 hanya ada 3.000 pembeli, pada 1996 bertambah menjadi 70.000 orang. HDB membangun 725.000 flat pada saat yang sama. Melalui renovasi yang disubsidi HDB sebesar 58.000 dollar Singapura, proses asset enhancement berlangsung karena nilai ekonomi flat-flat yang telah jadi milik rakyat meningkat. Kerja sama kedua BUMN ini, HDB dan CPF, mendorong terjadinya distribusi kekayaan berkualitas, yaitu flat yang telah terenovasi, kepada rakyat.

Pada 1978, pemerintah mengizinkan CPF menginvestasikan tabungan pribadi. Langkah ini bersamaan dengan usaha peningkatan layanan BUMN transportasi, Singapore Bus Services Ltd (SBS) yang telah terdaftar di pasar modal. Anggota CPF yang bekerja di SBS diizinkan membeli saham SBS 5.000 dollar Singapura saat pendaftaran pertama. "Saya ingin usaha ini jadi pembagian kepemilikan saham terluas sehingga keuntungan akan kembali kepada para pekerja, pengguna jasa tetap transportasi publik," kata Lee.

Berhasil dengan eksperimen ini, pemerintah membebaskan CPF berinvestasi di berbagai bidang. Keuntungan investasi itu melalui kepemilikan saham kolektif? terdistribusikan kepada rakyat. Tak mengherankan jika pada 1997 saja, dengan penduduk sekitar 3 juta, telah terdapat 1,5 juta (dari 2,8 juta) anggota CPF yang berinvestasi di pasar saham Singapura. Nilai tabungan anggota, di luar 80 miliar dollar Singapura yang ditarik untuk pembayaran flat HDB, tumbuh sebesar 85 miliar dollar Singapura. Langkah ini pula yang dilakukan negara ketika melakukan "privatisasi" SingTel pada 1993, yaitu menjual saham dengan setengah harga pasar kepada penduduk dewasa Singapura.

Semua usaha ini, tulis Lee Kuan Yew dalam From Third to First, adalah "untuk membagikan sebagian keuntungan yang telah dihimpun pemerintah selama bertahun-tahun masa pertumbuhan kami yang stabil. Kami menginginkan rakyat memegang sebagian besar saham-saham perusahaan Singapura dan punya saham nyata dalam keberhasilan negara ini." Di sini kita melihat, di bawah Lee, BUMN Singapura telah bertindak sebagai "agen pembangunan" dan "agen perubahan" sekaligus. Kendati berkinerja di sektor ekonomi, capaian BUMN itu melampaui ambang batas kekayaan material: menguatnya state formation melalui politik keadilan sosial. Di Indonesia, capaian ke arah itu tentu masih panjang. Namun, Menteri Rini telah memulainya. Dengan dukungan politik yang kuat, tidak mustahil langkah ini akan berbuah konstruktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar