Lee
Kuan Yew : The Philosopher King
Dino Patti Djalal ; Mantan Jubir
Presiden SBY (2004–2010);
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)
|
JAWA
POS, 24 Maret 2015
DULU,
sewaktu kuliah, saya belajar teori politik Plato bahwa pemimpin yang paling
ideal adalah yang berkualitas ”the philosopher king”: yang punya
kekuasaan selayaknya seorang raja, namun serbatahu dan bijak seperti seorang
filsuf. Tipe itu jarang sekali ada. Banyak orang yang berkuasa
tapi tidak bijak dan banyak orang yang bijaksana tapi tidak punya kuasa. Lee
Kuan Yew adalah salah seorang philosopher king di Asia yang paling menonjol
di abad ke-20.
Ketika
Singapura mendadak menjadi negara merdeka pada 1965 karena ”diceraikan”
Federasi Malaysia, Lee Kuan Yew mewarisi kondisi yang sangat memprihatinkan.
Singapura tidak punya sumber alam, tidak punya modal, minim jati diri, dan
digerogoti komunisme. Banyak yang meramal
bahwa eksperimen kebangsaan di Singapura akan kandas.
Namun,
yang terjadi justru sebaliknya. Dengan kepemimpinan yang luar biasa, Lee dan
rekan-rekan politiknya dalam People’s
Action Party mengalahkan komunisme. Dan mengubah Singapura hanya dalam
dua–tiga dekade menjadi negara maju, dengan nasionalisme yang kukuh.
Singapura menjadi negara yang paling gesit beradaptasi dengan globalisasi:
sebagai hub transportasi, kemudian hub perdagangan, hub manufaktur, hub
finansial, dan dewasa ini sebagai hub inovasi. Prestasi terbesar LKY
(Lee Kuan Yew), menurut saya, adalah membangun suatu negara di mana hukum
benar-benar menjadi panglima dan membentuk suatu pemerintahan yang termasuk
paling bersih di dunia.
Sebagai
pemimpin, kekuatan LKY yang paling ampuh adalah intelektualitasnya.
Pengetahuannya tidak ada batasnya. Analisisnya selalu tajam, begitu pula
naluri politiknya. Dia tidak pernah defensif, tidak pernah kehilangan
jawaban, dan jago berdebat mengenai isu apa pun. Karena itulah, para pemimpin
dunia –mulai presiden Amerika Serikat, presiden Tiongkok, termasuk SBY
sendiri dulu– gemar mencari LKY untuk menambah wawasan dan mendengar analisis
beliau.
Dari
jajaran pemimpin Asia yang penuh gejolak (termasuk Orde Baru di Indonesia),
Lee termasuk unik karena melengserkan diri di puncak kekuasaan. Dan dia tidak
memberikan takhta kepada putranya. Dia digantikan Goh Chok Tong sebagai
perdana menteri dan beberapa tahun kemudian barulah putranya (Lee Hsien
Loong) menggantikan Goh. LKY, pendeknya, menangani suksesi kepemimpinan
Singapura dengan bijak.
Dalam
perjalanan karir saya sebagai diplomat, saya tiga kali bertemu Lee secara
fokus. Pertemuan pertama dilakukan bersama sejumlah tokoh muda di sebuah
hotel di Jakarta. Ada 15 orang yang hadir dan LKY secara sistematis menjawab
dengan apik setiap pertanyaan para peserta yang berasal dari berbagai
kalangan. Saya yakin kami semua waktu itu berpikir, ”Bapak satu ini ilmunya
gak ada habis-habisnya.”
Pertemuan
kedua lebih impresif. Masih sebagai juru bicara kepresidenan, saya bersama
sejumlah tokoh muda menemui LKY di kantor perdana menteri Singapura. Setelah
pertemuan berakhir, seorang staf membisikkan ke telinga saya, ”Pak Dino, Anda
jangan pulang dulu. Lee Kuan Yew ingin bertemu Anda empat mata.” Saya
kemudian digiring sendirian ke lantai atas, tempat LKY sudah menunggu saya di
meja kerjanya.
Selama
satu jam, dalam suasana hening malam dan tanpa pencatat, LKY menguras otak
saya mengenai politik luar negeri Presiden SBY dan mengenai dinamika elite
serta intrik politik di Jakarta. Pertanyaan beliau bertubi-tubi dan setiap
jawaban saya ditimpali dengan observasi tambahan dari beliau sendiri. Saya
mengamati bahwa LKY sebenarnya tahu secara detail rimba politik Indonesia.
Namun, beliau selalu haus informasi baru –khususnya insights– yang bisa menajamkan analisisnya. Yang kemudian saya
ketahui, LKY tidak pernah menolak bertemu siapa pun dan dari mana pun (bahkan
pejabat yang bukan senior) asal beliau dapat ”sesuatu” yang baru. Tidak
banyak pemimpin yang melakukan metode seperti itu.
Pertemuan
ketiga terjadi pada 29 Agustus tahun lalu, ketika saya diundang untuk memberi
pidato di Pyramid Club sehubungan dengan Hari Kemerdekaan Singapura. Pyramid
Club adalah kumpulan elite politik dan ekonomi Singapura. Dalam acara yang
sangat tertutup tersebut, tidak boleh ada media dan saya dilarang membawa
kamera (keesokan harinya sama sekali tidak ada berita mengenai acara
tersebut).
Malam
itu hadir PM Lee Hsien Loong dan sejumlah anggota kabinet. Namun, yang paling
berarti bagi saya adalah kehadiran LKY di tengah berita mengenai kondisi
kesehatannya. Jujurnya, saya sempat
agak kikuk berbicara di depan LKY yang selama ini saya kagumi. Namun, rasa
grogi itu segera hilang ketika saya melihat beliau tertawa mendengar beberapa
joke saya yang menggoda beliau.
Ketika
pidato saya berakhir, saya sempat mengantar LKY ke mobil dan beliau menyapa
saya dengan senyuman, mungkin karena susah berbicara. Saya teringat beliau
berjalan tertatih-tatih, namun tetap penuh semangat hidup. Saya tidak akan
pernah melupakan tatapan mata lembut beliau malam itu. Saya sudah berfirasat
mungkin itu terakhir kalinya saya melihat figur LKY. Ada perasaan lirih di
hati saya. Karena saya tahu bahwa LKY adalah anak zaman yang tidak akan
tergantikan oleh siapa pun.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar