Makna Strategis Kunjungan Jokowi ke Tiongkok
Ahmad Safril
; Dosen Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 26 Maret 2015
PADA 25–28 Maret 2015, Presiden Joko Widodo
melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok. Dalam waktu lima bulan pada awal
pemerintahannya, inilah lawatan kedua Jokowi ke Negeri Tirai Bambu.
Sebelumnya, 9–11 November tahun lalu, presiden ketujuh Indonesia tersebut
juga bertandang ke Tiongkok untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi APEC.
Dalam kesempatan itu, Jokowi mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden
Tiongkok Xi Jinping. Pertemuan serupa kembali diadakan dua pemimpin negara
itu di Beijing, Kamis (26/3).
Dua kali pertemuan bilateral Jokowi dan Xi
dalam kurun kurang dari lima bulan menunjukkan betapa eratnya hubungan
Indonesia-Tiongkok sekarang. Karena itu, kunjungan Jokowi memiliki makna
strategis bagi Indonesia ke depan. Negara kita bisa memanfaatkan posisi
Tiongkok sebagai raksasa ekonomi global untuk bersinergi memperkuat hubungan
dagang demi perbaikan ekonomi nasional. Peluang itu terbuka lebar karena visi
poros maritim global yang digagas Jokowi bersinggungan langsung dengan visi
jalur sutra yang dicetuskan Xi.
Peluang Dagang
Sepanjang dua dekade terakhir, Indonesia dan
Tiongkok terus meningkatkan hubungan bilateral. Pada masa Presiden
Abdurrahman Wahid, Tiongkok memberikan bantuan keuangan dan fasilitas kredit
kepada Indonesia dengan menyepakati kerja sama keuangan, teknologi,
perikanan, dan pariwisata serta menukar LNG Indonesia dengan produk-produk
Tiongkok.
Kerja sama energi itu berlanjut pada era
Presiden Megawati Soekarnoputri dengan ditandatanganinya nota kesepahaman
pada 24 Maret 2002 yang menjadi payung investasi Tiongkok di Indonesia dalam
bidang energi. Puncaknya, ketika Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, pada 25
April 2005, kedua negara mendeklarasikan kemitraan strategis dalam bidang
politik keamanan, ekonomi pembangunan, dan sosial budaya.
Kemitraan strategis berdampak signifikan bagi
relasi Indonesia-Tiongkok. Sejak penandatanganan kemitraan itu sepuluh tahun
lalu, volume perdagangan kedua negara terus meningkat. Buktinya, rata-rata
nilai perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok selama satu dekade terakhir
mencapai USD 48 miliar.
Berdasar data Biro Pusat Statistik (BPS),
sepanjang 2013, total nilai perdagangan Indonesia-Tiongkok mencapai USD 50,85
miliar dan berpotensi melonjak hingga USD 68,35 miliar pada tahun ini.
Sayangnya, di tengah lonjakan itu, Indonesia justru mengalami defisit neraca
perdagangan sekitar USD 7,99 miliar.
Realitas itu mengindikasikan adanya hal yang
mendesak diperbaiki dalam perekonomian Indonesia. Melemahnya nilai tukar
rupiah akhir-akhir ini semestinya bisa menjadi sinyal perbaikan ekonomi. Di
satu sisi, harus diakui bahwa keperkasaan dolar telah membobol daya tahan
mata uang kita. Di sisi lain, depresiasi rupiah dapat melindungi daya saing
Indonesia sehingga menjadikan investasi di negara kita sangat menarik dan
kompetitif sebagai basis produksi.
Peluang itulah yang harus ditawarkan Jokowi
ketika bertemu Xi. Sebab, Tiongkok memiliki potensi luar biasa untuk
melakukan investasi skala besar di Indonesia. Sebagai timbal balik, Jokowi
juga harus mampu menangkap peluang yang bisa digaet dari Tiongkok. Harus
diperhatikan, jangankan mengandalkan ekspor komoditas mentah, perekonomian
Indonesia harus lebih menciptakan nilai tambah.
Demi memenangi kompetisi global, ekonomi
berbasis konsumsi harus dialihkan pada ekonomi yang lebih berorientasi produksi
dan investasi. Karena itu, Indonesia harus berkomitmen mempercepat
pembangunan infrastruktur, merevitalisasi manufaktur, meningkatkan investasi,
serta mendorong industri maritim.
Poros Maritim
Visi Indonesia sebagai poros maritim global
sesungguhnya menciptakan berbagai peluang kerja sama dengan Tiongkok yang
berpotensi menguntungkan kita. Pasalnya, visi itu sejalan dengan rencana
Tiongkok untuk menghidupkan kembali jalur sutra yang pernah berjaya pada abad
ke-12. Digagas Xi pada 2013, Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 menargetkan kerja
sama saling menguntungkan dengan sejumlah negara di sepanjang jalur itu.
Sebagai negara maritim, wilayah geografis Indonesia merupakan salah satu rute
terpenting yang dilewati jalur tersebut.
Jika dibandingkan dengan negara-negara maritim
lain yang bersinggungan dengan jalur sutra seperti Jepang dan Filipina,
Tiongkok, tampaknya, lebih nyaman bekerja sama dengan Indonesia. Dalam
persaingan geopolitik kawasan, Tiongkok menganggap Jepang sebagai rival
terberat yang berpotensi menghambat geliat Sang Naga menapaki jalan sebagai
negara adidaya pada masa depan.
Aneka persoalan di kawasan seperti sengketa
perbatasan dan revitalisasi kekuatan militer membuat hubungan dua kekuatan
ekonomi global tersebut tidak harmonis. Karena itu, Tiongkok tidak akan
menjadikan Negeri Matahari Terbit sebagai mitra strategisnya. Tiongkok juga
tidak bakal melirik Filipina karena negara itu tidak memiliki pengaruh
sebesar Indonesia.
Bagaimanapun, harus diakui, Indonesia tetap
merupakan negara dengan kekuatan pengaruh regional yang sangat besar di Asia
Tenggara. Negara kita tidak hanya memiliki wilayah paling luas, tetapi juga
jumlah penduduk terbanyak di kawasan. Kala Jokowi aktif membangun aliansi ke
sejumlah negara demi pencapaian visi poros maritim, Tiongkok tentu
menangkapnya sebagai peluang yang sangat menguntungkan.
Namun, harus diwaspadai, basis ekonomi kita
tidak sekuat Tiongkok. Berbeda dengan
Indonesia yang meskipun basis ekonominya rapuh, tetapi berani membuka pintu
seluas-luasnya bagi investasi asing; Tiongkok lebih memilih memperkuat
fundamental ekonominya terlebih dahulu sebelum membukanya bagi dunia luar. Karena itu, penting
bagi Jokowi untuk terus memperkuat basis ekonomi nasional. Sebab, itulah
syarat utama untuk bersaing secara kompetitif pada era perdagangan bebas
kontemporer.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar