Jumat, 27 Maret 2015

Makna Strategis Kunjungan Jokowi ke Tiongkok

Makna Strategis Kunjungan Jokowi ke Tiongkok

Ahmad Safril  ;  Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
JAWA POS, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

PADA 25–28 Maret 2015, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok. Dalam waktu lima bulan pada awal pemerintahannya, inilah lawatan kedua Jokowi ke Negeri Tirai Bambu. Sebelumnya, 9–11 November tahun lalu, presiden ketujuh Indonesia tersebut juga bertandang ke Tiongkok untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi APEC. Dalam kesempatan itu, Jokowi mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pertemuan serupa kembali diadakan dua pemimpin negara itu di Beijing, Kamis (26/3).

Dua kali pertemuan bilateral Jokowi dan Xi dalam kurun kurang dari lima bulan menunjukkan betapa eratnya hubungan Indonesia-Tiongkok sekarang. Karena itu, kunjungan Jokowi memiliki makna strategis bagi Indonesia ke depan. Negara kita bisa memanfaatkan posisi Tiongkok sebagai raksasa ekonomi global untuk bersinergi memperkuat hubungan dagang demi perbaikan ekonomi nasional. Peluang itu terbuka lebar karena visi poros maritim global yang digagas Jokowi bersinggungan langsung dengan visi jalur sutra yang dicetuskan Xi.

Peluang Dagang

Sepanjang dua dekade terakhir, Indonesia dan Tiongkok terus meningkatkan hubungan bilateral. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Tiongkok memberikan bantuan keuangan dan fasilitas kredit kepada Indonesia dengan menyepakati kerja sama keuangan, teknologi, perikanan, dan pariwisata serta menukar LNG Indonesia dengan produk-produk Tiongkok.

Kerja sama energi itu berlanjut pada era Presiden Megawati Soekarnoputri dengan ditandatanganinya nota kesepahaman pada 24 Maret 2002 yang menjadi payung investasi Tiongkok di Indonesia dalam bidang energi. Puncaknya, ketika Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, pada 25 April 2005, kedua negara mendeklarasikan kemitraan strategis dalam bidang politik keamanan, ekonomi pembangunan, dan sosial budaya.

Kemitraan strategis berdampak signifikan bagi relasi Indonesia-Tiongkok. Sejak penandatanganan kemitraan itu sepuluh tahun lalu, volume perdagangan kedua negara terus meningkat. Buktinya, rata-rata nilai perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok selama satu dekade terakhir mencapai USD 48 miliar.

Berdasar data Biro Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2013, total nilai perdagangan Indonesia-Tiongkok mencapai USD 50,85 miliar dan berpotensi melonjak hingga USD 68,35 miliar pada tahun ini. Sayangnya, di tengah lonjakan itu, Indonesia justru mengalami defisit neraca perdagangan sekitar USD 7,99 miliar.

Realitas itu mengindikasikan adanya hal yang mendesak diperbaiki dalam perekonomian Indonesia. Melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini semestinya bisa menjadi sinyal perbaikan ekonomi. Di satu sisi, harus diakui bahwa keperkasaan dolar telah membobol daya tahan mata uang kita. Di sisi lain, depresiasi rupiah dapat melindungi daya saing Indonesia sehingga menjadikan investasi di negara kita sangat menarik dan kompetitif sebagai basis produksi.

Peluang itulah yang harus ditawarkan Jokowi ketika bertemu Xi. Sebab, Tiongkok memiliki potensi luar biasa untuk melakukan investasi skala besar di Indonesia. Sebagai timbal balik, Jokowi juga harus mampu menangkap peluang yang bisa digaet dari Tiongkok. Harus diperhatikan, jangankan mengandalkan ekspor komoditas mentah, perekonomian Indonesia harus lebih menciptakan nilai tambah.

Demi memenangi kompetisi global, ekonomi berbasis konsumsi harus dialihkan pada ekonomi yang lebih berorientasi produksi dan investasi. Karena itu, Indonesia harus berkomitmen mempercepat pembangunan infrastruktur, merevitalisasi manufaktur, meningkatkan investasi, serta mendorong industri maritim.

Poros Maritim

Visi Indonesia sebagai poros maritim global sesungguhnya menciptakan berbagai peluang kerja sama dengan Tiongkok yang berpotensi menguntungkan kita. Pasalnya, visi itu sejalan dengan rencana Tiongkok untuk menghidupkan kembali jalur sutra yang pernah berjaya pada abad ke-12. Digagas Xi pada 2013, Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 menargetkan kerja sama saling menguntungkan dengan sejumlah negara di sepanjang jalur itu. Sebagai negara maritim, wilayah geografis Indonesia merupakan salah satu rute terpenting yang dilewati jalur tersebut.

Jika dibandingkan dengan negara-negara maritim lain yang bersinggungan dengan jalur sutra seperti Jepang dan Filipina, Tiongkok, tampaknya, lebih nyaman bekerja sama dengan Indonesia. Dalam persaingan geopolitik kawasan, Tiongkok menganggap Jepang sebagai rival terberat yang berpotensi menghambat geliat Sang Naga menapaki jalan sebagai negara adidaya pada masa depan.

Aneka persoalan di kawasan seperti sengketa perbatasan dan revitalisasi kekuatan militer membuat hubungan dua kekuatan ekonomi global tersebut tidak harmonis. Karena itu, Tiongkok tidak akan menjadikan Negeri Matahari Terbit sebagai mitra strategisnya. Tiongkok juga tidak bakal melirik Filipina karena negara itu tidak memiliki pengaruh sebesar Indonesia.

Bagaimanapun, harus diakui, Indonesia tetap merupakan negara dengan kekuatan pengaruh regional yang sangat besar di Asia Tenggara. Negara kita tidak hanya memiliki wilayah paling luas, tetapi juga jumlah penduduk terbanyak di kawasan. Kala Jokowi aktif membangun aliansi ke sejumlah negara demi pencapaian visi poros maritim, Tiongkok tentu menangkapnya sebagai peluang yang sangat menguntungkan.

Namun, harus diwaspadai, basis ekonomi kita tidak sekuat Tiongkok. Berbeda dengan Indonesia yang meskipun basis ekonominya rapuh, tetapi berani membuka pintu seluas-luasnya bagi investasi asing; Tiongkok lebih memilih memperkuat fundamental ekonominya terlebih dahulu sebelum membukanya bagi dunia luar. Karena itu, penting bagi Jokowi untuk terus memperkuat basis ekonomi nasional. Sebab, itulah syarat utama untuk bersaing secara kompetitif pada era perdagangan bebas kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar