Harga Beras yang Wajar
Adhi S Lukman
; Anggota Pokja
Ahli Dewan Ketahanan Pangan Indonesia;
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh
Indonesia
|
KOMPAS,
28 Maret 2015
Gonjang-ganjing lonjakan harga beras jadi
salah satu topik hangat di awal 2015.
Berbagai analisis dilakukan untuk mencari
penyebabnya. Di antaranya disebutkan karena keterlambatan panen, pemerintah
bertekad menghentikan impor beras dan bahkan ada analisis karena permainan
”mafia” hingga dikaitkan dengan adanya kompleksitas permafiaan dengan
komoditas lain, seperti gula, sehingga mendistorsi pasar.
Apakah demikian? Apakah kenaikan tersebut
wajar atau memang benar-benar spektakuler? Di Kompas edisi 5 Maret 2015
dilaporkan dengan judul ”Harga Beras Menjadi Pelajaran”. Dari laporan itu
diperoleh informasi, kenaikan selama 2015 sekitar 11,5 persen dibandingkan
2014. Kiranya pemerintah perlu punya tolok ukur kenaikan harga yang wajar
agar tidak selalu terjadi kepanikan.
Memang, beras menjadi salah satu bahan pokok
yang berkontribusi besar terhadap inflasi. Pada 2014, inflasi ditutup pada
angka 8,36 persen, di mana 2,06 persen dikontribusi oleh bahan pangan segar (Badan Pusat Statistik, 2015).
Kenaikan harga beras menahan laju deflasi di
Februari 2015. Pemerintah ingin mengendalikan inflasi untuk kepentingan
masyarakat luas dan sebaliknya juga tentu ingin melindungi petani dengan
memberikan kewajaran nilai tukar seperti yang diamanatkan dalam UU No 19/2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP). Mari kita lihat harga
beras dibandingkan dengan beberapa faktor lain untuk menentukan kewajarannya.
Bisa jadi kenaikan harga karena penurunan area
tanam padi serta produksinya, sementara permintaan naik karena penambahan
jumlah penduduk. Melihat laporan BPS, terjadi penurunan area tanam padi dari
13,25 juta hektar pada 2010 menjadi 12,67 juta hektar pada 2013. Terlihat
adanya penurunan luas lahan berkelanjutan meskipun produksi berfluktuasi
berkisar 65,6 juta-67,3juta ton pada 2010-2013.
Berdasarkan survei BPS, kenaikan harga gabah
kering giling (GKG) tidak selalu beriringan dengan kenaikan harga beras.
Berdasarkan data survei, harga rata- rata beras selalu naik dari tahun 2010
sampai 2013 sebagai berikut Rp 6.772, Rp 7.245, Rp 8.738, danRp 8.823.
Sementara GKG berturut-turut adalah Rp 3.598, 4.102, 4.536, dan 4.674.Ada
periode tertentu kenaikan harga beras jauh di atas kenaikan GKG, yaitutahun
2012, kenaikan harga beras 20,60 persen, sementara GKG hanya 10,58 persen.
Hal ini menunjukkan petani tidak selalu menikmati kenaikan harga beras yang
tinggi.
Apabila dibandingkan dengan inflasi, pada 2013
dan 2014 kenaikan harga beras sebenarnya masih jauh di bawah inflasi,
meskipun sudah di atas harga yang dijamin pemerintah melalui inpres.Dalam
kondisi demikian tentunya petani merasakan nilai tukarnya semakin rendah dan
tergerus oleh inflasi.
Namun, ada periode tertentu kenaikan harga
beras jauh di atas inflasi, seperti terjadi pada 2012, lonjakan harga beras
hampir lima kali inflasi. Inflasi sejak tahun 2010 sampai 2014 adalah 6,96
persen, 3,79 persen, 4,30 persen, 8,38 persen, dan 8,36 persen. Sementara
persentase kenaikan harga beras dari tahun 2011 sampai 2014 adalah 6,98
persen, 20,60 persen, 0,98 persen, dan 2,27 persen (diolah dari data BPS dan
Badan Ketahanan Pangan).
Menentukan batas wajar
Apabila dibandingkan dengan harga
internasional (perbandingan dengan harga beras Thailand karena Thailand
merupakan salah satu pemasok beras terbesar di dunia), ada disparitas
perubahan harga beras. Harga beras Indonesia selalu di atas harga
internasional. Perubahan harga beras Thai White 100% B second grade
berturut-turut 9,07 persen, 4,07 persen, dan (-)9,18 persen pada 2011-2013.
Sementara kenaikan harga beras di Indonesia hampir selalu jauh di atas harga
internasional pada periode sama seperti terlihat pada data di atas. Ini
mengindikasikan ada yang perlu dibenahi dalam komponen produksi beras
Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya
Seperti diamanatkan dalam UU PPP, tentunya
pemerintah perlu memberikan perlindungan kepada petani seperti dilakukan di
banyak negara. Faktor inflasi harus menjadi pedoman utama dalam menentukan
kewajaran harga beras agar minimal nilai tukar petani tidak semakin tergerus.
Namun, kenaikan yang jauh di atas inflasi, apalagi dibandingkan dengan harga
internasional, akan menjadi bumerang bagi pemerintah dalam upaya
merealisasikan ketahanan pangan.
Jika dilihat dari analisis di atas, kenaikan
harga beras fluktuatif dan kadang jauh di bawah inflasi, tetapi lebih sering
di atas harga internasional. Karena itu, pemerintah perlu menentukan patokan
kenaikan (di samping jaminan harga dasar yang sudah dilakukan) dengan
merumuskan, misalnya ”kenaikan wajar maksimum = (inflasi + X)”, di mana X
merupakan nilai kesepakatan yang ditentukan agar nilai tukar petani meningkat
secara bertahap dan bisa meningkatkan kesejahteraan petani serta bisa menjadi
daya tarik bagi generasi muda untuk terjun menjadi petani.
Nilai X dievaluasi secara periodik dengan berbagai
faktor konsideran. Misalnya, inflasi tahun lalu 8,36 persen, dan disepakati
nilai X = 1, maka kenaikan wajar adalah maksimum 9.36 persen. Minimal
pemerintah mempunyai patokan terukur (batas atas dan bawah) dan sepanjang
kenaikan tidak melebihi nilai tersebut, tak perlu terjadi kepanikan dan
perdebatan tentang kewajarannya.
Namun, perlu menjadi catatan bagi pemerintah
mengingat harga beras di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan
internasional, perlu dilakukan upaya peningkatan produktivitas dengan konservasi
lahan yang jelas, ekstensifikasi dan intensifikasi melalui teknologi, dan
input produksi, seperti benih, pupuk serta good agriculture practices (GAP). Diharapkan harga beras akan
lebih rendah, yang berkontribusi pada penurunan inflasi, akan tetapi marjin
petani meningkat.
Ujungnya, petani senang, masyarakat senang,
serta ekonomi sehat dan pemerintah kuat. Semoga pemerintah bisa menambahkan
harga patokan wajar (HPW) di samping penentuan harga pokok produksi (HPP)
gabah/beras yang sedang dalam proses pembahasan, tentu denganmempertimbangkan
semua faktor di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar