Maling, Copet, Garong, dan Begal
Mohamad Sobary
; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 30 Maret 2015
Di dalam
kebudayaan kita dikenal suatu jenis profesi yang disebut maling, copet,
garong, dan begal. Maling juga sering disebut ”kecu” dalam bahasa Jawa dan
kita tahu, dalam bahasa Indonesia, keduanya berarti pencuri.
Maling, kecu,
dan pencuri memiliki dua jenis pengertian. Pertama, makna ketiganya sama
dengan isi kandungan ketiga kata itu. Jadi maling ya maling, kecu ya kecu ,
dan pencuri ya pencuri. Kita tak memerlukan sebuah kamus untuk memahami
ketiganya.
Tapi maling,
kecu, dan pencuri bila diucapkan dengan tekanan yang mengandung kemarahan
atau kejengkelan, maka ketiga kata itu berubah dari dirinya sebagai kata
benda, yang bersifat kategoris, menjadi kata makian yang penuh mengandung
nilai.
Di sini
kelihatannya jelas ada pergeseran makna. Copet agak berbeda. Konotasinya,
secara umum, juga maling. Tapi wilayah dan waktu ”beroperasinya” lain. Pada
umumnya pencopetan dilakukan pada siang hari, di suatu tempat yang penuh
kerumunan orang-orang, yang berdesak- desakan.
Si pencopet–
mungkin di atas bus atau di dalam deretan orang-orang yang antre membeli
karcis untuk menonton sepak bola–beroperasi dengan cara mengamati kelengahan
atau ketidaksadaran korbannya. Maling, dengan contoh kecilkecilan seperti
maling jemuran, pada prinsipnya sama: si maling melakukan pekerjaannya di
saat korbannya lengah. Misalnya lupa ”mengamankan” jemurannya.
Bisa juga
dilakukan pada malam hari ketika korbannya sedang tidur. Di sini copet dan
maling memiliki kesamaan dalam ”etika” kerjanya—jika cara kerja tukang copet
dan maling bisa dianggap mengandung etika— yaitu bahwa kedua-duanya bekerja
dari ”belakang”, diamdiam, di saat korbannya tidak sadar sepenuhnya.
Mungkin ada
sedikit perbedaan antara keduanya: maling, terutama yang sangat profesional
dan beroperasi dalam skala besar-besaran, biasanya bukan hanya menunggu
korbannya lengah, tetapi sengaja membuat mereka lengah dengan menggunakan
ilmu sirep . Ilmu ini dilontarkan dengan sengaja untuk membuat korbannya dan
seluruh anggota keluarga mereka tertidur pulas.
Dengan begitu
si maling bebas beroperasi tanpa terburu-buru. Kemampuan maling melontarkan
ilmu sirep yang membikin korbannya terlelap sering diikuti tindakan
menjengkelkan: si maling sempat makan dulu di dapur, dengantenangnya, baru
kemudian mengumpulkan benda-benda yang diinginkannya, kemudian ”minggat”.
Kita tahu,
maling itu masuk rumah korbannya dengan, antara lain, mbabah, yaitu melubangi
tembok bagian belakang rumah sang korban. Jadi, sekali lagi, maling dan copet
bekerja dari ”belakang”, relatif diam-diam, di saat si korban tak sepenuhnya
sadar. Garong memiliki modus yang berbeda.
Prinsipnya
garong juga pencuri, tetapi si garong melakukannya dengan blak-blakan. Jika
tuan rumah sudah tidur, si garong membangunkannya, minta dibukakan pintu.
Dengan todongan senjata tajam atau senjata api yang lebih berbahaya lagi,
tuan rumah diminta secara paksa menunjukkan di mana barang-barang berharga
miliknya disimpan.
Jika terjadi
perlawanan, tuan rumah bisa dilukai dengan penuh kekerasan atau bahkan
dibunuh dengan kejam. Kekerasan dan kekejaman terbuka menyertai proses
penggarongan tadi. Adapun mengapa si garong berani melakukan itu, karena,
pertama, si garong memang orang berilmu, kebal segala jenis senjata, atau ada
unsur sedikit nekat, semata karena dia bersenjata.
Garong itu
pencuri disertai, kadang-kadang, pembunuhan. Ada orang yang menggarong
tetangga sendiri dengan menyamarkan dirinya. Wajahnya ditutup hingga tak
dikenali tuan rumah. Tapi ”drama” ini sering bersifat kecil-kecilan, tidak
profesional, dan mudah ditelusuri jejaknya sebelum pada akhirnya ditangkap
hampir tanpa kesukaran. Tapi garong profesional tidak takut ditangkap. Kantor
polisi atau penjara mungkin merupakan ”rumah” keduanya.
Garong yang
hebat bisa lolos dari kejaran polisi dan massa yang marah. Bahkan, ada yang
bisa lolos dari penjara melalui jalan yang kita tak bisa memahaminya karena
dia memiliki ilmu-ilmu yang hebat. Selain itu, garong bekerja dengan rapi,
didahului intelijen atau matamata, yang bekerja dengan baik.
Penggarongan
yang sukses ditentukan beberapa hari sebelum hari terjadinya peristiwa itu.
Intelijen memainkan peran sangat penting. Dalam tingkat tertentu, maling juga
memiliki intelijen yang bekerja secara cermat beberapa hari sebelum
pemalingan dilakukan. Bagi maling, ada hari tertentu di mana dia tak boleh
melakukan tindakan ”maling” atau mencuri.
Ada hari
nahas yang harus dijauhi. Jika dia melanggar pantangan ini, dia bakal celaka.
Tapi garong dan copet tak mengenal sama sekali perhitungan waktu seperti itu.
Fenomena begal lebih unik. Ada unsur copet, ada pula unsur garong. Di
dalamnya sikap nekat dan wujud kekerasan hadir secara mencolok.
Begal
beroperasi di tempat-tempat kegelapan dan jauh dari wilayah hunian penduduk.
Dengan kata lain, begal memilih wilayah operasi di daerah-daerah sepi dan
seram serta menakutkan. Para begal juga membawa senjata. Korban yang melawan
dilukai tanpa ragu-ragu atau dibunuh sekalian untuk menghilangkan jejak.
Dengan gagah
berani begal selalu bertanya kepada korbannya: harta atau nyawa? Maksudnya,
kalau sayang nyawa, serahkan harta yang dibawanya dengan penuh damai dan
tanpa kekerasan. Tapi, jika sayang harta, tanpa pertimbangan lebih lanjut,
senjata yang berbicara.
Orang biasa
pada umumnya dengan sukarela menyerah. Yang penting selamat dan ini
menggembirakan si begal. Dia atau dia dan rombongannya, bekerja cepat,
efisien, tanpa mengeluarkan keringat. Tapi jika korbannya orang hebat dan
berani melawan, kawanan begal itu harus bekerja keras dan lebih lama. Tak
jarang si begal lari ngacir .
Ada begal
yang belum profesional dan cara menggertak korbannya pun keliru. Seharusnya
dia bertanya: harta atau nyawa. Tapi begal yang masih ”plonco” ini bertanya,
dalam bahasa Jawa: banda (harta) atau yatra (uang), yang juga harta. Jadi dia
bertanya: harta apa harta. Garong satu ini hanya menjadi lelucon. Ketika
digertak oleh korbannya, dialah yang ketakutan.
Tanpa
bermaksud menghina, melecehkan, atau menurunkan derajat mereka yang luhur dan
mulia, orang-orang kantor yang penampilannya gemerlap itu sebenarnya, maaf
beribu maaf, tidak lebih dari begal. Dana untuk rakyat dibegal di tengah
jalan. Beras buat rakyat dibegal sebelum sampai ke tangan rakyat. Mereka
begal agung, begal mulia, begal berpangkat tapi tak tahu malu.
Mereka orang
partai yang miskin berubah mendadak jadi kaya, orang pemerintahan yang merasa
negeri ini peninggalan nenek moyang mereka, maka dengan seenaknya membegal
segala macam yang bisa dibegal. Selain itu, mereka juga maling, kecu, copet,
garong, dan sejenisnya.
Rumah mereka
berisi barang colongan, copetan, garongan. Kekayaan mereka hasil nyolong,
maling, membegal, merampok, dan sejenisnya. Kalau tertangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), mereka punya pembela. Ada lawyer khusus yang
membela mereka. Lawyer macam itu juga makan duit-duit garongan, copetan,
begalan, dan malingan.
Mereka lebih
berbahaya. Maling, copet, garong, begal yang diburu-buru polisi itu tak
seberapa. Maling, copet, garong, dan begal di kantoran lebih menakutkan
karena bisa bikin rakyat jatuh miskin dan negara bangkrut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar