Orasi
Kepala Bappenas dan Ilmu Sosial nan Individual
Geger Riyanto ; Bergiat di Koperasi Riset Purusha dan
Penerbit Kepik;
Tengah merampungkan studi Antropologi
|
INDOPROGRESS,
18 Maret 2015
ORASI
Kepala Bappenas Andrinof Chaniago di FISIP UI tempo hari (02/02), merupakan
tawaran yang, pertama-tama, sekurangnya patut diperhatikan. Mengusung tema
“Pengarusutamaan Bidang Sosial dan Budaya dalam Perencanaan Pembangunan
Nasional Indonesia,” Andrinof menekankan—dan tak hanya selintas-dua lintas—pembangunan
tak seyogianya lagi semata membidik sektor ekonomi. Pembangunan ekonomi urgen
namun sektor sosial dan budaya merupakan prioritas mutlak yang juga tak patut
dikesampingkan.
Saya
kira, tak akan ada keberatan berlebihan bila dikatakan Indonesia modern
didirikan dan dijalankan dengan kacamata pembangunan ekonomi. Sepanjang
nyaris lima puluh tahun terakhir, pemerintahan silih berganti. Komposisi
kekuatan yang menentukan bagaimana negeri ini dikelola terus-menerus
bergeser—drastis, bahkan. Teknokrat, militer, keluarga presiden, Islam,
parpol, kepala daerah, dan daftarnya masih akan terus bergulir… Namun satu
kehirauan yang tak pernah surut adalah, siapa pun pemegang jabatannya,
pertumbuhan harus digenjot.
Dan
mungkin mereka yang penat dengan situasi ini beruntung: Andrinof sendiri
tampaknya adalah sosok yang paling mahfum dengan keterpakuan kebijakan
Indonesia kepada pertumbuhan dari masa ke masa. Bappenas sendiri, yang kini
dipimpinnya, punya sejarah panjang sebagai lembaga yang diamanahi menjamin
pembangunan dilangsungkan menaati kaidah pertumbuhan yang, disadari atau
tidak, digariskan W. W. Rostow tersebut. Untuk memastikan semua instansi
mengindahkannya, pada masanya Bappenas dimandati kekuasaan yang tak bisa lagi
sekadar disebut besar. Kewenangannya merentang dari mengusulkan rencana
pembangunan, menyelaraskan kebijakan kementerian-kementerian, dan merancang
anggaran negara. Kendati kini pengaruh lembaga ini sudah tak semegah
bayang-bayangnya di masa silam, mendengar Kepala Bappenas punya perhatian kepada
bidang sosial dan budaya, sekurang-kurangnya, mengundang ekspektasi akan
adanya perubahan. Kalaupun pemikiran Andrinof sendiri tak sampai mendorong
pemerintah sebagai keseluruhan menggeser paradigmanya—dan ini muluk-muluk,
kita paham, di sebuah pemerintahan yang bahkan oksimoron untuk disebut
“sebuah”—ia setidaknya menaruh isyarat yang diperhatikan bahwa cara kita
menata kehidupan harus berubah.
Wacana
yang disampaikan Andrinof sekilas tak akan menuai apa-apa selain anggukan.
Kebijakan-kebijakan tak seyogianya sekadar dirancang dan diharapkan, di ujung
hari nanti, mendorong angka pertumbuhan yang mencengangkan. Dampaknya bagi
kualitas kehidupan masyarakat harus benar-benar diawasi: tak ada yang bisa
dibanggakan dari pertumbuhan yang berujung pada kesenjangan, tergerusnya
keamanan hidup, atau kerusakan ekologis. Dan ancaman-ancaman yang harus
diwaspadai itu pun, tampak tak pernah lebih nyata dari hari ini. Rasio gini
Indonesia beberapa tahun terakhir paling tinggi dalam sejarah sejak
pengukuran ketimpangan kekayaan yang disusun Corrado Gini diterapkan di
negara ini. Empat puluh orang terkaya Indonesia, data Forbes menunjukkan,
memiliki kekayaan yang sama dengan 60 juta penduduk termiskin.
Namun,
gagasan Kepala Bappenas tersebut pun bukannya tanpa masalah. Pada titik ini
saya harus berhenti mengapresiasi dengan hangat inisiatif Kepala Bappenas.
Satu hal yang bisa kita cermati dari orasi tersebut adalah setiap kali
keperluan menggarap sektor sosial dan budaya diangkat, ia senantiasa
dipertautkan dengan kebutuhan Indonesia akan mentalitas unggul. Pengusaha,
melalui revolusi mental sebagai bentuk pembangunan menyeluruh tersebut, akan
memiliki watak kreatif, inovatif, serta dimuati etos bisnis; pekerja akan
berdedikasi, taat aturan, dan punya komitmen; aparatur pemerintahan menjadi
jujur, bersih, dan antikorupsi. Komitmen-komitmen manis menggarap keunggulan
bangsa ini, saya mulai dari keberatan yang paling halus dahulu, bukan hal
yang sama sekali baru dan saya merasa perlu mengangkat ini karena kita tengah
dijanjikan sebuah wacana yang revolusioner. Budaya unggul, kita ingat,
sebelumnya sempat menjadi retorika yang digadang-gadang SBY. Pada satu waktu,
bahkan, di mana SBY ada, di sana ungkapan budaya unggul ada. Dan siapa yang
menginspirasi SBY? Para pakar manajemen berkulit putih yang senantiasa tampil
dengan pembawaan optimistis, tegak, meyakinkan, dan tentu saja… Barat.
Nama-nama seperti Stephen Covey, Napoleon Hill, John C. Maxwell, saya yakin,
bukanlah nama-nama yang asing bagi SBY atau yang bertanggung jawab menyusun
naskah pidatonya.
Tetapi
ketidakorisinalan baru satu aspek dan mungkin aspek yang paling tidak
berbahaya dari gagasan pengarusutamaan bidang sosial dan budaya Andrinof.
Kita patut memasang mata ke satu idiom yang terdengar netral namun punya muatan
yang sejatinya nan politis: unggul. Unggul merupakan ekspresi yang saat ini
merangsek ke setiap seluk kehidupan modern kita. Setelah kita mendengarnya
dari motivator-motivator entah yang datang ke sekolah, kantor, bacaan, atau
acara televisi—sungguh, mereka ada di mana-mana!—kini kita mendengarnya
kembali dari penekanan akan pentingnya pembangunan sosial dan budaya
melahirkan pribadi-pribadi unggul. Tetapi siapa yang tak mau menjadi unggul,
pertanyaannya? Dalam nalar awam, unggul merupakan prasyarat sukses.
Sayangnya, ini bukan soal unggul atau tidak unggul, tetapi kerentanan idiom
klise ini mendorong lebih jauh penerimaan terhadap ekonomisasi kehidupan
sosial. Manakala kata unggul dicetuskan, kita diajak membayangkan bahwa
kehidupan merupakan kompetisi sengit di mana hanya diri yang paling mampu
memuaskan ekspektasi pihak-pihak yang membutuhkan yang akan berhasil. Dari
manakah cara berpikir ini kalau tidak berasal dari cara berpikir ekonomistis
yang terbiasa membingkai setiap bentuk hubungan sosial sebagai penawaran,
permintaan, dinamika pemuasan kepentingan?
Gejala
ini—ekonomisasi kehidupan sosial, sebut saja—tentu saja bukan fenomena yang
baru. Namun ia semakin liar merasuk hingga ke lini-lini terkecil kehidupan
beberapa dekade terakhir. Bila harus menunjuk gejalanya, saya akan
menunjukkan ketidakberesan yang mungkin sudah terlalu jelas bagi kita,
pembaca media ini: pengeluaran-pengeluaran kita acap dipilah antara investasi
atau buang-buang uang. Manusia—diri kita sendiri tak terkecuali—tak enggan
dan bahkan bangga disebut sebagai sumber daya. Dan idiom unggul sendiri,
pertanyaannya, berasal dari mana kalau bukan dari konsep keunggulan
komparatif yang sebelumnya lazim dan hanya lazim dipakai menggambarkan cara
berpikir perdagangan antar-negara? Foucault punya satu gambaran jitu
bagaimana insan manusia didudukkan maupun mendudukkan dirinya sendiri dalam
situasi neoliberal ini. “[M]anusia adalah wiraswasta atas dirinya sendiri.”
Dan, kita melihat, gagasan pengarusutamaan bidang sosial-budaya Andrinof
rentan menggalibkan ideologi ini. Lebih-lebih, Andrinof sendiri menyampaikan:
“social development is basically
economic development.” Bila boleh saya menerjemahkan pernyataan ini—dan
semoga saya salah—pembangunan sosial dianggap menjadi berarti bukan karena ia
sendiri memang genting melainkan lantaran punya signifikansi ekonomistis.
Bila
tafsiran di atas benar, saya kira, kita berada dalam situasi yang tak
menyenangkan. Gagasan ini, pasalnya, bukan sekadar gagasan siapa-siapa
melainkan gagasan salah satu penafsir paling strategis revolusi mental yang
membacakan orasinya di depan salah satu fakultas ilmu sosial paling
prestisius di negerinya. Syukurnya—seandainya ini bisa disyukuri—kita tak
sendirian. Kita berkutat dalam kesahajaan berpikir yang berlarut-larut memasung
pengelola negara kita maupun negara-negara lain dari masa ke masa dan
berdampak, disadari-tidak disadari, mewajarkan solusi neoliberal atas
persoalan-persoalan kehidupan sosial: menganggap masalah dari segala masalah
terpulang pada tabiat manusia secara perseorangan. Kalau sehimpunan besar
orang dianggap bermasalah, maka kebudayaan adalah akar permasalahannya. Dan
kebudayaan, kalau saya tak salah tangkap dari diskursus-diskursus teknokratik
yang silsilahnya lebih panjang dari republik ini sendiri, dipahami sebagai
tabiat Indonesia sebagai sesosok insan manusia besar. Lantas bila
persoalannya adalah ekonomi, keleletan birokrasi, oligarki yang mengganggu
tersalurkannya aspirasi warga, maka kebudayaan sang satu manusia besar ini
yang dianggap tidak kompetitif dan solusinya, tak mengagetkan: revolusi
watak.
Katakanlah
program-program revolusi mental suatu hari nanti tak menyelesaikan
permasalahan kualitas hidup, apakah yang hendak dituding sebagai biang
keladinya? Apakah karakter masyarakat yang terlalu bebal dan tak mau
direvolusi menjadi kreatif, profesional, gigih? Kita perlu memahami bahwa
jangan-jangan mentalitas bukanlah problem melainkan sekadar gejala, dan
mereformasi individu jangan-jangan justru akan memperkeruh keadaan yang sudah
keruh. Mari pikirkan dalam nalar awam saja—yang sebenarnya juga
menyederhanakan tapi lebih masuk akal ketimbang penyederhanaan pertama:
bukankah penciptaan insan-insan kompetitif justru akan membenarkan persaingan
kejam yang mengalienasi mayoritas orang yang terlahir tak cukup beruntung
diwarisi akses dan fasilitas? Bukankah memperlakukan manusia sebagai sumber
daya justru akan kian menempatkan mereka sebagai objek perah yang tak masalah
dieksploitasi habis-habisan?
Pangkal
persoalan kualitas kehidupan sosial kita, bila mengamini Amartya Sen,
bukanlah kelangkaan sumber daya manusia apalagi alam. Ia adalah kemiskinan
dan tidak ada kemiskinan yang tidak politis. Kemiskinan diciptakan oleh
situasi yang menjauhkan kelompok-kelompok rentan dari akses yang mereka
perlukan untuk meningkatkan derajat kehidupannya. Memang, pernyataan ini
sangat generik dan tak menjelaskan banyak hal. Tapi saya merasa memiliki
keharusan menyampaikan bahwa Sen, yang sempat dikutip Andrinof, punya
pandangan seperti ini, dan ini setidaknya lebih realistis manakala kita mesti
mulai mendedah problem kualitas kehidupan sosial alih-alih berangkat dari
pandangan mistis yang mengandaikan Indonesia sebagai raksasa yang harus
direhabilitasi kejiwaannya. Pandangan pertama, dari Sen, akan membawa upaya
penelitian empiris lanjutan memeriksa kondisi keterhubungan antara para
pelaku. Tidak ada yang alami. Yang ada adalah keterhubungan, kemaujudan
sosial yang diciptakan pada satu konteks dan karenanya ia harus dipahami
dalam kesejarahannya. Sementara pandangan kedua, bila kita membaca Asal-usul
Kedaulatan, punya sejarah panjang memanipulasi orang-orang untuk memikirkan
setiap persoalan semata persoalan kita belum berdaulat atas diri kita
sendiri, atas orang lain, atau atas apa pun.
Dan
bila pada orasinya Andrinof menyebut pembangunan mensyaratkan partisipasi
ilmu sosial, sayangnya, saya kira, agenda ilmu sosial yang paling urgen agar
mempunyai andil yang tepat tidak terdapat pada naskah orasi Andrinof,
melainkan pada idiom yang jelas-jelas merupakan identitasnya sendiri: yang
sosial—kembali kepada yang sosial. Ilmu sosial, yang saya tahu, mengkaji yang
sosial. Tetapi, entah sejak kapan pastinya, kita tak bisa lagi membedakan
antara ilmu sosial dan ilmu individual. Kalau bukan sedang mengkaji
masyarakat yang diperlakukan seolah satu individu besar, ilmu sosial kita
bayangkan tengah mengkaji individu-individu kecil yang berserakan, terisolasi
satu sama lain, tak punya sejarah. Manakala menegaskan manusia Indonesia
harus dibangun seutuhnya, ambil saja, Andrinof secara tak mengejutkan
bersandar pada teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Betapa humanisnya,
memang, teori Maslow yang mengajukan manusia tak sebatas memiliki kebutuhan
fisiologis, rasa aman melainkan juga rasa memiliki, kasih sayang,
penghargaan, dan aktualisasi diri. Namun, teori luar biasa ini punya satu
kekurangan fatal: ia tak menjelaskan fakta riil apa pun. Bila faktanya
pencaplokan lahan warga oleh elite, manipulasi birokrasi, mobilisasi sentimen
religius terjadi dan pusparagam fenomena ini dijelaskan kesemuanya berangkat
lantaran manusia punya lima spektrum kebutuhan tersebut, maka apa yang telah
dijelaskan oleh teori Maslow? Elite, birokrat, dan agamawan butuh aktualisasi
diri? Inilah yang terjadi pada saat dimensi yang sosial dihilangkan—tak ada
yang terjelaskan. Telaah tergiring pada jawaban yang lebih punya fungsi
memuaskan, terutama karena kesan jawaban serba-benarnya kembali benar,
alih-alih menjelaskan.
Kendati
demikian, kita patut mensyukuri satu hal usai membaca orasi Kepala Bappenas.
Kita disadarkan pada betapa sulitnya memikirkan kehidupan sosial sebagai
kehidupan sosial, bahkan dalam pendedahan yang notabene pendedahan sosial.
Betapa sulitnya membayangkan peristiwa atau aktualitas tertentu berlangsung
bukan semata berkat kehendak manusia perseorangan, aparatus kejiwaannya
pribadi, ataupun kebutuhan-kebutuhan biologisnya sendiri, melainkan karena
mereka berinteraksi, menjalin persahabatan dan persekutuan, berbenturan,
berkonflik, menjaga komposisi kepentingan dan kekuatan, dan, tentu saja,
menjalani sejarah bersama-sama: karena mereka menjadi manusia hanya ketika
berada dalam totalitas sosialnya. Dan, siapa yang sangka, membelejeti
bayangan Indonesia sebagai sesosok raksasa asosial bahkan di antara kawula
akademik tampaknya akan membutuhkan perjalanan yang panjang? Betapa liatnya
ilusi individualitas menganyam bahkan insan-insan yang seharusnya paling bisa
kritis terhadapnya!
Membayangkan
bentuk pembangunan alternatif, karenanya, bukanlah kerja yang serta-merta
bisa dijalankan semudah mengundang ilmuwan sosial ambil andil nyata dalam
pekerjaan-pekerjaan teknokratis negara. Jebakan-jebakan godaan berpikir
mudah—ilusi realistis, bahasa Lefebvre—menganga di mana-mana. Revolusi
mental, dengan intervensi ilmu sosial dalam keadaan demikian, tetap rentan
menjadi reproduksi mental.
Jadi?
Berpikir nyata mungkin perlu lebih dulu dilakukan sebelum bertindak nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar