Perlukah Perppu Anti-ISIS?
Sidratahta Mukhtar
; Dosen tetap Ilmu
Politik dan Keamanan Internasional
FISIPOL UKI; Penulis buku “Militer dan Demokrasi” juga
“Politik Islam dalam Dunia yang Berubah” (2015)
|
SINAR
HARAPAN, 24 Maret 2015
Tampaknya pemerintah mulai resah menghadapi
ancaman ISIS yang berkembang pesat di Indonesia, dalam beberapa tahun
terakhir. Dalam sejarahnya, ISIS yang dideklarasikan Al Bagdadi, lahir dari
situasi krisis dan instabilitas politik dan agama di Timur Tengah.
Ketika gelombang demokrasi sampai ke Suriah,
berkecambahlah berbagai kelompok oposisi; sebagian murni merupakan gerakan
pro demokrasi. Lebih banyak lagi adalah kelompok-kelompok militan-radikal
dengan semangat sektarianisme keagamaan.
Ketika mendeklarasikan berdirinya “Negara
Islam” itu, dengan cepat ISIS memiliki pendukung di Indonesia. Berbagai
jaringan dan sel-sel terorisme yang berserakan mulai menemukan momentum baru
untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatannya, setelah negara (Polri, BNPT,
dan lembaga antiteror lainnya) mulai menghadapinya, baik dengan pendekatan
lunak maupun dengan pendekatan keras.
Menariknya, di tengah pemerintah memperkuat
peran dan langkah-langkah dalam penanggulangan terorisme, pendukung dan
anggota ISIS mengalami peningkatan. Bila pada 2014 diperkirakan baru sekitar
60 orang, dengan propaganda politik kekerasan yang mereka lakukan, kini
jumlahnya sudah meningkat drastis menjadi lebih dari 600 orang.
Saat ini pemerintah ingin mengajukan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu), untuk menghadapi maraknya warga
Indonesia yang memilih bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Tampaknya
pemerintah memandang migrasi dan keberangkatan warga Indonesia ke Irak dan
Suriah beberapa waktu lalu, menjadi dasar pertimbangan pemerintah; bahwa hal
itu sudah dikategorikan kegentingan dan situasi yang dipandang perlu untuk
membuat Perppu Anti-ISIS.
Pahadal, mestinya pemerintah memaksimalkan
kekuatan nasional dan lembaga-lembaga pemerintah terkait, untuk menghadapi
gelombang warga negara yang pindah dan bergabung dengan ISIS. Memang, harus
diakui gerakan dan internasionalisasi lembaga ISIS sangat cepat, baik dengan
menggunakan jaringan Al-Qaeda atau sel-sel terorisme di kawasan dan dunia
yang sudah ada; maupun dengan potensi dunia maya seperti media sosial, media
massa, juga jaringan internasional dan nasional yang tersedia.
Sebenarnya, pemerintah memiliki semua potensi
strategis dan taktis, dalam menanggulangi ancaman ISIS dan perkembangan
terorisme baru (new terrorism) di Tanah Air. Masalahnya, pemerintah kurang
dapat mensinergiskan dan menyingkronkan berbagai potensi yang ada.
Artinya, peran badan keamanan seperti Densus
88 Polri, BNPT, dan BIN belum memadai untuk menghadapi ancaman terorisme
ISIS. Oleh karena implementasi peran dan kerja pemerintah kurang mampu
menandingi pertumbuhan ISIS dalam dua tahun terakhir di Indonesia, pemerintah
perlu memberdayaan potensi strategis keamanan nasional dari unsur TNI,
pemerintah daerah, dan kementerian-kementerian terkait lainnya.
Pendekatan Keamanan
Komprehensif
Salah satu pendekatan pertahanan dan keamanan
yang masih problematis di Indonesia saat ini adalah belum adanya strategi,
pola, dan sistem keamanan yang dapat menyinergiskan peran serta tugas semua
instrumen keamanan nasional. Menghadapi ancaman perang asimetrik yang terjadi
seperti ISIS, tidak mungkin dapat diatasi dengan komprehensif tanpa kerja
sama dan koordinasi antaraktor dan lembaga keamanan nasional.
Masalahnya, RUU Keamanan Nasional (Kamnas)
yang dirancang untuk sinergi dan koordinasi tak kunjung rampung, setelah
lebih dari satu dasawarsa dibahas dalam program legislasi nasional. Indonesia
mengalami semacam ketakutan menyusun regulasi yang berbau “pendekatan politik
keamanan”, sebab pada masa lalu UU Antisubversi yang berlaku pada zaman Orde
Baru, digunakan untuk menjerat aktivis dan tokoh politik radikal, yang ketika
kita memasuki era demokratisasi dikategorikan sebagai kebijakan yang
melanggar HAM dan diskriminasi terhadap warga negara.
Namun, yang dapat dijadikan model adalah
negara seperti AS dan beberapa negara di Eropa yang membuat regulasi
antiterorisme yang menyerupai UU antisubversi, dan ternyata efektif dalam
menghadapi ancaman terorisme di tingkat domestik. Dalam konteks pemerintah
ingin membuat Perppu Anti-ISIS itu, mungkin lebih baik dilanjutkan pembahasan
RUU Kamnas agar menyempurnakan UU tentang Polri dan TNI yang ada dalam
kerangka sistem keamanan yang komprehensif ke depan.
Untuk menghadapi ISIS yang mendapat dukungan
yang cukup besar dari jaringan kelompok fundamentalisme di Indonesia, perlu
dilakukan dialog dan pendekatan kemanusiaan kepada mereka. Asas praduga tak
bersalah perlu dikedepankan, agar menimbulkan respek dan kepercayaan terhadap
pemerintah saat ini. Peningkatan kepercayaan terhadap pemerintah dapat
mengurangi harapan, dukungan, dan loyalitas pada ISIS.
Meskipun berbagai potensi terorisme dan
fundamentalisme yang berkembang di Indonesia saat ini dikategorikan sebagai
basis terorisme agama (religious terrorism), terdapat faktor-faktor yang
memberikan ruang bagi pilihan dan harapan masyarakat pada ISIS; yakni adanya
ketidakpastian politik, sosial dan ekonomi, serta ketidakpastian hukum.
Bila pemerintah dan masyarakat sipil dapat
mengatasi secara bersama masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan,
ketimpangan sosial, konflik sosial, dan korupsi, dengan sendirinya akan
muncul public trust yang memberi peluang bagi dukungan publik dan harapan
terhadap peran negara, dalam membangun masyarakat dan menciptakan keadilan
sosial bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu
terburu-buru membuat kebijakan Perppu Anti-ISIS. Pemerintahan kabinet kerja
Jokowi-Jusuf Kalla saat ini perlu memaksimalkan perannya dalam mengatasi
masalah-masalah sosial, pembangunan, dan kesejahteraan bangsa yang pada
akhirnya akan memberikan efek positif dan konstruktif pada perubahan
orientasi masyarakat yang menolak ancaman ISIS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar