Hak Paten Islam
Komaruddin Hidayat ;
Guru
Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 27 Maret 2015
Dalam dunia bisnis dan industri dikenal
istilah hak paten (copyright). Anda
tidak boleh sembarangan membuka outlet McDonalds, misalnya, tanpa seizin
pemilik hak patennya. Begitu pun merek-merek dagang lain, Anda tidak bisa
seenaknya menggunakan tanpa mengantongi izin pemiliknya. Bahkan meniru sebuah
produk lalu dilempar ke pasaran, Anda akan terkena delik pidana. Sedemikian
ketat pengaturan tentang hak paten atas merek-merek dan nama. Termasuk jika
ingin mendirikan dan mendaftarkan nama sebuah yayasan atau badan usaha ke
pemerintah, Anda harus mencari nama baru yang belum dipakai pihak lain.
Lalu bagaimana dengan nama atau merek Islam
yang sedemikian menyejarah, mendunia, dan pengaruh nama itu sangat kuat dalam
benak masyarakat? Di sinilah uniknya. Tak ada instansi atau figur siapa pun
yang bisa mengklaim sebagai pemilik nama dan kata ”Islam” yang kepadanya
orang mesti minta izin dan membayar royalti ketika menggunakan nama Islam
untuk usaha ekonomi dan gerakan politik.
Ini berbeda dari nama NU atau Muhammadiyah,
meskipun agendanya adalah gerakan Islam, masih ada instansi dan mekanisme
untuk memperoleh nama itu. Sedangkan kata Islam, siapa yang berhak melarang
atau mengizinkan ketika kata itu dijadikan label bisnis, politik, usaha
sosial, dan entah apa lagi? Pertanyaan ini muncul karena akhir-akhir ini kata
Islam tidak selalu menimbulkan kesan dan asosiasi sebagai gerakan keagamaan
yang mengajarkan kedamaian, kecerdasan, dan peduli pada peradaban, melainkan
justru sebaliknya.
Pada tingkat global ketika Islam melekat pada
gerakan ISIS, satu sisi telah memberikan kekuatan magnetic. Ratusan bahkan
ribuan orang lintas negara menjadi terbius untuk bergabung ke Suriah dengan
taruhan nyawa, dengan alasan demi perjuangan Kekhalifahan Islam. ISIS adalah
solusi dari beragam krisis yang melanda dunia. Namun, pada sisi lain, ISIS
juga telah menimbulkan citra Islam yang kejam, sadis, dan antiperadaban.
Pada tingkat lokal dan nasional, ketika orang
mendengar nama, misalnya, FPI (Front Pembela Islam), NII (Negara Islam
Indonesia), pasti konotasinya berbeda ketika disebut, misalnya, ICMI, HMI,
PMII, meskipun semuanya melekatkan kata Islam. Umat Islam meyakini bahwa kata
Islam dari Allah yang diterima Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril,
sehingga yang memiliki hak paten adalah Allah atau Nabi Muhammad sebagai
penerimanya.
Namun, waktu itu tak dikenal konsep pemegang
tunggal hak paten, sehingga Islam sebagai nama gerakan keagamaan yang
dimotori oleh Nabi Muhammad, lalu dipakai oleh siapa saja. Tak ada lembaga
yang memiliki otoritas efektif untuk mengontrol dan melarang penggunaan kata
Islam.
Jadi, jangan heran kalau suatu saat Anda akan
bertemu merek: Restoran Islam, Bus Islam, Hotel Islam, Partai Islam, Negara
Islam, Pakaian Islam, Sepak Bola Islam, Bank Islam, Televisi Islam, dan
sekian banyak lagi kata Islam dijadikan label dan modal gerakan, entah
bisnis, dakwah, politik, ataupun gerakan lain yang tidak selalu mencerminkan
nilai dan etika Islam.
Kalau sudah terjadi penyimpangan, lalu siapa
yang bisa meluruskan secara efektif? Apakah organisasi semacam Muhammadiyah,
NU, dan MUI mampu dan punya kewenangan untuk melarang mereka? Secara moral
tentu punya kewenangan, tetapi secara legal tidak punya karena tak ada yang
memiliki hak paten penggunaan kata Islam.
Mengingat selama ini kata Islam sering dibajak
dan disalahgunakan untuk tujuan yang merusak ajaran Islam, lalu siapa yang
mesti dan mampu menjaga? Setidaknya ada empat pihak yang menjaga kemuliaan
Islam. Pertama, kemuliaan dan kebenaran sebuah agama akan dijaga oleh dirinya
sendiri. Dalam konteks Islam, Alquran bagaikan sosok yang hidup yang akan
menjelaskan pesan kemuliaan ilahi yang terkandung di dalamnya.
Sejarah telah membuktikan, betapa banyaknya
intelektual yang terinspirasi dan terbentuk pribadinya menjadi orang baik
setelah mempelajari Alquran dengan tulus, rendah hati dan cerdas. Kedua,
setiap zaman selalu ada ulama atau ilmuwan-ilmuwan yang saleh yang selalu
menjaga kemurnian dan kemuliaan agamanya. Mereka ini menjadi pengingat dan
pencerah zaman ketika penyimpangan, kerusakan dan kegilaan melanda masyarakat
dengan dalih dan simbol-simbol keagamaan.
Ketiga, kemuliaan Islam juga akan terjaga oleh
undang-undang dan hukum negara. Jika ada kejahatan kemanusiaan yang
mengatasnamakan agama maka pelakunya akan berurusan dengan aparat penegak
hukum negara. Keempat, orang beriman yakin bahwa Tuhan akan menjaga kebenaran
dan kemuliaan ajaran-Nya yang diwahyukan pada manusia dengan berbagai cara
yang kadang terjadi di luar perkiraan nalar manusia. Dulu peristiwa ini
disebut mukjizat. Sekarang pun mukjizat Tuhan masih berlangsung dalam sejarah
tetapi sering kali kita tidak mampu atau terlambat memahaminya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar