Kamis, 26 Maret 2015

Meretas Budaya Baca

Meretas Budaya Baca

Jejen Musfah  ;  Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan UIN Jakarta
KORAN SINDO, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden sulit dilepaskan dari slogan Revolusi Mental. Rakyat berhasil diyakinkan bahwa Jokowi dengan slogannya tersebut bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Korupsi misalnya bisa dikurangi– selain penegakan hukum– dengan mengubah mental para pejabat di negeri ini. Perubahan mental tak bisa lepas dari buku. Dalam diri manusia ada dua unsur: jasmani dan ruhani.

Jika jasmani membutuhkan makanan bergizi agar sehat, demikian juga ruhani memerlukan makanan yaitu buku sebagai bacaan. Mental merupakan bagian dari ruhani. Menurut survei UNESCO, minat baca masyarakat di negara-negara ASEAN adalah yang paling rendah di dunia.

Hanya ada satu orang dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca yang tinggi. Center for Social Marketing (CSM) menjelaskan, perbandingan banyak buku yang dibaca oleh siswa SMA di beberapa negara, Indonesia menempati tempat terendah. Untuk siswa SMA di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sejumlah 32 judul, Brunei7buku, Singapura6buku, sedangkan Indonesia 0 buku.

Minim Perpustakaan

Bicara budaya membaca tak bisa dipisahkan dengan perpustakaan– seperti keberhasilan Jepang. Rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia karena pemerintah, masyarakat, satuan pendidikan, dan keluarga gagal melaksanakan beberapa butir UUNo 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Pertama, ketersediaan perpustakaan belum merata di Tanah Air. Perpustakaan tidak hanya ada di sekolah dan perguruan tinggi, tapi juga di tempat umum (kantor, ruang tunggu, terminal, bandara, rumah sakit, dan pasar). Jumlah perpustakaan umum hanya 2.585 sehingga satu perpustakaan harus sanggup melayani 85.000 penduduk.

Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional, dari 64.000 desa, yang punya perpustakaan 22%. Sedangkan jumlah perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan baru 31%. Dari 110.000 sekolah, hanya 18% yang punya perpustakaan. Dari 200.000 SD, 20.000 yang punya perpustakaan standar. Dari 70.000 SLTP, 36% yang memenuhi standar.

Untuk SLTA, hanya 54% yang perpustakaannya standar. Dari 3.000 SD dan SLTP, hanya 5% yang memiliki perpustakaan. Meski dijamin oleh UU, pemerintah belum memenuhi hak masyarakat untuk bisa mengakses perpustakaan dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kecamatan.

Masyarakat tidak bisa mengakses perpustakaan di tempat-tempat tersebut karena tidak disediakan, baik oleh pemerintah, kantor, maupun rumah sakit. Padahal, waktu menunggu–yang bisa sangat lama–merupakan waktu ideal untuk membaca. Kegemaran membaca tidak bisa tumbuh dalam sehari, melainkan proses yang butuh waktu lama.

Karena itu, pemerintah tidak boleh pesimistis dengan budaya baca masyarakatnya sebelum benar-benar menyediakan perpustakaan sesuai aturan yang berlaku. Budaya membaca tidak lahir dengan sendirinya, tapi merupakan akibat dari kebijakan yang memang ditujukan untuk hal tersebut.

Belum ada upaya serius pemerintah atau swasta yang masif dan serius dalam mempromosikan budaya gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan. Bandingkan dengan upaya pemerintah dalam mempromosikan pariwisata Indonesia atau iklan rokok yang mahadahsyat dan (kadang) mengagumkan dari sisi seni pembuatannya (seperti pengambilan angle wilayah-wilayah eksotis Indonesia).

Jadi, selain pendirian perpustakaan, tugas pemerintah lainnya adalah promosi gemar membaca. Kedua, buku (sangat) mahal. Dalam UU tersebut Pasal 48, pemerintah wajib menyediakan buku murah. Faktanya, harga buku masih sangat mahal bagi sebagian masyarakat.

Jangankan buat beli buku, buat bayar sekolah saja banyak orang tua yang tak mampu. Selain karena peran pemerintah lemah, menurut seorang kawan yang punya penerbit, buku menjadi mahal juga karena toko buku. ”Hapuskan toko buku. Selama masih ada toko buku, buku akan mahal,” katanya.

Penjelasannya, untuk sampai ke toko, buku harus diangkut melalui darat, laut, atau udara, yang semuanya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Belum toko sendiri yang ambil untung tak sedikit. Solusinya, jual buku secara online! Jika pun mampu, kesadaran masyarakat menengah untuk membeli dan membaca buku masih rendah.

Misalnya, lebih suka membeli rokok daripada buku; lebih suka nonton tv dan ngobrol daripada membaca buku; lebih suka ke bioskop daripada ke perpustakaan. Daya beli buku masyarakat yang rendah bisa diatasi jika perpustakaan ada di sekitar masyarakat. Kecuali pemerintah, sesungguhnya masyarakat–atas inisiatif masing-masing–sudah membuat taman baca atau rumah baca, namun jumlahnya masih sangat sedikit.

Kesadaran masyarakat untuk berperan dalam pembentukan budaya baca masih rendah meski jumlah orang kaya Indonesia terus bertambah. Paradigma kaum elite ini bisa berubah manakala pemerintah sukses dalam promosi masyarakat sadar membaca seraya menggandeng mereka dengan santun. Ketiga, toko buku dan perpustakaan pribadi masih minim.

Di kecamatan dan kabupaten sulit menemukan toko buku. Di kampus-kampus kita bahkan sangat sedikit pilihan toko buku. Saya pikir, sebabnya adalah mahasiswa lebih suka memfoto kopi daripada membeli buku. Apalagi kini informasi apa saja bisa diperoleh dari internet. Buku tidak laku.

Jasa foto kopi menjamur di kampus, berbanding terbalik dengan toko buku. Sama saja, masyarakat belum terbiasa membaca sehingga toko buku tak laku. Kecuali itu, hampir tidak ada perpustakaan pribadi di rumah-rumah masyarakat kita. Di lemari-lemari rumah mereka, yang ada malah buah tangan dari Mekkah sepulang haji atau cenderamata dari Amsterdam, Paris, Brussel, Helsinki, London, Roma, Tokyo, Berlin, Kuala Lumpur, Seoul, dan Singapura.

Buku, majalah, dan koran tidak mendapat tempat di rumah-rumah masyarakat kita. Tak perlu kita pergi ke Eropa untuk melihat rumah mereka, film-film Hollywood dan internet menunjukkan bahwa rumah di sana identik dengan lemari buku.

Tiga Pertimbangan

Saatnya pemerintahan Jokowi memperbaiki keadaan runyam perpustakaan, perbukuan, dan budaya baca masyarakat Indonesia. Tiga hal berikut bisa dipertimbangkan.

Pertama, Jokowi dan/atau Anies meminta komitmen para kepala daerah dari tingkat satu hingga tingkat dua untuk menyediakan perpustakaan daerah yang baik. Tanpa ada komitmen dari pemerintah pusat, provinsi, kota, kabupaten, dan kecamatan, mustahil amanah UU di atas bisa tercapai.

Jokowi melalui kementerian terkait dan Dewan Perpustakaan bisa mengawal pendirian perpustakaan dari pusat hingga ke tingkat kecamatan. Dengannya, sistem perpustakaan nasional akan terwujud. Promosi gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan diperlukan segera, melalui kerja sama Kemendikbud, Kemenag, penerbit buku, dan stasiun televisi milik pemerintah maupun swasta.

Kedua, keluarga, masyarakat, dan satuan pendidikan bekerja sama dalam menanamkan budaya baca kepada anak sejak dini. Mereka menyediakan buku dan bahan bacaan anakanak lainnya di rumah, sekolah, tempat bermain, dan mal. Orang kaya mendirikan toko buku demi sedikit keuntungan, atau mendirikan taman atau rumah baca. Tanpa keterlibatan tiga unsur tersebut, pemerintah akan payah dalam membangun budaya baca masyarakat.

Ketiga, bebaskan atau kurangi pajak (royalti) penulis buku untuk mendorong penulis-penulis baru muncul. Sudah mafhum bahwa menjadi penulis di Indonesia tak menjanjikan (kesejahteraan) sehingga jumlah buku terbit di sini kalah jauh dengan negara-negara lain. Jumlah buku terbit bertemali dengan minat baca masyarakat.

Dalam konteks ini, pemerintah bisa membeli setiap buku terbit (tertentu) untuk disebarkan di perpustakaan- perpustakaan nasional, provinsi, kota, maupun kabupaten. Langkah ini, saya pikir, akan melahirkan penulis-penulis buku baru yang selama ini ”terkubur.”

Akhirnya Revolusi Mental yang digagas Jokowi tak bisa dilepaskan dari kegiatan membaca buku. Menghadirkan buku di tengah-tengah masyarakat merupakan cara efektif menyukseskan Revolusi Mental.

Saya pikir, masyarakat, tegasnya panitia dan para penerbit yang menyelenggarakan pameran buku di atas selama sepuluh hari, tiada maksud lain kecuali ingin berperan–sekecil apa pun–dalam meretas budaya baca buku masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar