Meretas
Budaya Baca
Jejen Musfah ; Dosen
Analisis Kebijakan Pendidikan UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 25 Maret 2015
Kemenangan
Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden sulit dilepaskan dari slogan
Revolusi Mental. Rakyat berhasil diyakinkan bahwa Jokowi dengan slogannya
tersebut bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Korupsi misalnya
bisa dikurangi– selain penegakan hukum– dengan mengubah mental para pejabat
di negeri ini. Perubahan mental tak bisa lepas dari buku. Dalam diri manusia
ada dua unsur: jasmani dan ruhani.
Jika
jasmani membutuhkan makanan bergizi agar sehat, demikian juga ruhani
memerlukan makanan yaitu buku sebagai bacaan. Mental merupakan bagian dari
ruhani. Menurut survei UNESCO, minat baca masyarakat di negara-negara ASEAN
adalah yang paling rendah di dunia.
Hanya
ada satu orang dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca yang tinggi.
Center for Social Marketing (CSM) menjelaskan, perbandingan banyak buku yang
dibaca oleh siswa SMA di beberapa negara, Indonesia menempati tempat
terendah. Untuk siswa SMA di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca
sejumlah 32 judul, Brunei7buku, Singapura6buku, sedangkan Indonesia 0 buku.
Minim Perpustakaan
Bicara
budaya membaca tak bisa dipisahkan dengan perpustakaan– seperti keberhasilan
Jepang. Rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia karena pemerintah,
masyarakat, satuan pendidikan, dan keluarga gagal melaksanakan beberapa butir
UUNo 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Pertama,
ketersediaan perpustakaan belum merata di Tanah Air. Perpustakaan tidak hanya
ada di sekolah dan perguruan tinggi, tapi juga di tempat umum (kantor, ruang tunggu,
terminal, bandara, rumah sakit, dan pasar). Jumlah perpustakaan umum hanya
2.585 sehingga satu perpustakaan harus sanggup melayani 85.000 penduduk.
Menurut
data Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional, dari 64.000
desa, yang punya perpustakaan 22%. Sedangkan jumlah perpustakaan di berbagai
departemen dan perusahaan baru 31%. Dari 110.000 sekolah, hanya 18% yang
punya perpustakaan. Dari 200.000 SD, 20.000 yang punya perpustakaan standar.
Dari 70.000 SLTP, 36% yang memenuhi standar.
Untuk
SLTA, hanya 54% yang perpustakaannya standar. Dari 3.000 SD dan SLTP, hanya
5% yang memiliki perpustakaan. Meski dijamin oleh UU, pemerintah belum
memenuhi hak masyarakat untuk bisa mengakses perpustakaan dari tingkat
provinsi, kabupaten, hingga kecamatan.
Masyarakat
tidak bisa mengakses perpustakaan di tempat-tempat tersebut karena tidak
disediakan, baik oleh pemerintah, kantor, maupun rumah sakit. Padahal, waktu
menunggu–yang bisa sangat lama–merupakan waktu ideal untuk membaca. Kegemaran
membaca tidak bisa tumbuh dalam sehari, melainkan proses yang butuh waktu
lama.
Karena
itu, pemerintah tidak boleh pesimistis dengan budaya baca masyarakatnya
sebelum benar-benar menyediakan perpustakaan sesuai aturan yang berlaku.
Budaya membaca tidak lahir dengan sendirinya, tapi merupakan akibat dari
kebijakan yang memang ditujukan untuk hal tersebut.
Belum
ada upaya serius pemerintah atau swasta yang masif dan serius dalam
mempromosikan budaya gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan. Bandingkan
dengan upaya pemerintah dalam mempromosikan pariwisata Indonesia atau iklan
rokok yang mahadahsyat dan (kadang) mengagumkan dari sisi seni pembuatannya
(seperti pengambilan angle wilayah-wilayah eksotis Indonesia).
Jadi,
selain pendirian perpustakaan, tugas pemerintah lainnya adalah promosi gemar
membaca. Kedua, buku (sangat) mahal. Dalam UU tersebut Pasal 48, pemerintah
wajib menyediakan buku murah. Faktanya, harga buku masih sangat mahal bagi
sebagian masyarakat.
Jangankan
buat beli buku, buat bayar sekolah saja banyak orang tua yang tak mampu.
Selain karena peran pemerintah lemah, menurut seorang kawan yang punya
penerbit, buku menjadi mahal juga karena toko buku. ”Hapuskan toko buku.
Selama masih ada toko buku, buku akan mahal,” katanya.
Penjelasannya,
untuk sampai ke toko, buku harus diangkut melalui darat, laut, atau udara,
yang semuanya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Belum toko sendiri yang
ambil untung tak sedikit. Solusinya, jual buku secara online! Jika pun mampu,
kesadaran masyarakat menengah untuk membeli dan membaca buku masih rendah.
Misalnya,
lebih suka membeli rokok daripada buku; lebih suka nonton tv dan ngobrol
daripada membaca buku; lebih suka ke bioskop daripada ke perpustakaan. Daya
beli buku masyarakat yang rendah bisa diatasi jika perpustakaan ada di
sekitar masyarakat. Kecuali pemerintah, sesungguhnya masyarakat–atas
inisiatif masing-masing–sudah membuat taman baca atau rumah baca, namun
jumlahnya masih sangat sedikit.
Kesadaran
masyarakat untuk berperan dalam pembentukan budaya baca masih rendah meski
jumlah orang kaya Indonesia terus bertambah. Paradigma kaum elite ini bisa
berubah manakala pemerintah sukses dalam promosi masyarakat sadar membaca
seraya menggandeng mereka dengan santun. Ketiga, toko buku dan perpustakaan
pribadi masih minim.
Di
kecamatan dan kabupaten sulit menemukan toko buku. Di kampus-kampus kita
bahkan sangat sedikit pilihan toko buku. Saya pikir, sebabnya adalah
mahasiswa lebih suka memfoto kopi daripada membeli buku. Apalagi kini
informasi apa saja bisa diperoleh dari internet. Buku tidak laku.
Jasa
foto kopi menjamur di kampus, berbanding terbalik dengan toko buku. Sama
saja, masyarakat belum terbiasa membaca sehingga toko buku tak laku. Kecuali
itu, hampir tidak ada perpustakaan pribadi di rumah-rumah masyarakat kita. Di
lemari-lemari rumah mereka, yang ada malah buah tangan dari Mekkah sepulang
haji atau cenderamata dari Amsterdam, Paris, Brussel, Helsinki, London, Roma,
Tokyo, Berlin, Kuala Lumpur, Seoul, dan Singapura.
Buku,
majalah, dan koran tidak mendapat tempat di rumah-rumah masyarakat kita. Tak
perlu kita pergi ke Eropa untuk melihat rumah mereka, film-film Hollywood dan
internet menunjukkan bahwa rumah di sana identik dengan lemari buku.
Tiga Pertimbangan
Saatnya
pemerintahan Jokowi memperbaiki keadaan runyam perpustakaan, perbukuan, dan
budaya baca masyarakat Indonesia. Tiga hal berikut bisa dipertimbangkan.
Pertama,
Jokowi dan/atau Anies meminta komitmen para kepala daerah dari tingkat satu
hingga tingkat dua untuk menyediakan perpustakaan daerah yang baik. Tanpa ada
komitmen dari pemerintah pusat, provinsi, kota, kabupaten, dan kecamatan,
mustahil amanah UU di atas bisa tercapai.
Jokowi
melalui kementerian terkait dan Dewan Perpustakaan bisa mengawal pendirian
perpustakaan dari pusat hingga ke tingkat kecamatan. Dengannya, sistem
perpustakaan nasional akan terwujud. Promosi gemar membaca dan memanfaatkan
perpustakaan diperlukan segera, melalui kerja sama Kemendikbud, Kemenag,
penerbit buku, dan stasiun televisi milik pemerintah maupun swasta.
Kedua,
keluarga, masyarakat, dan satuan pendidikan bekerja sama dalam menanamkan
budaya baca kepada anak sejak dini. Mereka menyediakan buku dan bahan bacaan
anakanak lainnya di rumah, sekolah, tempat bermain, dan mal. Orang kaya
mendirikan toko buku demi sedikit keuntungan, atau mendirikan taman atau
rumah baca. Tanpa keterlibatan tiga unsur tersebut, pemerintah akan payah
dalam membangun budaya baca masyarakat.
Ketiga,
bebaskan atau kurangi pajak (royalti) penulis buku untuk mendorong
penulis-penulis baru muncul. Sudah mafhum bahwa menjadi penulis di Indonesia
tak menjanjikan (kesejahteraan) sehingga jumlah buku terbit di sini kalah
jauh dengan negara-negara lain. Jumlah buku terbit bertemali dengan minat
baca masyarakat.
Dalam
konteks ini, pemerintah bisa membeli setiap buku terbit (tertentu) untuk
disebarkan di perpustakaan- perpustakaan nasional, provinsi, kota, maupun
kabupaten. Langkah ini, saya pikir, akan melahirkan penulis-penulis buku baru
yang selama ini ”terkubur.”
Akhirnya
Revolusi Mental yang digagas Jokowi tak bisa dilepaskan dari kegiatan membaca
buku. Menghadirkan buku di tengah-tengah masyarakat merupakan cara efektif
menyukseskan Revolusi Mental.
Saya
pikir, masyarakat, tegasnya panitia dan para penerbit yang menyelenggarakan
pameran buku di atas selama sepuluh hari, tiada maksud lain kecuali ingin
berperan–sekecil apa pun–dalam meretas budaya baca buku masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar