Prinsip Mengawasi dan Mengimbangi
Rooseno ; Peneliti Hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN),
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
|
KOMPAS,
30 Maret 2015
Mahkamah Konstitusi diminta menolak permohonan
uji materi yang diajukan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Denny Indrayana dan kawan-kawan. Hal ini terkait tidak perlunya persetujuan
DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian Negara RI dan
Panglima TNI (Kompas, 11/3/2015).
Pokok uji materi yang diajukan adalah terhadap
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara; dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia.
Dimohonkan oleh Denny bahwa dalam pengangkatan
dan pemberhentian Kepala Kepolisian Negara RI dan Panglima TNI sepanjang
frase "dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat" adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 Ayat (1). Namun, para
pihak terkait dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepolisian kompak menyatakan agar MK menolak permohonan Denny.
Menurut mereka "persetujuan" itu
perlu karena merupakan wujud dari prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances) untuk menghindari
adanya kekuasaan absolut di tangan Presiden. Benarkah demikian?
Prerogatif presiden
UUD 1945, selain mengatur hak prerogatif
presiden dengan persetujuan DPR dan prerogatif presiden tanpa persetujuan
DPR, juga mengatur prerogatif DPR, Dewan Pertimbangan Daerah (DPD), Mahkamah
agung (MA), Komisi yudisial (KY), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Prerogatif presiden dengan persetujuan DPR itu
antara lain hak: (i) menyatakan perang, membuat perdamaian, membuat
perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 Ayat 1); (ii) membuat perjanjian
internasional (Pasal 11 Ayat 2); (iii) mengangkat duta dan konsul (Pasal 13
Ayat 2); (iv) menerima penempatan duta negara lain (Pasal 13 Ayat 3); (v)
memberi amnesti dan abolisi (Pasal 14 Ayat 2); (vi) mengangkat dan
memberhentikan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B Ayat 3); (vii) menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 Ayat 2); dan (viii)
mengajukan RUU APBN (Pasal 23 Ayat 2).
Adapun prerogatif presiden tanpa persetujuan
DPR antara lain hak: (i) mengajukan rancangan undang-undang (Pasal 5 Ayat 1);
(ii) menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); (iii) memberi grasi dan
rehabilitasi (Pasal 14 Ayat 1); (iv) memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain
tanda kehormatan (Pasal 15); (v) membentuk suatu dewan pertimbangan yang
bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal 16); (v)
mengajukan 3 orang hakim konstitusi (Pasal 24C Ayat 3); dan (vi) mengangkat
dan memberhentikan menteri (Pasal 17 Ayat 2).
Pasal 17 UUD 1945
UUD 1945 Pasal 17 menentukan bahwa: "(1)
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; (2) Menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; (3) Setiap menteri membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan; (4) Pembentukan, pengubahan, dan
pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang".
Jelas disebutkan di situ bahwa
"mengangkat dan memberhentikan menteri", Presiden tidak harus
"mendapat persetujuan atau pertimbangan DPR".
Sudah disepakati bahwa Kapolri, Panglima TNI,
dan Jaksa Agung adalah pejabat setingkat menteri, tetapi tidak termasuk dalam
kementerian, baik kementerian koordinator maupun kementerian negara. Presiden
dalam menjalankan main state function, khususnya untuk mengangkat dan
memberhentikan Kapolri dan Panglima TNI harus mendapat persetujuan DPR. Hal
itu diatur dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 11 Ayat (1) dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia Pasal 13 Ayat (2).
Hanya dalam hal mengangkat dan memberhentikan
Jaksa Agung saja Presiden tidak harus mendapat persetujuan DPR (vide UU No
16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 19). Karena Kapolri,
Panglima TNI, dan Jaksa Agung adalah pejabat setingkat menteri, maka dasar
pengangkatan dan pemberhentiannya adalah Pasal 17 UUD 1945.
Mengawasi mengimbangi
Dengan demikian, dalam hal pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri ataupun panglima TNI diterapkan check and balances-mengawasi dan mengimbangi-untuk menghindari
kekuasaan absolut di tangan Presiden, menurut UUD 1945 Pasal 17 adalah kurang
tepat.
Penerapan opened
legal policy sebagai implementasi check
and balances lebih tepat digunakan untuk pengangkatan dan pemberhentian
anggota state auxiliry bodies di
luar organ eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Misalnya, pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi, anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, anggota
Komisi Pemilihan Umum, dan anggota Komisi Hak Asasi Manusia (vide putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XII/2014).
UUD 1945 Pasal 20A memberi kewenangan kepada
DPR untuk menerapkan check and balances,
yaitu selain memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan, dalam melaksanakan fungsinya itu DPR mempunyai hak interpelasi,
hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar