Menakar
Otonomi Partai Politik
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 24 Maret 2015
Membincangkan
masalah otonomi dalam tubuh partai adalah membicarakan mengenai independensi
sebuah partai. Premis tersebut sesuai dengan fungsi partai politik sebagai
komunikator politik yang menjadi penjembatan antara negara dan masyarakat.
Namun demikian, membahas masalah otonomi dikaitkan dengan pembiayaan dan
kekuasaan adalah persoalan tersendiri. Dikarenakan hal itu akan berimplikasi
kepada fungsi partai politik sebagai pilar demokrasi.
Secara
leksikal partai memiliki tiga tujuan, yakni office seeking (pengejar kuasa), rent seeking (pengejar materi), dan public seeking (peraih simpati publik) yang kemudian menghasilkan
partai pemerintah dan partai oposisi. Meitzner (2013) menguji ketiga fungsi
tersebut dalam dua perspektif yakni institusionalisasi dan juga kartelisasi
partai.
Hasilnya
bisa disimak bahwa pasca-Orde Baru, setiap partai politik tumbuh dengan pola
relasi institusional bergaya tradisional, penjagaan relasi patrimonial dengan
masyarakat, dan pola kartel yang menghasilkan adanya konsensus politik
antarpartai politik. Implikasinya kemudian memunculkan beberapa isu strategis
terkait partai politik di Indonesia, yakni munculnya isu pembiayaan partai,
munculnya patron partai, dan juga munculnya penyanderaan negara.
Adapun
kesemuanya tersebut bila dikulminasikan, kemudian menghasilkan temuan bahwa
setiap partai politik pasca otoritarian Indonesia memiliki ”otonomi relatif”
terhadap posisi tawar politik mereka dalam pemerintahan. Gagasan otonomi
relatif sendiri pada dasarnya berasal dari rumpun teori negara pasca kolonial
yang dapat diartikan sebagai ”perilaku otonom yang berusaha untuk melakukan
subjugasi dan subordinasi terhadap kelas politik lainnya”.
Dalam
kasus negara pasca kolonial, negara/ pemerintahan adalah arena status quo
yang diperebutkan oleh ketiga kelas yakni kelas politik yang partai politik,
kelas ekonomi yang diwakili oleh pengusaha/ borjuasi, kelas masyarakat yang
diwakili kelas masyarakat sipil. Dalam hal ini, pertarungan dalam negara
pascakolonial tersebut memunculkan kongsi kelas politik dan kelas ekonomi
sebagai pemenang utama.
Kasus
partai politik di Indonesia menunjukkan bahwa otonomi relatif tersebut
dibangun dengan cara menginjeksi logika ekonomi politik ke dalam perebutan
kuasa. Hal itulah yang kemudian menampilkan partai politik memegang kuasa
otonomi relatif dalam negara yang berusaha menundukkan kelas ekonomi dan
kelas masyarakat sipil sebagai bagian dari penguasaan relatif terhadap kedua
kelas tersebut.
Hal
signifikan yang perlu dikaji mengenai derajat otonomi partai adalah relasinya
dengan pembiayaan partai melalui anggaran. Status otonomi yang menempatkan
partai sebagai aktor intermediary antara negara dengan masyarakat
memungkinkan untuk mendapatkan dana guna operasionalisasi politiknya.
Kondisi
tersebut menempatkan partai politik sebagai entitas strategis bagi para
stakeholder untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam ranah politik.
Konteks itulah yang justru menjadikan dimensi independensi yang diusung oleh
partai politik malah mengarahkan pada patronase. Komoditisasi atas otonomi
yang dimiliki partai politik itulah menjadikan orientasi partai politik
justru mengarahkan pada kepentingan ekonomi-politik.
Hal
itu bisa disimak dengan maraknya borjuasi yang kini mendirikan maupun menjadi
pengurus partai. Yang terpenting dari membangun gagasan otonomi relatif dalam
partai politik Indonesia terletak dalam dua isu penting, yakni figuritas dan
pembiayaan.
Partai
politik di Indonesia pada dasarnya bercorak presidential party, yakni partai
politik sebagai personifikasi figur dan pembiayaan sendiri terkait dengan
upaya partai dalam memenuhi kas partai supaya bisa tetap eksis dan survival
dalam arena politik kompetitif. Kondisi tersebut kemudian yang meminggirkan
dan menafikan dikotomi oposisi dan koalisi tersebut, semata-mata hanya
mengejar kursi kekuasaan semata.
Operasionalisasi
otonomi relatif sebuah partai sangat ditentukan oleh figur ketua umum sebagai
chief of strategist. Peran itu diambil semata-mata untuk bisa menyelamatkan
dan memenuhi kepentingan politik partai dalam negara. Maka tidaklah
mengherankan, apabila dalam teorisasi otonomi relatif partai, kader yang
duduk dalam koalisi maupun oposisi sendiri hanya akan menurut perintahnya
ketua umum daripada ketua lembaga pemerintahan sekalipun.
Hal
itu disebabkan semua kader yang duduk dalam koalisi maupun oposisi adalah
petugas partai atau pesuruh ketua umum dan bukan lagi abdi rakyat. Oleh
karena itulah, pengamanan kepentingan partai politik yang utama adalah
pembiayaan mesti segera dilaksanakan dan diamankan oleh segenap kader partai.
Loyalitas yang kemudian menghasilkan lingkar kroni bersifat oligarki
merupakan suatu kebutuhan bagi partai untuk menerapkan prinsip monoloyalitas
demi kuasa yang dikejar.
Maka
itulah, dalam kasus keterpilihan kepala eksekutif di Indonesia itu merangkap
sebagai patron partai dengan tujuan mengamankan aliran pembiayaan baik bagi
partai maupun kroninya. Pada akhirnya, kemudian, otonomi relatif yang terjadi
dalam kasus konstelasi partai politik di Indonesia menunjukkan bahwa presiden
yang sebenarnya berkuasa adalah figur ketua partai.
Pola
inilah yang menjelaskan kenapa loyalitas dan dedikasi bekerja para kader
partai politik di pemerintahan maupun oposisi di parlemen sendiri menginduk
pada kebijakan pembiayaan dan monoloyalitas yang dititahkan oleh sang ketua
umum. Jika demikian adanya, wajah politik di Indonesia sendiri adalah warisan
patrimonalisme tradisional yang kemudian mengalami transformasi dalam era
demokrasi modern.
Sudah
sewajarnya apabila praktik politik koruptif dan kolutif seperti demikian
disudahi saja karena negara sendiri arena pengabdian bagi publik sebagai
demos dan bukan partai kepada ketuanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar