Hukum Islam Modern
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2015
Banyak orang yang melihat hukum Islam sebagai
hukum yang kolot, dogmatis, dan tanpa metodologi yang ketat.
Hukum Islam kadang dikonotasikan sebagai
hukumnya orang-orang kolot yang hanya mengajarkan cara-cara ibadah mahdhah. Padahal, hukum Islam didukung
oleh metodologi penemuan dan penetapan hukum yang tak kalah dari metode-metode
ilmu hukum modern.
Ketika belajar di fakultas hukum yang,
katanya, muatan maupun metodologinya sudah modern, saya merasa mudah karena
sudah mempelajari asas dan metodologinya saat dimadrasah, pondok pesantren,
dan sekolah-sekolah Islam yang saya tempuh. Teori penjenjangan hukum
(hierarki perundang-undangan) atau Stufenbautheorie dari Hans Kelsen,
misalnya, sudah diajarkan di dalam metodologi hukum Islam melalui dialog
antara Nabi Muhammad dan Muadz bin Jabal, belasan abad sebelum Hans Kelsen
lahir.
Ketika akan menugaskan Muadz bin Jabal ke
Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz tentang cara menetapkan hukum jika ada
masalah yang harus dihukumi. Muadz pun menjawab, dirinya akan menghukumi
sesuai dengan ketentuan Alquran. ”Bagaimana jika tidak ditemukan ketentuannya
di dalam Alquran?” tanya Nabi. ”Saya akan berpedoman pada Sunah Rasul,” jawab
Muadz.
”Jika tidak menemukan di dalam Sunah?” tanya
Nabi lagi. ”Saya akan menggunakan rarayu
(akal) untuk berijtihad,” jawab
Muadz. Lalu, Nabi memuji Muadz sebagai sahabatnya yang alim dan ahli hukum.
Berdasarkan hadis tersebut, secara metodologis sejak awal kehadirannya, Islam
sudah mengajarkan susunan hukum yang hierarkis, tak bisa dibalik karena yang
lebih tinggi harus menjadi dari dasar dari yang sesudahnya, yakni, Alquran,
Sunah Rasul, ijtihad, dan semua tingkatan-tingkatan dari ijtihad itu sendiri.
Teori ini mendahului teori stupa dari Hans
Kelsen yang menyebut bahwa hukum tersusun secara berjenjang dan berlapis
dengan keharusan bahwa peraturan yang lebih rendah harus bersumber dan tak
boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya. Hans Kelsen yang hidup pada
abad ke-20 mengajarkan dalam teori hierarkinya bahwa peraturan perundang-undangan
berjenjang mulai konstitusi, UU, hingga seterusnya ke bawah.
Dalam tata hukum Indonesia pun, teori
penjenjangan ini berlaku sehingga yang mengurutkan peraturan dan perundang-
undangan mulai UUD 1945, tap MPR, UU/perppu, PP, perpres, perda, hingga seterusnya
ke bawah. Begitu pun dalam soal hubungan antara hukum dan masyarakat. Ada
teori bahwa hukum berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya karena
hukum bukan ada dalam vacuum.
Hukum dibuat untuk melayani masyarakatnya,
sehingga kalau masyarakat berubah maka hukumnya pun berubah. Kalau zaman atau
tempatnya berubah maka hukumnya pun bisa berubah. Ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum
(untuk masyarakat itu). Dalam teori konstitusi, ada teori resultante dari KC
Wheare yang mengatakan bahwa konstitusi itu adalah produk resultante
(kesepakatan) sesuai dengan keadaan sosial ekonomi, politik, dan budaya saat
dibuat.
Karena itu, menurut Wheare, yang melempar
teorinya pada abad ke-20, konstitusi bisa berbeda-beda dan bisa berubahubah
sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat, baik waktu maupun
tempatnya. Belasan abad sebelum Wheare lahir, dalam hukum Islam sudah ada
kaidah yang kemudian dipakai oleh Wheare tersebut melalui yang berbunyi, ”Tak terbantahkan bahwa hukum itu berubah
sesuai dengan perubahan waktu, tempat, dan budaya masyarakatnya”, laa yunkaru taghayyurul ahkaam
bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awalaa yunkaru taghayyurul ahkaam
bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awaid.
Atau kaidah bahwa ”hukum berubah sesuai dengan
illah atau latar belakangnya”, alhukmu yaduuru maalhukmu yaduuru maa
illatihi. Umar ibn Khatthab dapat disebut sebagai fuqohafuqoha yang
memberi contoh bahwa implementasi hukum itu disesuaikan dengan perubahan
situasi masyarakat.
Umar tidak memberikan zakat kepada mualaf
(orang-orang yang baru masuk Islam), padahal dalam Alquran disebutkan mualaf
adalah salah satu dari delapan kelompok yang berhak mendapatkan zakat. Alasan
Umar, zaman sudah berubah dan Islam sudah kuat sehingga tak perlu memberi
insentif agar orang masuk Islam. Adanya asas dalam hukum modern bahwa jika
ada hukum baru maka hukum lama tak berlaku (lex posteriori derogat legi priori), di dalam Islam sudah ada
asas naasikh dan mansuukh (hukum baru menghapus hukum
lama dalam hal yang sama).
Dalam konteks taksonomi hukum Islam juga
dikenal pembidangan dalam berbagai jenis hukum seperti hukum perdata (syakhshiyyah), hukum pidana (jinaayah), hukum politik dan
ketatanegaraan (siyaasah), dan
hukum pemerintahan (imaamah) .
Kaidah hukmul hakim yarfaul khilaaf,
putusan hakim itu menyelesaikan perbedaan, adalah kaidah di dalam hukum Islam
yang, hebatnya, kemudian berlaku di semua negara dan semua sistem hukum.
Meskipun ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban
manusia sudah jelas, kerap timbul perselisihan di antara manusia karena
pelanggaran ataupun karena perbedaan tafsir atas hukum. Karena itulah, ada
lembaga pengadilan dan hakim sebagai pengadil. Jika hakim sudah memutus
dengan kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu mengikat, mengakhiri
perselisihan, terlepas dari disetujui atau tidak disetujui oleh pihak-pihak
yang bersengketa.
Kaidah ini menjamin kepastian agar
perselisihan bisa diakhiri. Jika dalam membuat putusan ternyata hakim
melakukan kesalahan, hakimnya bisa dihukum tanpa harus mempersoalkan vonisnya
yang sudah final. Jauh sebelum lahirnya teori-teori hukum modern, sebenarnya
hukum Islam sudah modern lebih dulu.
Menurut beberapa literatur metode kodifikasi
dan unifikasi hukum modern, yang ditandai oleh munculnya code penal (kitab hukum pidana) dan code civil (kitab hukum perdata) di Prancis, didahului dengan
pengiriman ahli-ahli hukum Prancis untuk mendalami metodologi hukum Islam di
Universitas Al Azhar, Mesir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar