Pelajaran
Berduka dari Tetangga
Raisa Annisa ; Kandidat
Master in Public Policy, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National
University of Singapore
|
JAWA
POS, 25 Maret 2015
SAAT
ini rakyat negara tetangga kita, Singapura, sedang berduka. Mantan Perdana
Menteri sekaligus founding father mereka meninggal. Semua berduka. Keluarga,
rekan kerja, penduduk pada umumnya, hingga saya dan rekan-rekan warga asing
yang menumpang di jiran ini merasa begitu kehilangan. Encik Lee Kuan Yew
–begitu sapaan warga keturunan Melayu kepada beliau– sudah lama menderita
pneumonia dan mengembuskan napas terakhir pada Senin, 23 Maret 2015, pukul
03.18. Sama dengan kebijakan-kebijakannya selagi beliau hidup, kabar sakitnya
Lee Kuan Yew (LKY) menjadi sorotan tidak hanya di level regional, tetapi juga
internasional. Bahkan, beberapa waktu terakhir banyak kabar berembus,
termasuk di Indonesia, bahwa beliau sudah meninggal. Cukup banyak spekulasi
tentang hidup LKY, bahkan hingga waktu-waktu terakhirnya. Kantor Perdana Menteri
Singapura bahkan membawa satu kasus kebohongan berita kematian LKY ke
kepolisian negara.
Sebagai
negara tetangga, kehidupan dan kebijakan-kebijakan LKY tidak bisa lepas dari
pandangan mata Indonesia. Berdasar data Singapore Tourism Board, 2013, jumlah
turis Indonesia menduduki posisi pertama pengunjung Negeri Singa ini.
Singapura sudah seperti provinsi ke-35 dari Indonesia karena banyaknya orang
Indonesia yang datang ke sini. Masih berdasar survei STB, alasan para turis
negara kita datang untuk melihat tiga hal; clean, efficient, and modern city. Hal yang mungkin sulit kita
dapatkan di kota-kota besar di negara kita.
Jika
kita melihat sejarah, Singapura tidak ada bedanya dengan ibu kota negara kita
pada tahun-tahun 50-an hingga awal 80-an. Sebagai wilayah jajahan Inggris
saat itu, Singapura masih dianggap negara dunia ketiga dengan
masalah-masalahnya, misalnya kemacetan, kepadatan penduduk, penyakit menular,
dan kemiskinan. Keadaan mulai berubah ketika LKY menjadi perdana menteri
bertangan dingin yang berambisi membawa negeri dunia ketiga ini menjadi kelas
pertama (from third world to first
class). Sebagai warga Singapura berpendidikan Inggris dan terlatih
sebagai pengacara, LKY mendirikan PAP (People
Action Party) berjuang untuk rakyat Singapura lepas dari jajahan Inggris
dan berkeinginan kuat untuk menjadi bagian dari federasi Malaysia saat itu.
Sayangnya, keinginan itu ditepis oleh Malaysia yang beralasan Singapura
didominasi oleh etnis Tionghoa. Sejak itu, LKY ingin membuktikan banyak hal
kepada Malaysia dan kepada dunia. Dua hal yang selalu dia tekankan kepada
rakyat Singapura adalah untuk bekerja keras, dan patuh kepada hukum. Hal itu
membuat Singapura dikenal dengan disiplin dan meritokrasinya hingga sekarang.
Terlepas dari kebijakan-kebijakannya yang masih kontroversial, tidak bisa
dimungkiri bahwa apa yang kita lihat di Singapura sekarang adalah jerih payah
LKY yang dengan kepemimpinannya bisa membawa Singapura menjadi dianggap dan
disegani oleh dunia.
Lalu,
apa dampaknya kepergian LKY di Indonesia? Seperti yang digambarkan di banyak
media, LKY dikenal dekat dengan Soeharto. Terence Lee Chek Liang dari
Rajaratnam School of International Studies (RSIS) menggambarkan hubungan
bilateral Indonesia-Singapura selama Orde Baru merupakan titik balik dari antipati
rezim Soekarno menjadi kawan baik di rezim Soeharto. Kedua kawan akrab itu
mungkin sudah berreuni kembali di alam yang lain, melihat dari jauh
peninggalan mereka yang diwariskan kepada generasi selanjutnya. Namun, apa
yang dirasakan saat kepergian Soeharto di Indonesia sangat berbeda dengan
kepergian LKY di Singapura. Reformasi pada 1998 berhasil menggulingkan
rezimnya dan serta-merta membuat sebagian rakyat murka. Meskipun beberapa
tahun setelahnya muncul ide kreatifnya orang Indonesia yang membuat meme
Soeharto dengan komentar ’’Piye...penak zamanku tho?’’ (Bagaimana… enak
zamanku kan?) yang menggambarkan keinginan kembali ke masa lalu karena
melihat demokrasi yang kebablasan.
Hikmah
yang bisa kita ambil dari keadaan berduka itu adalah, pertama, bagaimana LKY
begitu dicintai rakyatnya. Di negeri sekuler itu, begitu banyak doa dan
harapan mendoakan beliau lekas sembuh dan diberi kesempatan berada di
perayaan SG50, Ulang Tahun ke-50 Singapura. Beribu doa datang dari anak-anak
lewat karya-karya penuh ucapan doa, juga dari media sosial yang tidak
terputus. Berbeda sekali dengan komentar-komentar saat kepergian Soeharto
pada masa itu. Yang lebih mudah ditemukan adalah sumpah serapah bahwa
Soeharto sulit meninggal karena banyak dosa, banyak utang, atau ucapan-ucapan
lain yang menunjukkan bahwa rakyat sudah tidak lagi menghargai mantan
pemimpinnya.
Kedua,
dari kepergian LKY di Singapura, kita bisa belajar bagaimana rakyat bisa
menghargai pemimpin. Singapura tidak punya apa-apa pada awalnya. Bahkan, air
saja harus mengimpor dari Malaysia. LKY membawa Singapura kepada keadaan yang
sekarang dan rakyat berterima kasih untuk itu. Jika ada yang bilang LKY
berbeda dengan Soeharto, tentu rasanya kurang tepat. Pada masa kekuasaan LKY,
kebijakan land acquisition act (LAA) membuat rakyat ’’harus rela’’
menyerahkan tanah, peternakan, dan berpindah ke rumah susun (HDB). Oposisi
dan gerakan sosialis ditentang, demi menciptakan stabilitas ekonomi. Para
perokok dikucilkan, pembuang sampah sembarangan diberi sanksi sosial, peminum
alkohol disulitkan dengan harga jual yang mahal. Integrasi rasial
’’dipaksakan’’ dengan kebijakan ethnic integration policy yang membatasi
kuota rasial di perumahan umum (HDB) mereka.Rakyat Singapura juga tidak bisa
’’bebas’’ berekspresi dan berkumpul. Banyak hal yang dikorbankan dan kelompok
yang menderita. Tidak sedikit kritik keras atas kepemimpinan LKY. Tetapi,
ketika LKY pergi, pada akhirnya mereka sadar bahwa itu dilakukan pemimpinnya
juga untuk kebaikan mereka.
Dari
momen tetangga yang berduka, mari kita merefleksi tentang bagaimana dengan
cara kita memperlakukan pemimpin. Rasa-rasanya ketika Pemimpin kita masih ada
dan hingga akhir hayatnya, kita belum mencerminkan nilai-nilai yang ada di
bangsa ini. Contohnya, saat ini. Ketika dua kubu berseberangan, pendukung
kandidat presiden masih saja perang mulut di media sosial. Sumpah serapah,
kata-kata karma, kualat, dan ’’apakah sudah menyesal pilih Jokowi?’’ rasanya
bisa menjadi kata kunci pencarian komentar pada berita-berita yang minim data
dan sensasional hanya pada judulnya. Cukup sulit mencari komentar dan berita
positif tanpa bumbu yang benar-benar objektif dalam menilai kinerja
pemerintah dan pemimpin kita.
Pepatah
bijak mengatakan ’’rumput tetangga selalu lebih hijau’’, yang diartikan tidak
perlulah membanding-bandingkan, karena kelihatannya negara lain lebih makmur.
Apalagi, Singapura negara kecil, tidak seperti Indonesia yang besar dan
beragam. Tetapi, mungkin kita lupa bahwa supaya bisa tahu seberapa jauh kita
berlari, kita tidak bisa hanya mengukur diri sendiri. Kita harus punya
pembanding. Untuk itu, pembanding yang paling mudah adalah tetangga kita.
Singapura dengan segala pencapaiannya sudah jauh meninggalkan
tetangga-tetangganya di Asia Tenggara. Dalam pidatonya, Perdana Menteri Lee Hsien
Loong yang juga anak kandung LKY mengatakan, meskipun LKY sudah tiada,
Singapura harus tetap semangat, meneruskan perjuangannya. Mereka berduka,
namun tetap melihat ke depan untuk bangsanya, terutama di usia emas tahun
ini. Lalu, apakah kita sebagai tetangga masih akan terus stagnan menghadapi
dunia karena terlalu banyak mengurusi urusan dalam rumah tangga? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar