Merindu
Bidadari
Lies Marcoes ; Peneliti
Masalah Jender, Kemiskinan, dan Penegakan Hukum
|
KOMPAS,
25 Maret 2015
Di
beberapa negara, sejumlah gadis remaja hilang dengan sebab yang mengejutkan.
Mereka ditengarai bergabung dengan kelompok teroris berlatar ideologi agama,
seperti Negara Islam di Irak dan Suriah.
Di
Inggris, tiga remaja putri minggat melalui Turki lalu masuk Suriah. Di
Indonesia, satu keluarga berikut perempuan hamil, anak balita dan bayi
menyelinap keluar dari rombongan tur di Turki dan diduga hendak ke Suriah.
Belakangan, seorang mahasiswi fakultas farmasi asal Demak raib dan diduga
ikut lelaki bersuami yang konon pernah ditangkap Densus 88 di Solo. Mereka
berhijrah ke Suriah. Satu remaja perempuan dari Jawa Barat serta keluarga beranak
satu dari Priangan Timur juga ikut masuk dalam catatan.
Pertanyaannya
mengapa perempuan ikut-ikutan kelompok radikal? Analisis tentang gerakan dan
jaringan radikal jarang melihat keterkaitan itu. Jika pun ada, analisisnya
cenderung simplistis. Misalnya, remaja putri kepincut lelaki ganteng yang
mengajaknya menjadi bidadari dunia-akhirat. Namun, pastilah tak sesederhana
itu. Sebab, alasan lebih substantif sebetulnya bisa didalami, misalnya dengan
melihat posisi perempuan dalam struktur masyarakat patriarkat di satu pihak
dan hasrat luhur mereka yang ingin mewujudkan tatanan sosial dan negara ideal
yang dilandasi hukum Tuhan yang bisa disalurkan lewat keterlibatan dalam
gerakan radikal.
Dua tingkatan analisis
Tahun
lalu, Rumah Kita Bersama meluncurkan
buku Kesaksian Para Pengabdi. Buku
ini mendokumentasikan, secara biografis, 20 perempuan Indonesia yang pernah
atau tengah bersinggungan dengan kelompok fundamentalisme. Buku ini
menunjukkan adanya alasan dan pandangan yang berbeda tentang hasrat dan keterlibatan
perempuan dalam gerakan fundamentalisme, tak terkecuali dengan gerakan
radikal.
Untuk
konteks Indonesia, yang juga bisa digunakan dalam tataran global, ada dua
tingkatan analisis yang bisa kita gunakan untuk memahami fenomena itu.
Pertama,
sebagaimana para lelaki yang menjadi bagian dari gerakan radikal serupa
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), perempuan-perempuan yang bergabung
pada dasarnya adalah para pengiman gagasan negara syariah, baik sebagai
satu-satunya pilihan syar’i maupun sebagai jawaban atas ketimpangan sosial
politik dalam struktur global. Itu berarti mereka pastilah bukan remaja yang
tidak berpikir. Sebaliknya, justru karena mereka peduli pada ketimpangan,
ketidakadilan, penderitaan yang tak menemukan pemikir ideologis atau solusi
waras.
Eksperimentasi
lokal, seperti gerakan DI/NII dan sejenisnya atau organisasi transnasional di
tingkat regional dan global yang mengusung negara khilafah, merupakan jendela
yang membuka wawasan dan mimpi mereka untuk masuk ke kelompok yang lebih
mondial. Ketertarikan pada kelompok organisasi gerakan radikal semacam NIIS
ini semakin kuat karena gerakan yang selama ini mereka masuki dianggap
terlalu lembek, bahkan hanya mengusung wacana negara syariah.
Lelaki
dan perempuan yang mengimani negara khilafah universal telah sangat lama dan
hafal rumus-rumus baku tentang tahapan pembentukan suatu negara berlandaskan
keimanan. Mereka telah terlatih jadi bagian dari sel jaringan sambil
mengamalkan konsep negara syariah kecil-kecilan, seperti dalam cara membayar
pajak, membedakan mana teman dan lawan, bertahan dalam diam sambil menjaga
rahasia gerakan dan seterusnya.
Lewat
organisasi NIIS mereka mendapatkan wahana mewujudkan semua hasil pelatihan
itu. Sampai di titik ini mimpi mewujudkan satu negara berideologi agama
begitu kental keterhubungannya, baik dengan lelaki maupun perempuan. Namun,
karena karakteristik gerakan radikal selalu berwajah lelaki, pemetaan dan
analisis atas keterlibatan perempuan dalam konteks ini cenderung ditepikan.
Di
lapis kedua, meletakkan perempuan dalam struktur masyarakat patriarkat yang
memosisikan mereka begitu rendah untuk tidak dikatakan budak. Sebaliknya, di
dalam gerakan radikal mereka merasa akan mendapatkan posisi sosialnya yang
setara dengan kaum lelaki. Sebab, dalam kelompok barunya itu secara ideologis
ada pengakuan atas peran mereka di mana mereka dapat menempati kedudukan yang
setara dengan lelaki, yakni panggilan jihad.
Di
dalam kelompok barunya, mereka bisa ikut berjihad sekaligus diperlakukan
istimewa karena perannya yang langka. Gagasan tentang jihad, kebebasan untuk
ikut menentukan negara impian sangat nyata dalam benak dan aktivitas konkret
mereka. Dalam propagandanya, kelompok radikal telah menempatkan perempuan
sebagai unsur penting yang diakui dan diperhitungkan. Keinginan untuk
berjihad bisa begitu kuat karena hanya dengan cara itu kelak mereka menjadi
bidadari.
Tentu
saja pada kenyataannya apa yang mereka idamkan tidaklah mudah. Semua
organisasi gerakan radikal pada dasarnya berwatak patriarkat tulen. Makna
jihad pun mengalami reduksi dan beridentitas gender. ”Jihad keras” adalah
jihad di medan tempur dan umumnya jadi bagian kaum lelaki, sementara ”jihad
lunak” adalah jihad reproduksi, beranak-pinak, dan melayani kebutuhan kaum
lelaki dalam jaringannya. Namun, meski tak berbeda dengan peran tradisional
perempuan dalam kelompok asalnya, yakni menghidangkan layanan, tetapi mereka
yang telah berhijrah ke kelompok radikal itu merasa bahwa peran yang kini
mereka emban punya muatan ideologis yang bisa menyamakan perannya dengan
jihad keras.
Ini
membuat mereka bangga karena dapat menyumbangkan rahim dan perannya sebagai
istri atau ibu para patriot tentara Tuhan. Karena itu, tak mengherankan jika
para perempuan dalam jaringan itu tidak menolak poligami atau beranak-pinak
banyak. Mereka merindukan pengakuan atas perannya sebagai ibu yang dari rahim
dan susunannya lahir lelaki yang kelak menjadi pejuang kebenaran.
Tentu
saja tak semua remaja perempuan mengambil jalur jihad lunak melalui peran
reproduksinya. Sebab, sebagaimana dikemukakan Sydney Jones, cita- cita
perempuan muda masuk ke dalam gerakan radikal juga ingin ikut berjihad
langsung di medan tempur sebagaimana dilakukan kaum lelaki. Untuk mencapai
itu mereka harus menunjukkan bahwa mereka pintar dan berani mengangkat
senjata.
Ini
berarti, konsep jihad tidak hanya mengandung konsep kelas sosial, tetapi juga
jender. Gagasan tentang jihad keras bisa menjadi sarana bagi perempuan dan
lelaki miskin untuk naik kelas dan diakui perannya.
Merindukan pengakuan
Jadi,
selain beranak-pinak, perempuan dalam kelompok radikal juga ingin mendapatkan
posisi sosial yang tinggi di kelompoknya. Pertama-tama tentu jika dipilih
sebagai istri atau salah satu istri pimpinan kelompok. Kedua, mereka mampu
menjadi penafsir gagasan abstrak ke kalam aksi yang konkret.
Keterampilan
mereka dalam teknologi informasi, bahasa, intelijen, mata-mata dan pembobol
internet banking atau mempelajari secara virtual cara merakit bom yang
mengagumkan, misalnya, menjadi alasan penting bagi perempuan muda pintar
bergabung dalam gerakan radikal.
Cukup
jelas bahwa ada motivasi kuat bagi perempuan muda untuk terlibat dalam
gerakan radikal. Mereka merindukan pengakuan atas peran dan posisinya sebagai
pejuang dalam gerakan penegakan khilafah atau syariah.
Mereka
ingin diakui eksistensinya di dalam perjuangan mewujudkan sebuah negara ideal
sesuai dengan keyakinan ideologi yang dia yakini. Sebuah kerinduan yang masuk
akal mengingat posisi mereka dalam komunitas asalnya cenderung diabaikan.
Sebaliknya, dalam kelompok radikal mereka merasa dielukan, dibutuhkan, dan
sekaligus diakui. Hanya dengan cara itulah mereka mengira bisa menjadi
bidadari dunia dan akhirat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar