Mengapa Anak-Anak Kita Lari ke Dunia Game?
Rhenald Kasali
; Akademisi, Praktisi
Bisnis dan Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
|
JAWA
POS, 26 Maret 2015
BELAKANGAN ini, saya menerima banyak keluhan
dari orang tua yang anaknya tergila-gila main game. Kalau dibiarkan, sehari
mungkin bisa lebih dari enam jam. Sementara itu, mengerjakan PR atau belajar,
sulitnya minta ampun.
Begitu pula ketika tiba waktunya untuk
berangkat les, anak-anak kehilangan semangat. Mereka memang berangkat, namun
gairahnya redup. Mereka pergi hanya untuk memenuhi keinginan orang tua.
Sebagian orang tua mengaitkan main game dengan
kinerja anak-anak di sekolah. Katanya, akibat terlalu sering main game, rapor
anak-anaknya menjadi biasa-biasa saja. Mungkin bukan yang terjelek, tetapi
jelas bukan yang terbaik. Bukan juara pertama.
Bukan hanya itu, orang tua juga cemas atas
kesehatan mata dan obesitas. Memang, terlalu lama menatap layar komputer bisa
berdampak negatif terhadap kesehatan mata dan gerakan anak.Karena itu, banyak
orang tua yang melarang anak-anaknya bermain game atau membatasinya hanya
pada hari-hari libur dan jumlah jamnya dibatasi.
Tetapi, tidak sedikit orang tua yang tidak
peduli. Mereka membiarkan anak-anaknya bermain game seharian. Alasannya,
supaya anak-anak tidak mengganggu aktivitas orang tua yang mungkin sedang
asyik menonton TV, membaca buku atau koran, ngobrol, atau bekerja.
Kaya Apresiasi
Well, itulah kaitan dunia
game dengan anak-anak dari sisi pandang orang tua. Namun, supaya fair, saya
ajak Anda sebentar untuk melihat dunia game dari sisi pandang anak-anak.
Inilah pengamatan saya. Orang tua, ingatlah,
game memberi anak-anak kita dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia
nyata. Dunia game bagi anak-anak kita sangat apresiatif.
Ketika anak kita bergabung dalam suatu game,
mereka langsung disambut dengan meriah. ’’Selamat datang. Inilah pahlawan
yang akan membebaskan bangsa kita dari cengkeraman makhluk jahat.’’ Begitu
sambutannya.
Lalu, anak-anak kita dibrifing dengan jelas
tentang musuh-musuh yang bakal mereka hadapi. Siapa saja mereka, apa saja
kehebatannya, dan sebagainya. Untuk menghadapi mereka, anak-anak kita juga
dibekali berbagai senjata ampuh dan amunisi lainnya. Pada usia muda itu,
mereka diperbolehkan memilih senjata atau perlengkapan lainnya yang sesuai
dengan kebutuhan. Semuanya canggih dan sangat imajinatif.
Perjalanan petualang pun segera dimulai.
Anak-anak kita mulai beraksi. Setiap berhasil menaklukkan lawan-lawan yang
menghadang sepanjang perjalanan, mereka akan dielu-elukan. Bahkan diapresiasi
dengan tambahan senjata atau perlengkapan yang lebih canggih.
Ketika gagal, anak-anak kita juga tidak
dihukum atau dicaci maki. Sebaliknya, malah dihidupkan kembali, disuruh
mencoba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Sampai berhasil.
Lalu, ketika anak-anak kita berhasil
mengalahkan, apresiasinya sungguh luar biasa. Ada tepuk tangan yang gemuruh
dengan pesta kembang api. Anak-anak kita betul-betul disanjung sebagai
pahlawan. Mereka pun bisa bertemu para hero lainnya dalam pesta para juara
yang mempertontonkan kehebatan mereka.
Dunia Nyata
Itulah dunia game anak-anak kita. Sangat
apresiatif. Bagaimana dengan dunia nyata yang mereka hadapi sehari-hari?
Selain instruksi gurunya yang satu arah dan
sering tidak jelas, ketika anak melaporkan bahwa nilai ulangannya jelek,
orang tua dan guru sering bereaksi berlebihan. Budaya pengajaran kita masih
amat gemar menghukum. Orang tua pun gemar menegur. Sebagian mungkin
marah-marah.
Padahal, untuk melaporkan nilai ulangannya
yang jelek, anak-anak perlu membangkitkan keberanian. Mereka juga cemas akan
menghadapi murka orang tuanya.
Berbeda bukan dengan dunia game yang tidak
mengenal hukuman? Sebaliknya, anak-anak kita ditantang untuk mencoba lagi.
Kalau gagal lagi, coba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Begitu terus sampai
berhasil.
Lalu, bagaimana kalau nilai ulangan anak Anda
bagus? Nilainya 100? Apa yang Anda lakukan? Sebagian orang tua mungkin memuji,
sebagian lainnya hanya berdehem kecil, ’’Ehm, bagus.’’ Tetapi, anak-anak kita
jeli. Meskipun kita mengucapkan kata bagus, mereka bisa merasakan tidak
adanya ketulusan di situ. Lalu, di sekolah, mereka juga dikucilkan dengan
average students, dijadikan ancaman dan menjadi anak yang kurang gaul.
Sekali lagi, berbeda bukan dengan dunia game?
Dengan nilai ulangan 100, kalau di dunia game, mungkin anak-anak kita sudah
dielu-elukan.
Begitulah sejak kecil kita dibesarkan dan
membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang miskin apresiasi. Alhasil, kita
menjadi begitu sulit memuji, tetapi sangat mudah mengkritik. Kita paling suka
mencari-cari kekurangan orang lain, tetapi sulit sekali untuk melihat
kelebihannya. Apalagi kalau orang lain itu adalah pesaing kita.
Itulah dunia nyata kita. Karena itu, tidak
heran kalau sekarang kita menyaksikan dunia sekitar kita yang sibuk
bertengkar. Pemerintah dengan DPR atau DPRD. Polisi dengan KPK. Hakim dengan
jaksa. Satpol PP dengan masyarakat. Semua serba berebut dan amat kekanak-
kanakan. Meski kompetensinya tidak bermutu, jabatan dipaksakan pada badannya.
Dan sebagainya. Melelahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar