Senin, 30 Maret 2015

Mengapa Anak-Anak Kita Lari ke Dunia Game?

Mengapa Anak-Anak Kita Lari ke Dunia Game?

Rhenald Kasali  ;  Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
JAWA POS, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

BELAKANGAN ini, saya menerima banyak keluhan dari orang tua yang anaknya tergila-gila main game. Kalau dibiarkan, sehari mungkin bisa lebih dari enam jam. Sementara itu, mengerjakan PR atau belajar, sulitnya minta ampun.

Begitu pula ketika tiba waktunya untuk berangkat les, anak-anak kehilangan semangat. Mereka memang berangkat, namun gairahnya redup. Mereka pergi hanya untuk memenuhi keinginan orang tua.

Sebagian orang tua mengaitkan main game dengan kinerja anak-anak di sekolah. Katanya, akibat terlalu sering main game, rapor anak-anaknya menjadi biasa-biasa saja. Mungkin bukan yang terjelek, tetapi jelas bukan yang terbaik. Bukan juara pertama.

Bukan hanya itu, orang tua juga cemas atas kesehatan mata dan obesitas. Memang, terlalu lama menatap layar komputer bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mata dan gerakan anak.Karena itu, banyak orang tua yang melarang anak-anaknya bermain game atau membatasinya hanya pada hari-hari libur dan jumlah jamnya dibatasi.

Tetapi, tidak sedikit orang tua yang tidak peduli. Mereka membiarkan anak-anaknya bermain game seharian. Alasannya, supaya anak-anak tidak mengganggu aktivitas orang tua yang mungkin sedang asyik menonton TV, membaca buku atau koran, ngobrol, atau bekerja.

Kaya Apresiasi

Well, itulah kaitan dunia game dengan anak-anak dari sisi pandang orang tua. Namun, supaya fair, saya ajak Anda sebentar untuk melihat dunia game dari sisi pandang anak-anak.

Inilah pengamatan saya. Orang tua, ingatlah, game memberi anak-anak kita dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia nyata. Dunia game bagi anak-anak kita sangat apresiatif.

Ketika anak kita bergabung dalam suatu game, mereka langsung disambut dengan meriah. ’’Selamat datang. Inilah pahlawan yang akan membebaskan bangsa kita dari cengkeraman makhluk jahat.’’ Begitu sambutannya.

Lalu, anak-anak kita dibrifing dengan jelas tentang musuh-musuh yang bakal mereka hadapi. Siapa saja mereka, apa saja kehebatannya, dan sebagainya. Untuk menghadapi mereka, anak-anak kita juga dibekali berbagai senjata ampuh dan amunisi lainnya. Pada usia muda itu, mereka diperbolehkan memilih senjata atau perlengkapan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan. Semuanya canggih dan sangat imajinatif.

Perjalanan petualang pun segera dimulai. Anak-anak kita mulai beraksi. Setiap berhasil menaklukkan lawan-lawan yang menghadang sepanjang perjalanan, mereka akan dielu-elukan. Bahkan diapresiasi dengan tambahan senjata atau perlengkapan yang lebih canggih.

Ketika gagal, anak-anak kita juga tidak dihukum atau dicaci maki. Sebaliknya, malah dihidupkan kembali, disuruh mencoba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Sampai berhasil.

Lalu, ketika anak-anak kita berhasil mengalahkan, apresiasinya sungguh luar biasa. Ada tepuk tangan yang gemuruh dengan pesta kembang api. Anak-anak kita betul-betul disanjung sebagai pahlawan. Mereka pun bisa bertemu para hero lainnya dalam pesta para juara yang mempertontonkan kehebatan mereka.

Dunia Nyata

Itulah dunia game anak-anak kita. Sangat apresiatif. Bagaimana dengan dunia nyata yang mereka hadapi sehari-hari?

Selain instruksi gurunya yang satu arah dan sering tidak jelas, ketika anak melaporkan bahwa nilai ulangannya jelek, orang tua dan guru sering bereaksi berlebihan. Budaya pengajaran kita masih amat gemar menghukum. Orang tua pun gemar menegur. Sebagian mungkin marah-marah.

Padahal, untuk melaporkan nilai ulangannya yang jelek, anak-anak perlu membangkitkan keberanian. Mereka juga cemas akan menghadapi murka orang tuanya.

Berbeda bukan dengan dunia game yang tidak mengenal hukuman? Sebaliknya, anak-anak kita ditantang untuk mencoba lagi. Kalau gagal lagi, coba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Begitu terus sampai berhasil.

Lalu, bagaimana kalau nilai ulangan anak Anda bagus? Nilainya 100? Apa yang Anda lakukan? Sebagian orang tua mungkin memuji, sebagian lainnya hanya berdehem kecil, ’’Ehm, bagus.’’ Tetapi, anak-anak kita jeli. Meskipun kita mengucapkan kata bagus, mereka bisa merasakan tidak adanya ketulusan di situ. Lalu, di sekolah, mereka juga dikucilkan dengan average students, dijadikan ancaman dan menjadi anak yang kurang gaul.

Sekali lagi, berbeda bukan dengan dunia game? Dengan nilai ulangan 100, kalau di dunia game, mungkin anak-anak kita sudah dielu-elukan.

Begitulah sejak kecil kita dibesarkan dan membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang miskin apresiasi. Alhasil, kita menjadi begitu sulit memuji, tetapi sangat mudah mengkritik. Kita paling suka mencari-cari kekurangan orang lain, tetapi sulit sekali untuk melihat kelebihannya. Apalagi kalau orang lain itu adalah pesaing kita.

Itulah dunia nyata kita. Karena itu, tidak heran kalau sekarang kita menyaksikan dunia sekitar kita yang sibuk bertengkar. Pemerintah dengan DPR atau DPRD. Polisi dengan KPK. Hakim dengan jaksa. Satpol PP dengan masyarakat. Semua serba berebut dan amat kekanak- kanakan. Meski kompetensinya tidak bermutu, jabatan dipaksakan pada badannya. Dan sebagainya. Melelahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar