Menyoal
Dana Parpol
Bawono Kumoro ; Peneliti
Politik di The Habibie Center
|
REPUBLIKA,
24 Maret 2015
Artikel ini telah dimuat di KORAN SINDO 19 Maret 2015
Usul pemberian dana dari negara kepada partai
politik kembali mengemuka. Kali ini usul itu datang dari Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo. Politisi PDI Perjuangan itu mengusulkan setiap partai politik
lolos seleksi sebagai peserta pemilihan umum mendapat dana Rp 1 triliun per
tahun dari pemerintah.
Sikap pro dan kontra pun bermunculan. Bagi
para fungsionaris dan elite partai politik usul itu jelas bagai angin surga
yang dapat menjamin eksistensi mereka di langgam politik nasional.
Sedangkan bagi sebagian kalangan akademisi dan
pegiat demokrasi, usul itu dinilai tidak tepat mengingat kondisi partai
politik saat ini cenderung mengecewakan. Tidak saja karena partai politik
saat ini gagal menjalankan empat fungsi dasar --komunikasi politik,
sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik-- tetapi juga
karena keterlibatan para elite mereka dalam sejumlah kasus korupsi.
Tidak dapat dimungkiri ketika menghadapi
pemilu partai politik membutuhkan sumber daya besar agar dapat mendulang
suara pemilih secara maksimal. Masalah finansial pun kemudian menjadi hal
sangat penting. Tanpa dukungan finansial mencukupi, program kerja dan
kampanye kandidat atau partai politik menjadi tidak berarti dan tidak sukses.
(Jacobson, 1980: 33).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2
Tahun 2008 memang telah mengatur sumber keuangan partai politik. Ada tiga
sumber keuangan partai politik.
Pertama, iuran anggota partai politik
bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal oleh partai
politik. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan undang-undang mengenai
besaran iuran anggota. Namun, tidak banyak partai politik yang menjalankan
mekanisme ini secara teratur. Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan
secara teratur karena sebagian besar partai politik tidak dapat menawarkan
semacam benefit kepada para anggotanya.
Kedua, sumbangan sah menurut hukum. Pasal 35
UU Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan tiga sumbangan dimaksud. Pertama,
perseorangan anggota partai politik pelaksanaan diatur dalam anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga. Kedua, perseorangan bukan anggota partai politik
paling banyak senilai Rp 1.000.000.000 per orang dalam waktu satu tahun
anggaran. Ketiga, perusahaan dan/atau badan usaha paling banyak senilai Rp
7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu satu tahun
anggaran.
Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Deaerah (APBD).
Bantuan keuangan dari APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada partai
politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara.
Namun, seiring kian padat agenda politik
setiap partai --pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan
kepala daerah-- maka sumber-sumber keuangan di atas tidak lagi mencukupi. Hal
itu kemudian mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan sumber
keuangan di anggaran negara.
Partai politik pun mulai melakukan perburuan
rente melalui kader-kader mereka di legislatif dan eksekutif. Perburuan rente
dilakukan partai politik jelas merugikan karena menggerogoti anggaran negara
melalui pemanfaatan jabatan atau akses politik.
Secara umum ada dua modus utama perburuan
rente oleh partai politik. Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/DPRD).
Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menguasai
komisi-komisi strategis dan badan anggaran, transaksi dalam pemilihan pejabat
publik, dan menggerogoti anggaran negara atau daerah.
Kedua, melalui lembaga eksekutif. Dalam
lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-kader
mereka di kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan
memiliki akses dana besar. Perburuan rente di lingkup eksekutif juga
dilakukan dengan cara menyewakan partai politik sebagai kendaraan untuk maju
dalam pemilihan kepala daerah kepada kandidat tertentu dengan harga
fantastis.
Dugaan skandal dana talangan Bank Century, cek
pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, korupsi
pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional
Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan kemunculan dana siluman Rp
12,1 triliun dalam APDB DKI Jakarta merupakan sejumlah contoh kasus perburuan
rente dilakukan partai politik.
Kontrol publik sangat terbatas serta ketiadaan
transparansi dan akuntabilitas dari partai politk semakin menguatkan
persekongkolan para elite politik. Secara teoretis, hal ini akan membuat
korupsi marak terjadi sebagaimana rumus Klitgaard C=D+M-A (C: Corruption, D: Discretion, M: Monopoly,
dan A: Accountability). Rumus mengenai akar semang korupsi ini relevan
untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente
dilakukan elite politik. (Klitgaard,
2002: 29).
Tindak pidana korupsi yang marak melibatkan
para elite partai politik dan pejabat publik merupakan salah satu ironi demokrasi
di Indonesia. Mereka mendapat legitimasi kekuasaan dari rakyat, tapi setelah
berkuasa justru menghisap sumber-sumber keuangan negara yang semestinya
digunakan untuk kesejahteraan.
Berbagai kasus korupsi melibatkan partai
politik diduga masih akan terus terjadi. Apalagi partai politik di Indonesia
belum mengendepankan pelembagaan transparansi dan akuntabilitas. Akibat
ketiadaan transparansi dan akuntabilitas partai politik, publik selama ini
tidak pernah mengetahui dari mana saja asal-usul dana dimiliki oleh partai
politik.
Merujuk elaborasi di atas dapat disimpulkan
perilaku korup para elite partai politik saat ini didorong tiga hal. Pertama,
praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam sistem politik Indonesia. Kedua,
kekuasaan terlampau besar partai politik dalam menentukan kebijakan dan
anggaran tanpa disertai pengawasan berimbang dan kesadaran pertanggungjawaban
publik. Ketiga, ketidaktegasan sanksi politik dan pidana bagi partai politik
melakukan pengumpulan dana secara ilegal.
Selain perbaikan regulasi dan penetapan sanksi
lebih tegas, pemikiran tentang sumber dana alternatif menjadi kunci untuk
mengurangi pengumpulan dana secara ilegal oleh partai politik. Salah satu
sumber dana alternatif adalah melalui pemberian negara sebagaimana diusulkan
Menteri Dalam Negeri.
Dasar utama usul tersebut adalah posisi dan
peran strategis partai politik dalam kehidupan demokrasi dan sirkulasi
pemerintahan di Indonesia. Karena itu, menjadi tanggung jawab negara agar
partai politik berfungsi optimal.
Alasan lain selama ini marak praktik korupsi
menggerogoti APBN dan APBD. Praktik kotor itu tidak sedikit dilakukan para
elite partai politik di legislatif dan eksekutif. Karena itu, ketimbang
membiarkan penggalangan biaya politik melalui cara-cara merugikan negara,
maka lebih baik dialokasikan anggaran lebih besar dari negara bagi partai
politik. Bila merujuk pada usul Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 1 triliun per
partai politik per tahun.
Namun, hemat penulis, pemberian dana negara
kepada partai politik tidak harus berbentuk tunai. Pemberian dana negara
kepada partai politik dapat dilakukan secara nontunai, seperti menyediakan
saksi-saksi bagi setiap partai politik di seluruh tempat pemungutan suara
(TPS) saat pemilu berlangsung.
Selama ini cukup besar dana dikeluarkan oleh
partai politik untuk membayar saksi saat pemilu berlangsung. Hal itu
dirasakan sangat membebani keuangan partai politik bersangkutan. Apalagi
jumlah TPS di seluruh Indonesia dalam setiap pemilu hampir mencapai 550 ribu
TPS.
Pemberian dana kepada partai politik dari
negara dalam bentuk nontunai seperti ini juga akan menjadi jalan tengah bagi
sikap pro dan kontra terhadap usul pemberian Rp 1 triliun per partai politik
per tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar